Pendidikan Politik Sejak Dini, antara Demokrasi VS Khilafah

Menyoal Pelibatan Anak Dalam Kampanye

Pro kontra pelibatan anak dalam kampanye menyeruak sejak hari pertama masa kampanye dan masih tetap hangat beritanya sampai sekarang. Menurut pantauan Baswalu (Badan Pengawas Pemilu), hampir semua partai menghadirkan anak anak sebagai peserta kampanye. Padahal terdapat larangan yang diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan ketentuan KPU Nomor 15 Tahun 2013 tentang larangan parpol melibatkan anak-anak dalam kampanye.

Mereka beralasan, mulai dari tidak ada pengasuh di rumah hingga untuk pendidikan politik sejak dini (Liputan6.com, 18/3/2014). Pemerhati anak Eni Eryani menilai peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Undang-undang tentang Perlindungan Anak terkait kampanye sangat subyektif. Eni menilai larangan ini menjadi dilematis bagi orangtua yang memiliki anak. Sementara parpol tidak dapat melarang orangtua yang memiliki anak untuk membawa anaknya turut berkampanye. (metrotvnews.com, 18/3/ 2014)

Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Asrorun Ni’am Sholeh saat dihubungi  Liputan6.com, Selasa (18/3/2014) menolak berbagai alasan tersebut.  Kata Asrorun, “Partisipasi anak harus didorong sebagai salah satu pilar pembangunan tapi mengajak anak kampanye tidak sama dengan pendidikan politik.” “Selain itu, kampanye terbuka sangat erat hubungannya dengan tren hura-hura dan berbagai sajian hiburan. Banyak masalah sosial anak yang harus dilindungi dari kepentingan,” tandas Asrorun.

Ketua Komnas Perlindungan Anak (komnas PA), Arist Merdeka Sirait menilai bahwa pendidikan  politik untuk anak adalah mengajarkan demokrasi, saling menghargai dan pendidikan untuk menyampaikan pendapat yang bisa dilakukan di rumah, sekolah atau tempat lainnya selain di arena kampanye.  Ia mengkhawatirkan keselamatan anak. Komnas PA mencatat pada pagelaran Pemilu 2009 lalu, ada enam anak yang tewas karena berpartisipasi dalam kampanye. Ada anak yang tewas karena tertimpa panggung, ada anak yang jatuh dari sepeda motor saat ikut orang tuanya kampanye, ada juga yang tewas karena truk yang ditumpanginya terperosok ke jurang..

Pelibatan Anak Dalam Kampanye, Pendidikan Politik?

Klaim pelibatan anak dalam kampanye sebagai bagian dari pendidikan politik sejak dini adalah sah sah saja. Tapi pendidikan politik seperti apa yang akan didapatkan anak? Akankah anak mendapatkan pendidikan politik yang sebenarnya dari kampanye?

Pada dasarnya di dalam kampanye, anak akan belajar tentang demokrasi. Anak akan melihat secara langsung  bahwa di dalam sistem demokrasi, hukum Allah akan diperlakukan setara dengan hukum (buatan) manusia. Aturan Allah akan bersaing dengan hukum manusia untuk mendapatkan tempat di hati rakyat.  Ketika rakyat lebih memilih hukum buatannya sendiri sehingga bermaksiat dan menentang hukum Allah, maka tak ada yang punya kuasa untuk mencegahnya.

Anak akan melihat bahwa di dalam demokrasi, tak semua muslim harus menerapkan  syariat Islam. Ada muslim yang bergabung di parpol yang ingin menerapkan syariat Islam (sekalipun itu secara parsial ataupun hanya sekedar pelabelan), ada juga muslim yang mendukung parpol yang tidak menghendaki atau bahkan jelas jelas menolak syariat Islam. Semuanya boleh dan halal.

Anak juga akan belajar, bahwa di dalam sistem demokrasi, politik identik dengan kekuasaan dan legislasi. Semua orang berlomba untuk duduk sebagai penguasa dan anggota legislatif yang akan berkuasa membuat hukum yang tentu menguntungkan diri mereka  sendiri.  Semua orang juga bebas  menempuh segala cara untuk meraih kekuasaan tersebut. Tak adalagi halal dan haram.  Contoh kecil, berbohong yang menurut syariat adalah haram, tetapi di dunia politik menjadi halal. Banyak sekali kebohongan berupa janji janji muluk di kampanye yang sangat kecil kemungkinannya untuk dipenuhi. Suap menyuap juga jual beli suara yang jelas jelas menyimpang dari syariat, juga bukan hal yang aneh di masa kampanye.

Anak juga akan belajar bahwa uang menjadi penentu siapa yang akan berkuasa.  Siapapun dan dari parpol manapun yang punya uang  banyak, maka akan sering tampil di televisi atau di spanduk jalanan, baliho atau bahkan di kaca belakang angkot (angkutan kota) dll sehingga lebih popular(dikenal) dan akhirnya akan menang. Siapa yang punya uang banyak, maka akan bisa banyak membagi bagikan uang, sembako, atau hadiah hadiah lainnya ke rakyat hingga akan terpilih dan berhasil menang.

Pendidikan politik seperti inikah yang diinginkan? Apakah ini pendidikan politik ataukah justru pembodohan politik bagi anak? Sudah tak perlu jawaban lagi. Jelas, sebenarnya anak tak mendapatkan pendidikan politik yang sebenarnya dari  kampanye. Maka jelas ini adalah sebuah eksploitasi. Anak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan partai yang berkampanye.

Di samping itu, anak juga akan mendapatkan resiko tindak kekerasan karena memang tak ada jaminan anak aman dalam kampanye. Patut dicatat, sudah banyak berita di media yang mengabarkan tentang caleg (calon legislatif) yang dikeroyok, dianiaya atau bahkan dibunuh oleh lawan politiknya. Aturan maupun sanksi yang ada seakan tak bisa mencegah hal tersebut. Padahal itu terjadi masih jauh dari masa kampanye maupun pemilunya sendiri. Tentu kerawanan akan meningkat dengan semakin dekatnya pemilu. Dalam kondisi seperti ini, maka melibatkan anak dalam kampanye sangat riskan bagi keselamatan anak.

Anak anak juga  akan melihat banyaknya pelanggaran hukum Allah di arena kampanye. Seperti bercampur baurnya antara laki laki dan perempuan yang bukan mahram, berbagai hiburan yang disuguhkan di panggung kampanye yang banyak menyimpang dari syariat, juga aurat perempuan yang diumbar dan sebagainya. Ini  jelas bukan pendidikan yang baik bagi anak.

Sangat nyata, bukan pendidikan politik hakiki yang akan didapatkan anak dari kampanye, melainkan pembodohan politik juga eksploitasi. Anakpun rawan dari kekerasan fisik maupun bahaya terhadap akhlak. Bagaimana dengan Islam?

Pendidikan Politik di Dalam Sistem Khilafah

Pendidikan politik ala demokrasi  menanamkan keyakinan untuk menjadikan politik sebagai upaya meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Adapun pendidikan politik di dalam Islam menumbuhkan kesadaran agar menjadikan politik tidak semata mata sebagai upaya meraih kekuasaan melainkan upaya untuk pemeliharaan seluruh urusan umat manusia. Politik dilakukan oleh negara maupun umat. Negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat melalui penerapan hukum, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara.

Bentuk pengawasan dan pengoreksian yang dilakukan oleh umat terhadap para penguasa, pada dasarnya adalah aktivitas amar makruf nahi mungkar yang memang diwajibkan oleh Allah sebagaimana firmanNya “Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemakrufan dan mecegah kemungkaran. (QS at-Taubah [9]: 71). Juga firmanNya “Hendaklah ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (Islam), memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS Ali Imran : 104)

Kaum muslimin negeri ini sedang dalam keadaan terdzalimi karena kebijakan penguasa yang tidak menerapkan syariat.  Keadaan  inilah yang harus diubah dan menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslimin negeri ini untuk mengubahnya. Menyeru penguasa untuk menerapkan syariat dan menegakkan Khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi berbagai masalah negeri ini adalah bentuk kepedulian dan amar makruf nahi mungkar. Realisasinya bisa dalam bentuk  aksi damai (non kekerasan) secara berjamaah.

Melibatkan anak anak dalam aksi seperti ini  adalah pengajaran kepada anak sejak dini agar memiliki kesadaran politik yaitu sadar dan peduli dengan kondisi kaum muslimin. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Dan barang siapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk golongan mereka (kaum muslimin)” (HR. Ath-Thabari).  Inilah pendidikan politik yang sebenarnya.

Sejarah mencatat, pemuda-pemuda Islam di masa kejayaan Islam dahulu adalah para pemuda yang menghabiskan waktu, tenaga , pikiran dan semuanya hanya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.  Dakwah  menjadi bagian keseharian mereka. Pastilah mereka sudah mendapatkan pendidikan politik sejak dini.

Lihatlah shahabat Ali bin Abi Thalib ra, sekalipun saat itu tak terdefinisikan apa itu pendidikan politik, tapi dipastikan Ali ra sudah mendapatkan pendidikan politik dan melakukan aktivitas politik bersama Rasul Saw di usia masih sangat muda. Bayangkan, di usia delapan tahun Ali  masuk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Ia juga  menjalankan syariat dan berjuang serta berdakwah bersama Rasul Saw. Berbagai ancaman harus dihadapinya  bahkan terkadang  nyawa menjadi  taruhannya.

Sejarah juga mengajak kita merenungkan,  bagaimana cara mencetak  sosok pemimpin seperti Muhammad Al Fatih. Di usianya yang baru berusia 24 tahun,  telah memimpin 250.000 pasukan menaklukkan benteng Konstantinopel, padahal benteng ini tak pernah bisa ditaklukkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun.  Jelas, pendidikan politik telah didapatkan al Fatih  sejak usia dini hingga mampu mencetaknya menjadi politikus sekaligus negarawan kaliber dunia di usianya yang masih sangat belia.

Keberhasilan para pemuda ini adalah buah dari pendidikan yang tentu dilakukan sejak mereka masih kanak-kanak. Dan keberhasilan ini  hanya dimungkinkan terjadi secara massal ketika syariat Islam diterapkan secara total (menyeluruh)  oleh system Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Ketika pendidikan system khilafah diterapkan, tak terhingga kemajuan dan keberhasilan mencetak para ulama, cendekiawan, politikus, ilmuwan, negarawan yang tak hanya menguasai keahlian di bidangnya tetapi juga sekaligus para pejuang Islam yang senantiasa berjuang demi untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Pelibatan Anak Dalam Aksi Amar Makruf Nahi Mungkar, Bukan Eksploitasi

Pelibatan anak dalam pengerahan massa semacam aksi amar makruf nahi mungkar sangat berbeda dengan kampanye.  Sama sekali tdak ada eksploitasi anak di sini.  Justru hal ini  adalah momen  penting untuk pembelajaran anak. Mereka bisa melihat secara langsung dan juga merasakan bagaimana sulitnya memperjuangkan Islam.  Berdesak desakan dan berpanas panasan di kendaraan maupun di tempat aksi,  terkadang juga harus berjalan cukup jauh di bawah terik matahari pagi hingga menjelang siang, bahkan terkadang harus berlarian ketika tertinggal barisan dan sebagainya.

Anak akan melihat dan membandingkan bahwa ia dan orang tuanya telah mencurahkan  tenaga, pikiran, waktu  juga harta untuk memperjuangkan nasib kaum muslimin dan  tegaknya hukum-hukum Allah. Sedangkan orang tua dan anak-anak yang lainnya, mungkin juga sedang berpanas panasan, tapi untuk jalan-jalan ke tempat-tempat rekreasi, belanja dan bersenang-senang. Ini adalah bekal berharga yang akan membentuk pola pikir dan perilaku anak  kelak ketika sudah dewasa. Membentuknya menjadi sosok pribadi yang kokoh iman, taat syariah, dan menjadi pejuang Islam.

Aksi damai semacam ini juga tidak akan  membahayakan anak. Sejak awal yang diinginkan dari aktivitas ini adalah amar makruf nahi mungkar maka tentu tidak akan menempuh cara kekerasan. Para pejuang syariat tentu tidak akan menempuh cara menyimpang dari syariat demi untuk menerapkan syariat. Di samping itu,  sang ayah atau ibu pasti sudah  mempertimbangkan kondisi fisik  anak ketika mengajak sang buah hati mengikuti aksi. 

Pendidikan politik sejak dini pun tercapai, yaitu anak anak belajar untuk peduli dengan permasalahan kaum muslimin. Dan mereka pun dididik dan dipersiapkan untuk menjadi generasi pemimpin masa depan yang menjadikan politik sebagai jalan meraih ridla Allah yaitu dengan menjadikan syariat Allah sebagai satu satunya aturan untuk mengatur dan mengurus seluruh permasalahan umat. Wallahu a’lam bishshowab. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*