Tata Kelola Energi Khilafah yang Menyejahterakan

Oleh: Maiyesni Kusiar (Lajnah Mashlahiyah MHTI) 

Pendahuluan

Setelah melewati perdebatan panjang, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) disetujui anggota dewan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (28/1). RPP ini diharapkan menjadi regulasi dalam mengatur kebutuhan energi nasional yang kian meningkat. Dalam laporan akhir, Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana mengakui Indonesia memiliki sumber energi yang melimpah namun pengelolaannya belum optimal. Sutan menyatakan beberapa kendala yang dihadapi dalam pengelolaan energi, seperti rendahnya investasi, rendahnya penguasaan teknologi, terbatasnya anggaran dalam negeri, serta rendahnya akses masyarakat terhadap energi. (hukumonline.com, 28 Januari 2014).

Bagaimana capaian kebijakan energi selama ini? Apa sesungguhnya yang menjadi persoalan mendasar pada tatakelola energi di Negeri ini? Mengapa hanya model tatakeloa energi khilafah yang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat?

Mahal, Langka dan Berbahaya

Kenaikan berbagai energi di negeri ini  merupakan hal yang menjadi rutinitas . Pada tahun ini , diawali dengan kenaikan gas elpiji tabung 12 kg meskipun akhirnya hanya Rp 1000/kg dinilai tidak tepat karena tanpa kenaikanpun harga elpiji sudah mahal dan sangat memberatkan rakyat.

Akan halnya BBM bersubsidi meski tahun lalu telah telah dinaikkan sebesar 44%, sepertinya tidak akan berhenti. Kenaikan Ini dapat dipastikan karena Pemerintah pada tahun ini  hanya mengalokasikan anggaran untuk BBM bersubsidi sebesar Rp 194,9 triliun. Angka ini menurun dibanding subsidi BBM pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012  (Rp 211,9 T) dan 2013 (199,9T), (kompas.com,25/9/2013).

Demikian halnya dengan listrik, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 30 Tahun 2012 telah menetapkan kenaikan  tarif dasar listrik (TDL) tahun 2013 sebesar 15 %. Pada tahun ini pemerintah kembali menaikkan TDL golongan industri yaitu golongan I3 naik sebesar 38,9 persen dan golongan I4 sebesar 64,7 persen pada Mei mendatang .

Sementara itu, meski harga energi tersebut terus-menerus dinaikkan bukan berarti masyarakat dapat mengakses dengan mudah dan aman. Berbagai permasalahan muncul mulai distribusi yang tidak lancar sampai tingkat keamanannya yang sangat mengkhawatirkan. Antrian kendaraan yang mengular di SPBU-SPBU pengisiaan BBM bersubsidi sudah jamak kita saksikan diberbagai daerah. Bahkan tidak jarang mereka rela bermalam demi menunggu datangnya BBM bersubsidi.

Kondisi yang tidak berbeda juga dialami para pengguna gas elpiji tabung 3 kg bahkan gas elpiji tabung 12 kg.  Kelangkaan tersebut tak jarang dimanfaatkan oleh para spekulan untuk menaikkan harga jauh diatas harga normal. Akan halnya keamanannyapun sangat mengkhawatirkan. Sangat sering timbul kecelakaan akibat meledaknya tabung gas elpiji yang tak jarang  menimbulkan korban materi bahkan nyawa.

Kelangkaan listrikpun terjadi diberbagai daerah. Sebagaimana krisis listrik di Sumatera sudah berlangsung sejak 2005. Artinya hingga saat ini hampir 10 tahun masyarakat di sana mengeluhkan listrik rumahnya sering byar pet (mati nyala). Kondisi ini tentunya sangat merugikan masyarakat, karena terganggunya berbagai aktivitas  , kerusakan  peralatan elektronik bahkan bahaya kebakaran siap mengancam akibat pemakaian lilin sebagai pengganti penerangan.

Sumber Energi Langka atau Kesalahan Tata Kelola?

Kelangkaan energi di negeri ini sudah semakin akut. Kelangkaannya tidak hanya ditingkat rumah tangga namun juga menimpa dunia industri  bahkan PLN sebagai Perusahaan milik Negara  tidak luput dari kelangkaan ini.

Ketiadaan pasokan energi berupa gas dan batu bara telah memaksa PLN menggunakan BBM sebagai bahan bakar yang harganya jauh lebih mahal. Menurut pengamat energi Kurtubi akibat penggunaan BBM, PLN menderita kerugian Rp 53 triliun selama tiga tahun. Sebagai perbandingan jika memakai BBM biaya listrik Rp 3.000 per kwh, sedangkan kalau pakai batubara Rp 400 per kwh dan kalau pakai gas Rp 500 per kwh. Ketiadaan pasokan energi murah, rakyat dipaksa membayar listrik dengan harga mahal (http://www.investor.co.id/, 29/1/2014).

Kurangnya pasokan energi ini juga menimpa industri lainnya. Sebagaimana yang diakui oleh Dirjen Basis Industri Manufaktur, Benny wachyudi, akibat pasokan energi tidak mencukupi maka terpaksa mengimpor dari luar negeri. Hal yang sama juga dialami UMKM, yang masih tersandera per­ma­salahan pasokan energi se­perti listrik dan gas . Sehingga menurut Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani, 2015 akan menjadi ta­hun berat dan ketat bagi UMKM dalam negeri karena memasuki perdagangan bebas ASEAN atau ASEAN Eco­nomic Community (AEC) (RMOL,18/10/2013). Pertanyaannya kenapa tidak pakai gas atau batu bara apakah Indonesia memang miskin sumber energi tersebut?

Kelangkaaan dan mahalnya energi tidak harus terjadi karena pada faktanya Indonesia memiliki sumber energi yang cukup . Menurut data Ditjen Migas tahun 2012, Cadangan minyak bumi sebesar 7,40 milyar barel dengan total produksi 314.666 ribu barel dan total ekspor 178.869 ribu barel (56,84 %). Cadangan gas 150.70 milyar barel dengan total produksi gas bumi 8.697 BSCFD, 59,3 % diekspor, sementara total produksi Liquefied natural gas (LNG) 958.537.030 MMBTU, dan total ekspor  949.441.340 MMBTU (99,1%). Batu bara 105.187,44  juta ton dengan total ekspor 30 juta ton per tahun (http://www.esdm.go.id/).

Langkah pemerintah melakukan ekspor ditengah tingginya permintaan dalam negeri merupakan anomali . Sebagai contoh  permintaan gas dalam negeri pada tahun 2012 mencapai 7.808,3 MMscfd, tetapi pasokan gas yang bisa dipenuhi hanya 4.374,8 Mmscfd atau 56% dari total produksi nasional sebanyak 7.583,1 MMscfd.

Dengan hanya mencermati  tiga sumber energi fosil tersebut tentu ada yang keliru  dan tidak masuk akal tentang kebijakan tata kelola energi di negeri ini. Betapa tidak ditengah permasalahan kelangkaan energi dalam negeri yang mengakibatkan kerugian yang luar biasa yang harus diderita oleh rakyat, kenapa pemerintah tetap melakukan ekspor. Bahkan untuk LNG 99,1 % dari total produksi digunakan untuk ekspor.

Kondisi ini sepenuhnya  tidak terlepas dari kebijakan tata kelola yang baik (good governance) ala neolib di bidang energi. Yaitu kebijakan energi dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik. Akibatnya sumber-sumber energi fosil sebagai energi primer yang merupakan sumber energi penting dan efektif, seharusnya dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat, harus   diserahkan pada pihak swasta terutama asing. Pihak swasta sebagai corporate  tentunya hanya berfokus pada kepentingan bisnis yang lebih mementingkan ekspor. Sesungguhnya kebijakan good governance dalam pengelolaan energi lahir dari sistem demokrasi kapitalis yang membuat  fungsi, wewenang dan tanggung jawab Negara dikebiri sebatas regulator saja. Hasilnya, negara hanya sebagai stempel legalisasi “perampokan” sumber-sumber energi yang merupakan harta milik umum seperti.

Akan halnya PT Pertamina Persero sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN),  yang sejatinya institusi industri milik umum seharusnya menjadi perpanjangan tangan negara dalam melakukan fungsi ri’ayah/pelayanan terhadap rakyat di bidang energi. Namun didorong sepenuhnya menjadi institusi bisnis dengan dalih agar pengelolaan energi dapat berjalan efektif dan efisien sebagaimana yang diamanatkan oleh konsep good governance ala sistem demokrasi kapitalis yang hakikatnya liberalisasi sumber-sumber energi penting.

PP-KEN : Solusi ataukah Mengokohkan  Liberalisasi Energi.

Ditengah kebutuhan energi yang terus semakin meningkat, Pemerintah bersama DPR mensahkan  Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menjadi PP-KEN tahun 2014. PP-KEN 2014 lebih menyoroti kepada tingginya ketergantungan kepada sumber energi fosil terutama BBM, sehingga perlu dicari sumber energi baru dan terbarukan. PP-KEN menetapkan penurunan pemakaian BBM dari 49% menjadi 23%, peningkatan pemakaian gas dari 20% menjadi 22%, batu bara dari 20% menjadi 30%. Sementara terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada  sumber energi baru dan terbarukan  dari 6% persen menjadi 23% tahun 2025 dan menjadi 31 % pada tahun 2050. Hal lain yang juga dianggap penting adalah kurangnya dana investasi di bidang energi sehingga perlu meningkatkan partisipasi pihak swasta.

Ada beberapa aspek yang urgen dicermati dari kebijakan ini, yaitu:

1. Penurunan pemakaian BBM dari 49 % menjadi 23% karena dianggap sumber energi telah menyebabkan defisit negara akibat besarnya impor. Sementara itu, besarnya impor bukanlah  semata-mata karena produksi  minyak Indonesia tidak mencukupi tapi karena sebagian besar besar minyak yang diproduksi di indonesia digunakan untuk ekspor karena ketiadaan kilang. Sementara opini yang dibangun bahwa cadangan minyak Indonesia akan habis 10 tahun lagi merupakan opini yang sesat dan menyesatkan. Sebagaimana yang disampaikan Rudi Rubiandi,Kepala SKK Migas non aktif,  Indonesia saat  ini memiliki 3,6 miliar barel minyak dengan produksi 800-900 ribu barel perhari, maka kira-kira cadangan minyak kita habis 12 tahun lagi. Pada tahun 1970 juga pernah dikatakan bahwa cadangan minyak kita akan habis pada 10 tahun lagi dan  nanti tahun 2100 akan ada juga yang mengeluarkan statement yang sama. Mengapa bisa begitu? Karena ada eksplorasi. Yang menyebabkan minyak kita akan habis atau tidak, adalah eksplorasi. Minyak yang kita sedot hari ini adalah hasil eksplorasi dari kakek dan orang tua kita 10-20 tahun lalu. (Vivanews, 3/6/2013).

2. Peningkatan pemakaian gas dari 20%  menjadi 22% dan batu bara dari 20% menjadi 30%, dinilai peningkatan tidak signifikan mengingat kedua sumber energi tersebut bernilai ekonomis tinggi  dan Indonesia memilikinya dalam jumlah yang cukup. Pertanyaannya mengapa kekurangan pasokan energi saat ini tidak sepenuhnya dipenuhi dari kedua sumber energi ini. Namun sayang komitmen inipun masih sulit dipenuhi  pasalnya, karena masih banyak kontrak ekspor gas yang durasi kontraknya jangka panjang sebagaimana diungkap Pelaksana Tugas Sementara Kepala SKK Migas, Johanes Widjonarko.

3. Peningkatan pemakaian energi baru terbarukan dari  6% menjadi minimal 23, ditengah kelimpahan sumber energi fosil tentunya saat ini bukanlah pilihan yang tepat karena dinilai  kurang  ekonomis dan efisiensi. Ini terbukti demi menarik investor untuk pengembangan energi terbarukan untuk PLN maka Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (K-ESDM) menerbitkan Permen No.22 tahun 2012  dan diperkuat  dengan Konsep Feed-in Tariff Permen No. 04/2012, dimana harga jual listrik yang ditetapkan cukup menarik bagi pengembang  listrik energi terbarukan sebagai berikut biomassa dan biogas Rp 975/kWh, sampah kota Rp 1.050/kWh, panas bumi Rp 1.200-2.200/kWh. Dengan demikian jika kebijakan ini terus dilaksanakan dapat dipastikan harga TDL yang saat ini sudah mahal akan semakin mahal apalagi sesuai tuntutan undang-undang pemerintah harus  terus menaikkan harga listrik sampai harga keekonomian/bisnis. Disamping itu penggunaan energi terbarukan tidaklah efektif karena untuk biomasa yang setara 1,2 juta barel/hari membutuhkan lahan yang sangat luas yaitu 49 juta hektar. Kebijakan meningkatkan penggunaan energi terbarukan juga sama saja membiarkan energi fosil dalam cengkaram  corporate seperti saat ini, sementara  rakyat disuruh membayar mahal akibat penggunaan energi terbarukan karena terbukti kurang bernilai ekonomis.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah  pasal-pasal yang terkandung dalami PP tentang KEN tahun 2014 tersebut semakin memperlebar liberalisasi bidang energi yaitu dengan menyerahkan sepenuhnya investasi pada pihak swasta. Aroma komersialisasi energi semakin kental sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (31) dan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), yaitu menetapkan harga energi sesuai harga keekonomian ( harga komersil). Dengan demikian PP tentang KEN tidak akan dapat menyelesaikan permasahalan di bidang energi karena ketika pengeloaan dilakukan oleh pihak swasta akan berorientasi bisnis sehingga energi melimpah, tapi harga tetap mahal namun sulit diakses karena pengusaha lebih mengutamakan ekspor terkait  dengan harga yang lebih menggiurkan.

Lahirnya PP-KEN tahun 2014 merupakan buah dari sistem politik demokrasi kapitalistik  yang diterapkan saat ini. Sistem yang mengabaikan aturan Islam dari kehidupan yang mengokohkan liberalisasi sumber-sumber energi penting. Akibatnya  membuat negara tidak mandiri serta membawa kesengsaraan bagi sebagian besar rakyat. 

Tata Kelola Energi Khilafah Menyejahterakan

Dalam pandangan Islam sumber daya energi adalah milik umum sebagaimana hadis Rasulullah , Kaum muslimin berserikat dalam 3 hal, yaitu air, padang rumput dan api (HR Abu Daud). Menurut an-Nabhani: yang dimaksud dengan api adalah sumber daya energi . Yang jika tidak  terpenuhi dalam masyarakat akan menimbulkan persengketaan dalam rangka mendapatkannya. Sehingga tidak boleh dikuasai oleh sekelompok orang atau pihak swasta. Karena itu Allah swt telah mengamatkan kepada Negara (KHilafah) untukmengelolanya, sebagaimana hadis rasulullah “Al imam adalah pemimpin kaum muslim yang akan bertanggung-jawab terhadap yang dipimpinpinya”. Negaralah yang bertanggungjawab sepenuhnya dalam pengelolaan sumber energi,  tidak hanya sebagai regulator   tapi sekaligus sebagai pengelolanya langsung. Sementara Pertamina merupakan industri milik umum, karena yang dikelola adalah sumber energi yang merupakan harta milik umum. Pertamina sebagai pengelola, berfungsi melakukan ri’ayah dengan memastikan semua rakyat dapat menikmati energi tanpa kompensasi, dengan mudah dan aman.

Adapun kerjasama dengan pihak swasta bukanlah dalam bentuk Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS), dimana pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta sementara pemerintah hanya meperoleh hak bagi hasil. Dalam kondisi ini negara tidak berhak melarang pihak pengelola melakukan ekspor energi  ke luar negeri meskipun kebutuhan energi dalam negeri sangat mendesak. Akan tetapi harus berupa relasi yang tidak akan mengurangi wewenang, fungsi dan tanggung jawab Negara, seperti sewa menyewa, upah mengupah yang sesuai ketentuan syariat Islam.

Negara juga akan berfokus mengembangkan  badan risetnya di bidang energi, sehingga mampu menemukan sumber-sumber energi baru yang potensial untuk dieksploitasi. Negara memastikan bahwa semua energi tersebut dapat dinikmati oleh seluruh rakyat maupun oleh dunia industri. Kelebihan dari kebutuhan dalam negeri dapat diekspor ke luar negeri yang keuntungannya dikembalikan kepada seluruh rakyat dalam bentuk kebutuhan publik lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur maupun untuk riset dan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia bidang energi.

Dengan tata kelola  sumber daya energi model Khilafah ini, membuat politik industri khilafah yaitu membangun industri berat yang akan melahirkan mesin-mesin produksi bagi industri selanjutnya dapat berjalan yang ujungnya dapat  menyejahterakan seluruh rakyat. Dengan demikian visi negara Khilafah sebagai negara kuat dan mandiri yang akan menyebarkan Islam melalui dakwah dan jihad, disamping mewujudkan kesejahteraan masyarakt, niscaya terlaksana.  Wallahu a’lam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*