Koalisi Pelangi Parpol: Nasihat Untuk “Partai Islam”

Pemilu legislatif telah digelar 9 April 2014 lalu dan hasilnya sudah diketahui, walau hanya berdasarkan quick count. Suara tampak terdistribusi cukup merata. Rakyat rupanya tak lagi bisa membedakan antara satu partai dengan partai yang lain.  Ibarat pasar yang berisi 12 toko, dengan dagangan yang sama, mutu, dan harga yang sama,  pembeli akhirnya tak lagi peduli berbelanja dimana. Bahkan pembeli yang memandang kondisi pasar tidak lagi terawat dan kotor, malah berpindah ke pasar lain dan enggan berbelanja di sana. Demikianlah kondisi pemilu 9 April lalu, angka golput melebihi perolehan jumlah suara tiga parpol besar pemenang pemilu (PDIP, Golkar dan Gerindra) yakni mencapai 34,02 % (Hasil Survei LSI).

Kini masyarakat giliran menyaksikan bagaimana parpol-parpol menunjukkan sikap pragmatisnya dalam menjalin koalisi antar parpol. Perbedaan ideologi, visi-misi, konsep dan gagasan tidak lagi nampak dalam prilaku politisi dan pejabat parpol tersebut. Parpol A akan bergandengan mesra dengan parpol X, meski sebelumnya ia caci. Parpol  B akan berkoalisi dengan parpol Y untuk mendukung salah satu capres yang sebelumnya dikatakan pengkhianat dan inkar janji. Parpol C akan berkoalisi dengan parpol Z yang katanya seteru Ideologi. Fakta ini tak terkecuali juga terjadi pada ”parpol-parpol Islam” atau parpol berbasis masa Islam. Yang satu lari ke Jokowi. Satu lagi datang ke Gerindra. Sementara yang lain mengintip sikap Golkar. Sangat tepat kiranya, bila koalisi macam ini disebut ”koalisi pelangi”, berwana-warni, baik ideologi dan maupun kepentingannya. Wacana poros tengah, sayup sayup terdengar kalah oleh ego masing-masing parpol. Ada yang bilang sudah ”out of contex”. Ada juga yang malah terus mengungkit pengalaman  pahit. Begitulah kenyataannya, jangankan berdiri sendiri, dengan visi-misi sendiri, bersama pun mereka tidak percaya diri. padahal jumlah suara mereka terbilang cukup besar. Alih-alih munculkan figur, malah suhu internal parpol makin memanas karena terlalu banyak yang bernafsu menjadi penguasa.

Oleh karena itu, yang diperlukan saat ini bagaimana ”parpol-parpol Islam” atau parpol berbasis masa Islam itu memahami kembali jati dirinya, memahami kembali norma-norma ajaran Islam terkait dengan koalisi parpol, serta mengoreksi kembali paradigma manfaat yang senantiasa mereka pakai, yakni dengan memilih menjadi parpol terbuka dan berkoalisi dengan parpol sekuler sungguh, yang nyatanya tidak menghasilkan apa-apa kecuali cacian akan kemunafikan dari rakyat dan rekan koalisi sendiri. Dan yang terpenting, merenungkan kembali besarnya azab Allah Swt bagi orang yang menyia-nyiakan amanah terlebih bila mereka adalah orang-orang yang mengerti hukum. Semoga tulisan ini bisa jadi renungan dan sedikit peringatan. Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.

 

Realitas Koalisi Parpol Islan dan Parpol Sekuler

Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).

Tulisan singkat ini mencoba mengkaji hukum koalisi parpol Islam dan parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik praktis, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan secara umum sebagai penggabungan atau kerja sama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik, seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4) menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.

Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia bukan barang baru. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (parpol sekuler) dan PPP (parpol Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Parpol Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi – PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi – PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).

Tak hanya di parlemen koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga terjadi di pilkada-pilkada di berbagai daerah. Bahkan bukan hanya koalisi dengan parpol sekuler melainkan juga dengan parpol kristen sekalipun seperti yang terjadi pada koalisi antara PKS dan PDS (partai Kristen di Papua)

Koalisi pragmatis model ini mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul Muslimin dengan beberapa parpol sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di Mesir pernah berkoalisi dengan Parpol Wafd, yang merupakan gabungan parpol komunis dan parpol sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah berkoalisi dengan Parpol Asy-Sya’ab, yaitu parpol buruh dalam pemilu anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan parpol berkuasa dan kemudian membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan kenegaraan. (Anonim, 2004).

Sebenarnya hasilnya cukup jelas, dengan logika pragmatis saja, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler tak membawa manfaat apa-apa. Alih-alih membesarkan kekuatan parpol Islam, malah mereka tergerus dan akhirnya ditinggalkan oleh konstituen mereka sendiri.  Espektasi umat Islam yang begitu tinggi terhadap kiprah parpol Islam membuat suara mereka besar di awal-awal pendiriannya, setelah itu cenderung menurun seiring dengan kepercayaan publik yang mayoritas mereka adalah umat Islam. Hal ini terjadi karena mereka tidak melakukan pembinaan yang benar terhadap umat dan di saat yang sama mereka juga kehilangan pendukung fanatik yang awalnya disatukan oleh ideologi. Pada gilirannya hal ini hanya akan mengokohkan rasa tidak percaya diri parpol-parpol Islam di hadapan parpol sekuler. Al-hasil, pragamatisme hanya akan menciptakan pragmatisme yang lebih hina. Oleh karena itu, sikap itu harus segera dibuang lalu kembali ditanamkan optimisme dan keyakinan, sembari menjauhkan diri dari kepentingan-kepentingan duniawi dalam perjuangan. Keyakinan itu sangat penting, karena ia merupakan kunci keberhasilan. Rasulullah Saw bersabda:

نَجَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بِالْيَقِينِ وَالزُّهْدِ

“Generasi pertama umat ini selamat (meraih sukses) dengan  keyakinan dan sifat zuhudnya” (HR. at-Tabraniy, hadis ini juga dinukil dalam, al-Yakin Libni Abi Dunya).

Hukum Koalisi Parpol Islam  dan  Parpol Sekuler

Dengan meneliti fakta (manath) koalisi parpol Islam dan parpol sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa tujuan utama koalisi tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.

Faktanya, dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang (republik), semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan parlemen, tidak menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang berlaku), melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).

Presiden dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan menjalankan UU buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi UU yang tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya, melainkan menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada legislasi atau penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja, dan merupakan perkecualian.

Padahal, Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan Syariah Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial. (Lihat QS An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS Al-Baqarah : 85).

Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45, 47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65). Firman Allah SWT :

Maka dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah disebutkan di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara’, maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar’i.

Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar’iyah. Rinciannya sebagai berikut :

Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram, yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur (bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maaidah [5] : 2)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :

يأمر تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على الباطل. والتعاون على المآثم والمحارم…

“Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).

Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.

Kedua, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Huud [11] : 113)

Kalimat “janganlah kamu cenderung” (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu menaati mereka (laa tuthii’uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul ‘Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a’maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,”Semua penafsiran ini hampir sama maknanya.” (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :

وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة…

“Ayat ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan yang lainnya, karena bersahabat dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan, mengingat persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Berdasarkan penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler haram hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya adalah orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma’ashi), karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat dengan mereka.

Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokrasi-sekuler sekarang. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera –bukan berlambat-lambat– dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan ketaatan. Allah SWT berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 133).

Kata saari’uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi, 2/103). Maka koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler haram karena bertentangan dengan perintah Allah ini, sebab koalisi seperti itu justru akan memperlama eksistensi sistem sekuler dan menunda semakin lama penerapan Syariah Islam yang menyeluruh.

Keempat, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan mengantarkan orang-orang mereka dalam jabatan-jabatan pemerintahan dalam sistem sekuler. Padahal telah ada hadis sahih yang melarang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan (penguasa) dalam sebuah pemerintahan yang menyalahi Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler sekarang. Sabda Nabi SAW :

ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء يقدمون شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian adalah pemimpin-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat (‘ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau menjadi penyimpan [harta].” (Musnad Abu Ya’la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,”Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.”).

Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا

“Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta. Maka barang siapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka.” (HR Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).

Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata “ariif” dan “jaabi” dalam hadis di atas sebagai berikut :

العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس…والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها

“Yang dimaksud “ariif” adalah orang yang memegang tanggung jawab masyarakat umum [pejabat pemerintahan], sedang “jaabi” adalah orang yang bertugas memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang semisalnya [petugas pajak].” (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).

Berdasarkan hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol sekuler haram hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah menempatkan kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik, seperti presiden dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak menjalankan Syariah Islam. Posisi jabatan publik dalam sistem kufur seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.

Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :

لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).

Kata “hilfun” dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan “hilfun” yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara’.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 3/302).

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang oleh syara’, karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka sebagai presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum kufur).

Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’. Nabi SAW telah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).

Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul Bari berkata :

أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ

“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).

Jadi, hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan syara’. Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak akan terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak. Misalnya siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan menduduki kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat koalisi ini terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak menjalankan hukum Syariah Islam.

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’, yaitu memperoleh kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.

Ketujuh, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan perantaraan (wasilah) kepada sesuatu yang haram, yaitu duduknya para kader mereka sebagai pejabat publik (seperti presiden dan menteri) dalam sistem demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan hukum-hukum kufur. Kaidah syara’ dalam masalah ini menetapkan :

الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ

“Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 3/46)

Berdasarkan ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara syar’i.

 

Apa Yang Harus Dilakukan.?

Dengan memperhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa pilahan parpol Islam untuk berkoalisi dengan parpol sekuler merupakan pilihan yang salah dan haram. Oleh karena itu seharusnya parpol Islam bersatu memperjuangkan aspirasi dan visi misi umat Islam. Bila ada beberapa parpol Islam yang tidak mau bersatu, maka seharusnya parpol Islam yang masih memiliki kesadaran politik Islam dia tetap berdiri kokoh dan berjuang -meski sendirian-  demi Ideologi, visi-misi, dan gagasan Islam yang diperjuangkannya, bukan malah ikutan bersikap pragmatis. Bila dirinya, tidak mampu melakukan itu, karena betapa besarnya tantangan dakwah di dalam sistem sekuler ini, maka seharusnya dia melepaskan amanah kekuasaan itu. Setiap orang seharusnya dia berani berkuasa bila dia mampu memikul amanahnya. Sebab kekuasaan adalah amanah dan setiap amanah akan berbuah penderitaan dan penyesalan di akhirat bagi orang-orang yang tak mampu memikulnya. Inilah pesan Rasulullah Saw kepada umatnya yang beliau sampaikan kepada abu Dzar al-Ghifari, ketika ia datang kepada beliau meminta kekuasaan. Ia berkata kepada:

: قلت يا رسول الله ألا تستعملني ؟ قال فضرب بيده على منكبي ثم قال ( يا أبا ذر إنك ضعيف وإنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها )

Aku berkata: “Ya Rasulullah, tidakkah engkau jadikan aku sebagai pegawaimu..?” Rasulullah kemudian menepuk bahu Abu Dzar dengan dengan tangga nya seraya berkata: “Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah, sesungguhnya (kekuasaan ini) adalah amanah dan pada hari kiamat ia (akan berbuah) nista dan penyesalan, kecuali orang yang yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya” (HR. Muslim)

Imam an-Nawawiy, dalam Syarahnya menyatakan, hadis ini adalah dasar yang agung dalam hal menjauhi kekuasaan, terlebih bagi orang yang dipastikan tidak akan mampu memikulnya (Syarhun Nawawiy ‘Ala Muslim, Imam an-Nawawiy, 6/6)

Contoh terbaik dalam hal kehati-hatian dalam mengambil amanah kekuasaan bisa kita lihat pada sikap para sahabat.  Dari Abi Mas’ud ra ia berkata:

بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم ساعيًّا على الصدقة ثم قال: “انطلق أبا مسعود، لا ألفينك يوم القيامة تجيء على ظهرك بعير من إبل الصدقة له رُغاء قد غللتهقال: إذًا لا أنطلق، قال: “إذًا لا أُكرهك (رواه أبو داود

Rasulullah Saw pernah mengutusku untuk memungut zakat. Beliau berkata: “Pergilah wahai Aba Mas’ud”. Beliau kemudian melanjutkan perkataannya: “Sungguh aku akan menemuimu di hari kiamat, sementara engkau datang memikul unta-unta shadaqah (zakat) yang teriak meronta di atas punggungmu, dialah (harta ghulul) yang engkau ambil darinya”. Kemudian Abu Mas’ud berkata: “Kalau begitu saya tidak jadi pergi wahai Rasulullah”. Rasul kemudian menjawab: “aku pun tidak akan memaksamu” (HR. Abu Daud).

Sikap ini, tentu patut dicontoh oleh parpol Islam yang selama ini “berjuang” di parlemen dan pemerintahan. Bila ia tidak mampu menerapkan Islam dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat yang menjadi tanggungannya,  seharusnya mereka menyerahkan kekuasaan dan jabatan yang diraihnya dalam sistem demokrasi itu. Lalu berjuang dengan sungguh-sungguh dan konsisten, mengubah sistem ini dengan sistem Islam, agar buka hanya orang Islam yang berkuasa melainkan juga sistem yang diyakininya. Hanya dengan itu, ia dapat menunaikan amanahnya saat ia berkuasa. Wallahu A’alam Bi ash-Showab.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*