Cinta Pembawa Petaka Vs Cinta Pembawa Bahagia

Kita tentu ingat peristiwa melilukan yang menimpa Ade Sara Angelina (19).  Ia ditemukan telah tewas, dibunuh oleh Hafitd (19), mantan pacarnya dan dibantu kekasih baru Hafitd, Assyifa (19).  Semua dilakukan Hafitd karena sakit hati diputus cinta oleh Ade Sara (Kompas.com, 06/03/2014).

Tak sampai seminggu kemudian, kasus yang hampir sama terulang.  Mia Nuraini (16), meninggal setelah dikeroyok Albi Haq (21), mantan pacarnya, bersama 7 temannya.  Motifnya, menurut kepolisian, adalah dendam akibat Mia memutus hubungan mereka dan mencari kekasih baru (Tempo.co, 13/03/2014).

Sementara di Semarang, seorang perempuan dibunuh oleh teman kencannya karena menolak ajakan bersetubuh, lantaran sedang datang bulan (Jawa Post National Network, 26/03/2014).

Semua peristiwa tersebut dan masih banyak lagi yang serupa melengkapi panjangnya daftar kasus pembunuhan berlatar belakang cinta.

Persoalannya, sebegitu murahkah nyawa manusia saat ini?  Hanya karena cinta ditolak, lantas tega mencabut nyawa?  Apakah ini gambaran masyarakat yang semakin beringas?  Ataukah, cinta sudah dipertuhankan, sehingga nyawa tidak lagi berharga?

Berhala Baru Bernama Cinta

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jaman sekarang orang telah banyak memberhalakan cinta.  Ia dipuja, dipentingkan di atas segala kepentingan, dituruti semua permintaannya, bahkan hingga menuntut kematian sekali pun. 

Sebagian ahli psikologi Barat berpandangan bahwa bercinta adalah kebutuhan bagi tiap manusia.  Mereka menyebutnya sebagai kebutuhan biologis.  Sebagai suatu kebutuhan, cinta musti dibangkitkan sehingga bisa dipenuhi.  Maka konsekuensinya, hal yang bisa membangkitkan hasrat bercinta dimunculkan di seluruh aspek kehidupan.

Perempuan lantas dikomersilkan untuk menarik laki-laki, dengan pakaian, dandanan, dan gaya; baik di jalan, di tempat kerja maupun di dunia hiburan.  Pacaran jadi keniscayaan.  Percampuran laki-laki dan perempuan tanpa batas dibudayakan.  Kondisi ini terjadi secara sistemik, menjadi tatanan hidup masyarakat yang sulit untuk dihindarkan karena sudah disetting sedemikian rupa untuk diterapkan.

Hasilnya kita tuai saat ini.  Cinta dipuja dan dijadikan sebagai tujuan hidup.  Pribadi-pribadi rapuh, cengeng, mendamba cinta, tak sanggup hidup tanpa cinta, mudah bertekuk lutut hanya dengan ucapan cinta, menjadi gambaran kepribadian sebagian masyarakat kita.

Dengan kondisi seperti ini, tak sedikit akhirnya orang memilih mati daripada kehilangan cinta, atau memilih untuk membunuh orang yang tadinya dicinta karena tidak siap menerima kenyataan tidak dicintai.  Jika generasi muda kita memiliki mental semacam ini, bagaimana nasib umat ini ke depannya?

Memahami Hakekat Cinta

Pemikiran Barat tentang cinta ini bertentangan secara diamentral dengan pemikiran Islam.  Islam memandang bahwa cinta laki-laki dan perempuan adalah salah satu bagian dari gharizah nau’ atau naluri manusia untuk melestarikan jenis.  Naluri berbeda dengan kebutuhan pokok dalam hal kemunculan dan pemenuhannya.

Kebutuhan pokok, seperti kebutuhan akan makan, minum dan buang hajat, muncul dari dalam diri secara otomatis sekalipun tidak ada rangsangan dari luar.  Bila tidak dipenuhi, tubuh akan mengalami kerusakan, yang bisa membawa pada kematian.

Berbeda dengan gharizah (naluri) yang tidak muncul secara otomatis dari dalam diri.  Naluri ini muncul karena ada rangsangan dari luar.  Bila rangsangan tersebut tidak ada, gharizah pun tidak muncul.  Bahkan bila gharizah ini tidak dipenuhi, akibatnya hanya sebatas kegelisahan saja.

Menempatkan cinta sebagai suatu kebutuhan (pokok), jelas adalah satu kesalahan besar.  Tidak terpenuhinya naluri terhadap rasa cinta tidak akan berakibat pada penderitaan dan kematian seseorang.  Buktinya, banyak orang yang hidup tanpa cinta, tidak memiliki pasangan untuk menyalurkan hasrat cintanya, tetapi hidupnya baik-baik saja.

Menempatkan Cinta Pada Tujuannya

Islam memandang, bahwa hasrat cinta dan naluri seksual adalah naluri yang diciptakan Allah pada manusia untuk melestarikan kelangsungan jenisnya.  Dengan naluri ini, laki-laki dan perempuan bisa berpasangan dan melahirkan keturunan.  Di sinilah kelebihan Islam sebagai syari’at yang diturunkan Allah.  Islam tidak menghendaki proses menghasilkan keturunan ini semata-mata hanya menghasilkan anak.

Allah SWT menghendaki keturunan manusia adalah keturunan yang berkualitas.  Ia diasuh dan dididik sebaik-baiknya, dijamin nafkahnya, dibesarkan dalam suasana kasih sayang dan keteladanan untuk menjadi muslim paripurna.  Proses ini hanya dimungkinkan jika anak menjadi tanggung jawab bersama antara ayah dan ibunya.  Karena itulah, Islam membatasi lahirnya keturunan hanya dari suatu pernikahan.  Dan ini berarti, Islam menghendaki cinta antara laki-laki dan perempuan berikut penyalurannya hanya boleh dimunculkan di dalam sebuah pernikahan.

Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً 

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. An Nisaa : 1).

Di luar ikatan pernikahan, Islam melarang dan mencegah munculnya cinta kasih antara laki-laki dan perempuan dan hasrat seksual keduanya.  Ini karena di luar pernikahan, tujuan melestarikan jenis manusia dalam rangka menghasilkan generasi terbaik bagi umat tidak mungkin untuk dicapai.

Sekalipun demikian, Islam tidak melarang adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat.  Bahkan Islam menganggap bahwa keduanya harus bekerjasama dalam mewujudkan kemashlahatan masyarakat (Lihat QS. At Taubah : 71).

Interaksi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum tidak selalu menghasilkan hubungan cinta kasih dan membangkitkan hasrat seksual di antara keduanya.  Yang bisa membangkitkan adalah jika pandangan dari salah satu pihak kepada pihak yang lain berubahnya dari pandangan kerjasama ke pandangan ketertarikan seksual.  Dan bila itu yang terjadi maka kerjasama di antara mereka akan menjadi rusak, muncul perselingkuhan, pacaran dan seks bebas.

Untuk itu, Islam memberikan seperangkat hukum syara’ yang harus diterapkan dalam kehidupan.   Aturan tersebut menjamin hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan tetap merupakan hubungan kerjasama yang produktif.

Pengaturan Hasrat Cinta dalam Masyarakat Islam

Allah SWT sebagai Pencipta manusia Maha Tahu akan sifat dan karakter yang melekat pada manusia.  Ia Maha Tahu apa yang merupakan solusi terbaik bagi permasalahan manusia.  Karena itu aturan Allah berupa hukum syara’ adalah aturan terbaik untuk manusia. Begitu pula aturan syara’ untuk pengelolaan naluri cinta laki-laki dan perempuan.

Hukum syara’ mengatur agar tidak ada hal-hal (rangsangan) yang bisa memunculkan cinta yang tidak pada tempatnya.  Diantaranya, Islam telah memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk bertakwa kepada Allah serta menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan (QS.An Nuur:30-31).  Islam juga memerintahkan keduanya menjaga kehormatan diri dengan menutup aurat.  Batas aurat laki-laki adalah pusar sampai lutut (HR Ahmad).  Aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan (QS An Nuur:31), yang harus ditutup dengan mengenakan kerudung (QS An Nuur:31) dan jilbab (QS Al Ahzab : 59).

Islam melarang perempuan berdandan berlebihan yang menampakkan kecantikannya kepada laki-laki yang bukan mahram (QS An Nuur:60), melarang khalwat, yaitu bersepi-sepinya seorang laki-laki dan perempuan tanpa mahram (HR Bukhari Muslim) dan melarang campur baurnya laki-laki dan perempuan tanpa ada kepentingan yang dibenarkan oleh syara’, seperti berpesta, atau berkumpul-kumpul untuk sekedar bersenang-senang.

Islam melarang untuk mendekati zina (QS.Al Isra :32), seperti berpacarannya remaja-remaja sekarang yang tidak lagi sungkan berpegangan tangan, berpelukan dan berciuman.  Sebaliknya Islam justru memerintahkan para pemuda yang sudah mampu menikah untuk segera menikah, dan yang belum mampu untuk menjaga kesucian dirinya (QS An Nuur : 32-33), antara lain dengan memperbanyak berpuasa.  Puasa ini berfungsi mengalihkan gharizah nau’ kepada hal yang lebih tinggi nilainya yakni ibadah kepada Allah.

Sekalipun hukum syara’ ini dapat dilakukan secara individu, namun pelaksanaannya tidak akan sempurna tanpa ada sistem yang menerapkan.  Fungsi dari sistem adalah menjadikan hukum tersebut dijalankan, yaitu dengan mengkondisikan terlaksananya hukum dan  memberikan sanksi kepada orang yang tidak menjalankannya.

Sebagai contoh, keharaman bercampur baurnya laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i.  Dalam tataran individu, bisa saja seseorang menghindarkan diri.  Tetapi ia hanya menghindarkan dirinya sendiri, sementara orang lain tetap mengerjakannya.  Berbeda dengan bila sistem yang menerapkan aturan ini.  Sistem akan membuat aturan yang mengkondisikan umat menjalankannya, seperti pemisahan moda transportasi untuk laki-laki dan perempuan, pemisahan ruang-ruang kelas untuk pelajar laki-laki dan perempuan, penyediaan dokter perempuan yang memadai bagi pasien perempuan, dan sebagainya.  Begitu pula sistem akan berperan memberikan sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan syara’ tersebut.

Islam juga memerintahkan penguasa untuk menjaga suasana takwa di tengah masyarakat.  Penguasa bertanggungjawab menyusun kebijakan yang memastikan rakyat memahami agama dan terikat dengan hukum syara’.  Penguasa wajib mengontrol peredaran opini dan pemikiran di tengah masyarakat dan menjauhkan segala bentuk penyesatan dan ajakan kepada maksiat.  Karena itu, buku, majalah, film dan sebagainya, yang merusak pemikiran umat harus dijauhkan.  Termasuk penyebaran pemikiran dan fakta merusak tentang cinta dan seks ala kapitalis.

Dengan mekanisme penjagaan yang berlapis, dari ketakwaan individu sampai penjagaan oleh sistem, hasrat cinta yang muncul pada manusia dapat dikendalikan dan diarahkan sesuai tujuan penciptaannya.  Cinta hanya dihidupkan dalam ikatan pernikahan suami-istri, tetapi dijauhkan dari kehidupan masyarakat umum.

Sistem yang mampu untuk mewujudkan kebahagiaan dan ketenangan tersebut tidak lain adalah Daulah Khilafah Islam.  Sistem inilah yang harus kita perjuangkan untuk dapat diterapkan agar hasrat cinta bisa membawa kebahagiaan dan ketenangan bagi manusia, bukan kerusakan dan petaka. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*