Logika Golput

Rabu, 9 April 2014 pagi. “Mau milih nggak, Bi?” tanya istri saya kepada pembantu di rumah. Hari itu adalah hari coblosan. Wajarlah kita menanyakan soal itu kepada bibi pembantu di rumah. Siapa tahu dia, seperti pembantu lainnya, ingin ikutan “pesta demokrasi”. Apa jawabnya? “Ah, nggak Bu…Buat apa, nanti kalau sudah kepilih juga nggak ingat sama kita,” cetusnya.

++++

Saya tidak tahu berapa banyak orang lain, termasuk pembantu rumah tangga, yang pada Pemilu kemarin berpikiran sama dengan pembantu di rumah saya. Menarik,  “orang kecil” seperti bibi itu ternyata sudah punya logika sendiri tentang kegiatan yang oleh “orang-orang besar” sering disebut “menentukan masa depan bangsa”.  Sebuah logika yang sederhana, tetapi terasa mengena.

Jelas bibi di rumah telah ikut andil terhadap besarnya angka golput dalam Pemilu 2014. Menurut berbagai lembaga survai, angka golput pada Pileg baru lalu mencapai sekitar 34%, naik dari Pemilu sebelumnya yang sekitar 29%. Ada yang mengatakan golput mencapai 37%, bahkan sebenarnya 47%, tetapi karena KPU merevisi jumlah DPT jadi golput aktual menjadi sekitar 37%.

Kita tentu tidak sedang bergembira dengan tingginya angka golput. Bagi saya, tingginya angka golput belumlah mencerminkan apa-apa mengingat banyaknya faktor yang membuat orang tidak memilih.

Sebenarnya golput dalam Pemilu bukanlah gejala aneh. Di AS, yang disebut negara paling demokratis sekalipun, “golput” juga ada. Pemilihan Presiden AS tahun 2012 lalu hanya diikuti oleh sekitar 57%. Artinya, 43% golput. Di Thailand dalam Pemilu Februari lalu, golput malah mencapai lebih dari 53 %. Di Nigeria lebih besar lagi, golput  72%. Dalam 40 tahun terakhir, jumlah partisipasi pemilih dalam Pemilu di berbagai belahan dunia memang terus menurun. Kondisi serupa juga terlihat di Eropa Barat, Jepang dan Amerika Latin. Kenyataan ini bahkan sudah menjadi bahasan tersendiri di antara para pakar ilmu politik dalam beberapa tahun terakhir.

Sebelum hari coblosan, sebenarnya usaha keras sudah dilakukan oleh KPU dan Pemerintah untuk meningkatkan angka partisipasi dalam Pemilu. Berbagai cara telah dilakukan untuk membujuk pemilih datang ke TPS. Namun, bujukan itu sepertinya tidak sepenuhnya mempan. Buktinya, angka golput malah meningkat. Pemilih, seperti bibi di rumah, ternyata memiliki logika sendiri.  Logika unik itu pula yang tampaknya terbaca pada hasil Survei Syariah 2014.

Hasil Survei Syariah 2014 yang dilakukan oleh SEM Institute terhadap 1400-an responden di 38 kota besar di seluruh Indonesia menunjukkan 72 persen masyarakat menginginkan tegaknya syariah Islam hingga level berbangsa dan bernegara. Fakta ini diungkap dalam acara Halqah Islam dan Peradaban (HIP) bertema Membaca Trend Opini Publik Tentang Politik Keumatan 2014 yang diselenggarakan di Auditorium Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta pada akhir Februari lalu.

Pengamat Politik LIPI Prof. Ikrar Nusa Bhakti yang menjadi salah satu pembicara ketika itu mengungkapkan kekagetannya terhadap hasil survei itu. Dia juga menyatakan bahwa survei-survei yang selama ini dilakukan, seperti survei capres misalnya, ternyata tidak mampu meng-cover keinginan sebagian besar aspirasi masyarakat. Namun, ia juga menyatakan keheranannya, bila benar 72 persen masyarakat menginginkan syariah, mengapa PBB yang tegas mengusung syariah, juga partai Islam lain, kalah dalam Pemilu?

Soal ketidaknyambungan antara aspirasi umat dengan perolehan partai Islam dalam Pemilu juga disampaikan oleh Amirsyah Tambunan, Wakil Sekjen MUI, yang juga menjadi pembicara dalam forum yang sama. Menurut dia, apa yang ada dalam gagasan belumlah sama dengan tindakan. Maksudnya, bila umat menginginkan syariah mestinya keinginan itu diujudkan dalam dukungan umat terhadap partai Islam, khususnya yang menginginkan tegaknya syariah. Nyatanya, dukungan umat terhadap partai Islam dalam Pemilu 2014 lalu tidaklah sebesar dukungan terhadap syariah. Mesti baru sebatas hasil Hitung Cepat (Quick Count), suara Partai Islam seperti PPP (6,70%) dan PKS (6,90%), dan partai berbasis massa Islam seperti PKB (9,20%) dan PAN (7,50%)  kalah dibanding dengan partai nasionalis. PDI-P di urutan nomer 1 dengan 18,90%, disusul Golkar 14,30%, Gerindra 11,80%, Partai Demokrat 9,70%. PBB yang dianggap paling vokal dalam menyuarakan syariah malah hanya mendapat sekitar 1,8%, jauh di bawah ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 3,5%.

Soal ketidaknyambungan antara keinginan dan tindakan umat, dijelaskan oleh Ustadz Rokhmat S. Labib dalam HIP, bahwa itu bukan sepenuhnya salah umat. Mestinya juga harus dipersoalkan kinerja partai politik Islam. Mereka mengaku partai Islam, tetapi acap berpikir dan bertindak tidak islami. Intinya, kinerja partai Islam tidaklah dilihat oleh umat benar-benar mencerminkan sebuah perjuangan Islam, termasuk dalam apa yang disebut usaha untuk penegakan syariah.

Lihatlah, di satu sisi mereka dalam kampanye selalu menyatakan diri sebagai partai  harapan umat, rumah besar umat Islam, pejuang aspirasi Islam dan lainnya; lalu umat dibilang pilihlah partai Islam, jangan golput, kalau tidak ingin Indonesia dikuasai oleh pemimpin sekular. Namun, setelah dipilih, mendapat suara sekian persen, kok tidak tampak greget untuk berbuat sesuatu yang sebutlah bernuansa perjuangan Islam. Alih-alih berjuang untuk Islam, partai Islam malah mendukung dan berkoalisi dengan partai sekular. PPP misalnya, yang menyebut dirinya sebagai Rumah Besar Umat Islam, dengan ringan malah  berkoalisi dengan Partai Gerindra yang notabene adalah partai nasionalis. Kalau begitu, buat apa umat mendukung partai Islam, kalau toh akhirnya dukungan itu  diberikan juga kepada partai nasionalis?

Ketika masa kampanye, umat dibilang pilihlah partai Islam, jangan golput, kalau tidak ingin parlemen diisi oleh orang kafir dan kita dipimpin oleh orang kafir. Namun ternyata, mereka sendirilah yang mencalonkan orang kafir sebagai caleg. Di NTT, misalnya, sebuah partai Islam mencalonkan lebih dari 21 orang kafir sebagai caleg mereka. Dalam Pilkada kota Solo beberapa tahun lalu, partai yang sama juga mencalonkan F.X. Hadi Rudyatmo yang Kristen sebagai wakil walikota bersama Jokowi. Ketika itu mereka menyatakan, tidak mengapa mencalonkan orang kafir karena toh cuma sebagai wakil. Kini sang wakil yang Nasrani itu akhirnya benar-benar menjadi walikota, menggantikan Jokowi yang naik jadi gubernur DKI Jakarta. Jadi, siapa yang telah menjadikan orang kafir sebagai penguasa, mereka sendiri atau umat?

Di sisi lain, hingga tulisan ini dibuat, gagasan untuk membentuk Poros Islam agar bisa mengangkat Capres sendiri yang digerakkan oleh sejumlah tokoh Ormas Islam, makin kabur, kalau tidak boleh disebut  kandas. Pasalnya, masing-masing partai Islam atau partai berbasis massa Islam agaknya telah punya agenda sendiri-sendiri, termasuk dengan siapa nantinya bakal berkoalisi. Bila PPP telah mendeklarasikan koalisinya dengan Gerindra, PKB juga menyatakan lebih sreg berkoalisi dengan partai nasionalis. PAN juga tidak mau membuat Poros Islam. Ia lebih senang membentuk Poros Indonesia Raya. Nyatalah, mantra partai apa pun, termasuk partai Islam, tidaklah berbeda: pragmatisme. Kalau Poros Islam akhirnya benar-benar gagal, umat dan tokoh-tokoh ormas Islam yang menjadi penggagasnya, tentu saja akan sangat kecewa.

Di situlah persimpangan antara umat dan tokoh umat, yang biasanya memang bergerak penuh idealisme, dengan elit partai politik yang cenderung pragmatis terjadi. Di situ pula ketidakpaduan persetujuan umat terhadap syariah yang demikian tinggi dengan rendahnya dukungan terhadap partai Islam menemukan penjelasan.

Oleh karena itu, dalam forum HIP tadi saya menyatakan bahwa kita tidak bisa menyalahkan begitu saja bila umat tidak memilih. Itu tak ubahnya seperti orang yang mau membeli mangga. Ia ingin yang segar dan manis. Bila yang dicari tidak ketemu, lalu tidak jadi beli, ya jangan salahkan orang yang tidak mau beli. Jangan salahkan pula bibi di rumah, yang merasa tidak ada gunanya memilih. Seharusnya “penjual mangganya” instropeksi. [M. Ismail Yusanto]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*