Pileg sudah berakhir. Hasilnya pun sudah bisa diduga. PDIP merebut suara terbanyak, meskipun tidak dominan. Adapun partai-partai yang mencantumkan asas Islam atau berbasis massa Islam, peraihan suaranya, ada yang naik ada yang turun. Namun, kalau ditotal seluruhnya ada peningkatan suara. Adapun golput diperkirakan jumlahnya meningkat, ada yang menyatakan sekitar 30% lebih. Artinya, suara golput mengungguli suara yang diraih PDIP.
Pemilu demokratis kemarin juga meraih kesuksesan dalam bentuk lain. Pertama: Pemilu demokratis sukses memperdaya rakyat, seolah-seolah Pemilu ini sangat penting untuk rakyat; menentukan masa depan Indonesia ke depan. Namun, belajar dari pengalaman Pemilu sebelumnya, suara rakyat justru dipakai untuk membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Privatisasi, menambah utang luar negeri, menaikkan harga BBM, semuanya atas nama rakyat. Padahal omong-kosong Pemilu demokratis untuk perbaikan selama tidak ada perubahan sistem kapitalisme yang menjadi pangkal derita rakyat.
Kedua: Pemilu demokratis sukses mengokohkan kembali sistem kapitalisme yang menjadi pangkal derita rakyat Indonesia. Apalagi pemenang Pemilu adalah partai atau elit politik yang punya trackrecord buruk dengan kebijakan-kebijakan neo-liberal yang menambah derita rakyat.
Hal ini yang ditegaskan pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy. Menurut dia, pemenang Pemilu akan melanjutkan neoliberal dan ikut arus globalisasi (Media Umat, Edisi 126).
Ketiga: Pemilu demokratis sukses membongkar elit politik yang tunduk kepada negara-negara imperialis Barat dengan berupaya mencari restu dari mereka. Belum berkuasa, Jokowi sudah sowan meminta restu pihak asing dalam pertemuan dengan para dubes asing termasuk Dubes Amerika. Penting dicatat, pertemuan ini dilakukan di rumah pengusaha Jacob Soetoyo yang juga pernah tercatat dalam barisan dewan pengawas Center of Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2005. CSIS adalah lembaga thinktank penting era Orde baru. CSIS selama Orde Baru dikenal dengan pemikirannya yang sekular, liberal dan cendrung anti Islam.
Pertemuan ini dikecam keras Jubir HTI. Menurut Ismail Yusanto. Pertemuan ini menujukkan Jokowi sangat bergantung pada restu pihak asing, khususnya Amerika. Kalau sudah seperti ini bagaimana kita bisa berharap ada kemandirian dan kedaulatan atas negeri ini?
Keempat: gebyar Pemilu dengan perbagai pencitraan partai dan elitnya sukses menghapuskan memori rakyat. Rakyat menjadi lupa siapa penjahat-penjahat politik yang selama ini membuat mereka menderita. Lewat pencitraan media yang dikuasa pemilik modal mereka muncul seolah-olah pro rakyat, bisa membawa perubahan untuk rakyat.
Padahal PDIP dan Golkar sebagai dua partai besar yang berasas nasionalis-sekular sebagai pemegang Pemilu sarat dengan cacat politik. Golkar dengan kejayaannya di masa Orde Baru, dengan kebijakan yang represif dan liberal. PDIP dan elit-elit partai Gerindra juga terjerat berbagai masalah.
Saat jadi pesiden, Megawati mengeluarkan kebijakan outsourcing kaum buruh yang membawa derita buruh. Pemberian release & discharge (R & D) kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), penjualan Indosat dengan harga murah ke SingTel, penjualan kapal tanker VLCC milik Pertamina dan kemudian pihak Pertamina harus menyewa dengan harga mahal serta penjualanan aset yang dikelola BPPN ke pihak asing. Semuanya terjadi pada masa rezim Megawati.
Pada masa Megawati pula, Indonesia menjadi surga bagi konglomerat hitam. Mereka mendapatkan Release and Discharge (R & D), yang arti harfiahnya adalah bebaskan dan bayar utang. Para pengemplang uang negara dalam kasus BLBI ini oleh Megawati diberi kemudahan dengan mengembalikan cicilan kerugian negara dengan potongan 16-36 persen. Mereka pun bebas dari tuntutan pidana. Ketentuan itu diatur dalam MSAA (Master of Acquisition and Agreement) dan merupakan perjanjian penyelesaian utang di luar pengadilan (settlement out of court).
Kelima: Pemilu demokratis sukses memandulkan partai-partai yang menyebut Islam sebagai asas. Partai Islam yang seharusnya menyerukan ideologi Islam dengan tegas, menyerukan syariah Islam sebagai solusi dan kewajiban menegakkan Khilafah Islam sebagai instusi negara, nyaris tidak bersuara berdasarkan tuntutan Islam.
Mereka hanya membangun opini yang mendorong umat Islam untuk memilih. Dibangun opini seolah-olah kalau tidak ikut Pemilu, orang kafir akan berkuasa, kelompok sesat akan duduk di parlemen dan lain-lain.
Memang, kita tidak ingin orang kafir berkuasa, atau kelompok sesat memimpin. Namun perlu kita catat, semua itu terjadi justru karena kita menganut sistem demokrasi sekular. Kalau kita menerapkan sistem Islam, orang-orang kafir tidak akan punya jalan berkuasa. Negara imperialis kafir tidak akan punya peluang untuk menjajah umat Islam. Seharusnya pangkal masalah inilah disampaikan kepada umat.
Kalau benar-benar serius umat ini tidak dijajah oleh negara-negara kafir kapitalis, mengapa tidak menyerukan secara massif keharaman sistem demokrasi dan kewajiban menegakkan Khilafah yang menerapkan seluruh syariah Islam?
Keenam: Pemilu demokratis menunjukkan kesenjangan antara harapan umat Islam dan prilaku partai-partai Islam. Umat Islam termasuk ormas-ormas Islam ingin partai Islam bersatu. Namun, partai-partai umat Islam sendiri lebih memilih jalan pragmatis, mencari koalisi yang memungkinkan untuk ikut berkuasa, tanpa melihat lagi apakah asasnya Islam atau tidak.
Karena itu apa yang disampaikan oleh Ustadz Rachmat S. Labib, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesa, perlu kita perhatikan. Dalam pertemuan tokoh-tokoh Islam dengan tema Membaca Realitas Umat Pasca Pemilu Legislatif, Rabu (16/4) di Kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Rokhmat mengingatkan bahwa umat seharusnya bukan hanya berpikir orang, tetapi juga mempertimbangkan sistemnya. Kita seharusnya bukan hanya menjadikan orang Islam berkuasa, tetapi harus juga sistem Islam berkuasa (syakhsun wa nizham).
Dengan tegas disampaikan, calon pemimpin, selain harus memenuhi syarat pengangkatan (in’iqad)—yakni Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil dan mampu—wajib pula pemimpin itu hanya menerapkan hukum Islam, bukan hukum yang lain. Adapun sistem pemerintahannya haruslah yang menerapkan seluruh hukum Islam di dalam negeri dan menyebarkan dakwah dan jihad ke luar negeri. Itulah sistem pemerintahan Islam atau yang biasa kita sebut Khilafah.
Tanpa Islam, syariah Islam dan Khilafah Islam, tidak akan ada perubahan yang berarti untuk Indonesia dan negeri-negeri Islam. Perubahan tanpa Islam, syariah dan Khilafah adalah mimpi yang utopis. [Farid Wadjdi]