Menggugat Nikah Dini Sebagai Penyebab AKI

Oleh: dr. Arum Harjanti (Lajnah Siyasi DPP MHTI)

Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)  mengajukan draf uji materi terhadap Undang Undang nomor 1 tahun 1976 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi, pada hari  Rabu  5 Maret 2014. Tujuannya, untuk merevisi usia minimum perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.  Ketua Dewan Pengurus Harian YKP, Zumrotin menyatakan,  “Dalam UU Perkawinan tahun 1976 disebutkan batas usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Sementara dalam UU nomor 23 tentang Perlindungan Anak menyebutkan batas usia dewasa adalah 18 tahun. Jadi, kalau tidak direvisi, sama saja, negara memperbolehkan anak-anak menikah. YKP menilai pernikahan usia dini berdampak buruk terhadap kesehatan remaja perempuan.”

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal juga mendukung rencana uji materi UU Perkawinan itu. UU tersebut dinilai menjadi penyebab utama tingginya angka pernikahan dini di Indonesia.  Fasli mengungkapkan, dari sisi kesehatan, pernikahan dini berdampak buruk bagi ibu dan anaknya termasuk menyebabkan tingginya angka kematian ibu (AKI).

Mengkaitkan, bahkan menjadikan pernikahan dini sebagai penyebab utama peningkatan AKI adalah pernyataan gegabah yang cenderung menyederhanakan masalah.  Demikianlah yang sering dilakukan beberapa kalangan yang menganggap kontrol populasi sebagai salah satu strategi untuk  mengentaskan kemiskinan.  Padahal, tentu saja, membahas masalah kematian ibu –yang menjadi masalah utama di negara-negara berkembang- tidak bisa dengan cara seperti itu.  karena itulah, perlu memetakan dua masalah tersebut sebelum memberi penyimpulan yang tepat.

Memetakan Pernikahan Dini dalam Kematian Ibu

Perkawinan di usia dini dianggap erat kaitannya dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, mendapatkan AKI sebesar 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup, angka ini naik tajam dibandingkan hasil SDKI 2007 AKI sebesar 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 mendapatkan perempuan usia 10-14 tahun di Indonesia telah terikat pernikahan.  Sementara itu Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan angka kelahiran dari perempuan berusia 15-19 tahun masih tinggi yaitu 48/1.000 perempuan subur usia 15-19 tahun dan 10 persen dari remaja usia 15-19 tahun itu pernah melahirkan atau sedang hamil anak pertama.  Sedangkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan rasio pernikahan dini di perkotaan pada tahun 2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan. Rasio itu naik pada tahun 2013 menjadi 32 per 1.000 pernikahan.

Mantan Ketua IDI, dr Kartono Mohamad mengatakan, pada usia di bawah 19 tahun organ tubuh perempuan  belum siap melakukan fungsi reproduksi. Karena jika pada usia tersebut perempuan itu hamil, maka akan terjadi perebutan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan ibu dan janinnya. Apabila ibu yang kalah maka berisiko terjadi perdarahan, komplikasi hipertensi dan anemia.  Hal ini akan menyebabkan resiko kematian ibu menjadi tinggi.  Jika janinnya yang kalah, maka bayi beresiko lahir prematur, cacat, atau gugur.

Angka kematian ibu yang cukup tinggi di Indonesia terkait dengan penyebab langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung adalah perdarahan, hipertensi dan infeksi.  Adapun penyebab tidak langsung adalah tiga terlambat dan empat terlalu.  Tiga terlambat adalah terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan,  terlambat dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan, dan terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Faktor “empat terlalu” yang dimaksud adalah pertama terlalu muda saat hamil. Pada usia muda rahim belum siap dan menyebabkan saluran kelahiran mudah pecah, sehingga menyebabkan kematian saat melahirkan. Kedua, terlalu sering melahirkan. Ketiga, jarak kehamilan terlalu dekat, dan keempat, usia ibu hamil terlalu tua. Perempuan berusia di atas 40 tahun memiliki rahim yang tidak fleksibel, sehingga berisiko kematian saat melahirkan. Data dari riskesdas tahun 2010 menunjukkan kematian ibu dikaitkan dnegan fkctor terlalu muda berjumlah 2,6%, sedangkan Terlalu tua hamil (di atas usia 35 tahun) sebanyak 27%, Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8% dan sisanya adalah karena Terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun).

Dari data riskesdas 2010 tersebut, jumlah kematian ibu karena terlalu muda sebanyak 2,6 %.  Dengan demikian sesungguhnya kematian  Ibu pada usia yang tidak muda  jauh lebih banyak.  Kalaupun kehamilan pada perempuan usia muda beresiko terhadap terjadinya perdarahan sebagai penyebab langsung terbesar, maka sesungguhnya perdarahan juga terjadi pada usia tidak muda.

Demikian juga bila dikaitkan dengan tiga terlambat.  Tiga terlambat tidak hanya terjadi pada perempuan hamil muda usia saja.  Terlambat yang pertama  ini menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat  dan ketidak pahaman masyarakat akan bahaya yang mengancam.  Di sisi lain, menggambarkan ketidakberdayaan ekonomi membuat mereka takut merujuk ibu hamil ke rumah sakit.  Sedangkan dua terlambat lainnya memberikan gambaran umum buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia .

Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Profesor Akmal Taher mengatakan, hanya 18,6 persen Puskesmas yang memenuhi syarat PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) dan 21 persen rumah sakit yang memenuhi syarat PONEK (Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif).  Artinya sebagian puskesmas dan rumah sakit di Indonesia belum memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil secara maksimal. Hal ini dikatakan sebagai salah satu kendala untuk menurunkan AKI dan makin dikuatkan oleh Data Balitbangkes 2012 yang menunjukkan sebanyak 41,9 persen kematian ibu melahirkan terjadi di rumah sakit pemerintah dan 2,3 persen kematian ibu melahirkan terjadi di Puskesmas

Anggota DPR Eva Kusuma Sundari  menyatakan anggaran yang dialokasilkan pemerintah untuk masalah kesehatan sangat minim.  Biaya yang minim ini jelas sangat besar pengaruhnya  terhadap kualitas layanan kesehatan di Indonesia.  Sementara itu,  Guru Besar Universitas Indonesia Saparinah Sadli –yang dikutip voaindonesia 3 April 2014- menyatakan angka kematian ibu yang tinggi berarti negara itu gagal memerangi kemiskinan dan status pendidikan yang rendah.

Fakta tersebut makin diperjelas jika kita mencermati Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu (RAN PPAKI) tahun 2013-2015, Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (RAN PPIA) tahun tahun 2013-2017, dan Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan yang diluncurkan Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH pada 26 September 2013.  Rencana aksi tersebut diluncurkan untuk memfokuskan percepatan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) poin 5, yaitu meningkatkan kesehatan ibu, mempercepat penurunan angka kematian ibu (AKI) dan akselerasi peningkatan cakupan dan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.

RAN PP AKI 2013-2015 ini berfokus pada 3 strategi dan 7 program utama.  Tiga Strategi yang dimaksud adalah Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu, peningkatan peran Pemerintah Daerah terhadap Peraturan yang dapat mendukung secara efektif pelaksanaan program serta  pemberdayaan keluarga dan masyarakat.

Adapun Tujuh Program Utama yang akan dijalankan erat kaitannya dengan penyediaan fasilitas pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) dan pertolongan persalinan sesuai standar di tingkat desa ,penyediaan Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) dan PONEK  (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif), dan Penguatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi program kesehatan.  Selain itu juga memperhatikan  pelaksanaan kemitraan lintas sektor dan swasta, serta Peningkatan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat.   Sementara itu disadari adanya Tiga Tantangan Utama dalam pelayanan kesehatan adalah  Akses ke fasilitas pelayanan kesehatan sudah membaik, tetapi cakupan dan kualitas belum optimal, keterbatasan ketersediaan sumber daya strategis untuk kesehatan ibu dan neonatal, serta  pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang kesehatan ibu.

Dengan demikian jelaslah bahwa akar permasalahan tingginya AKI adalah pada sarana pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia dengan segala hal yang terkait.   Hal ini jelas akan berpengaruh, baik pada ibu muda maupun ibu yang tidak muda.

Nikah Dini : Sang  Kambing Hitam

Melihat akar permasalahan AKI yang tinggi di Indonesia,  maka gencarnya  opini bahwa tingginya nikah dini  menyebabkan  tingginya AKI menimbulkan tanda tanya.  Meskipun memang benar, adanya kematian perempuan muda yang hamil berkontribusi terhadap angka kematian ibu.  Namun menjadi tidak relevan ketika bertujuan untuk menyelesaikan dengan tuntas  akar masalah tingginya kematian ibu.  Terlebih lagi ada berbagai program untuk mencegah nikah dini.  Apa sebenarnya yang hendak  ditargetkan?

Pernyataan Kepala BKKBN menunjukkan ada hal lain yang hendak dicapai. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof dr Fasli Jalal, PhD, SpGK, melihat dari sisi perspektif kependudukan dan keluarga berencana bahwa perkawinan usia muda meningkatkan angka kelahiran yang memicu tingginya laju pertumbuhan penduduk, karena masa suburnya lebih lama.  Jika masa suburnya lebih panjang maka cenderung memiliki anak lebih banyak, apalagi jika tidak diintervensi dengan perencanaan berkeluarga atau dengan program KB (www.bkkbn.go.id, 21/2/14).

Pada kesempatan lain, usai acara peluncuran Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Kepala BKKBN menyatakan “Bertambahnya laju pertumbuhan penduduk membuat akses kepada ekonomi, pangan, lingkungan rumah yang higienis dengan air bersih dan jamban, menjadi sulit. Dan yang terkena dampak langsung adalah manusia, sementara yang paling rentan adalah bayi dan perempuan, terutama ibu melahirkan”.  Pernyataan kepala BKKBN tadi  jelas menunjukkan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah menurunkan laju pertumbuhan penduduk.

Dengan demikian, jelaslah efek pelarangan nikah dini adalah berkurangnya laju penduduk Indonesia, dengan kata lain, nikah dini merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah penduduk Indonesia.  Persoalan ini menjadi sensitif ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.   Sementara cara yang diambil berasal dari berbagai hasil konvensi dan konferensi   yang diiniasi Barat, yang tidak mungkin menjadikan Islam sebagai standar strategi dan program. Apalagi larangan nikah dini ini sejalan dengan amanat ICPD (International Conference on Population and Development,  Konvensi hak anak – yang telah diratifikasi oleh Indonesia- dan kampanye hak  dan kesehatan seksual dan reproduksi (SRHR/ Sexual and Reproductive Health and Right).  Bahkan visi tahun 2020 yang dicanangkan oleh IPPF (Internatinal Planned Parenthood Federation) adalah pengakuan SRHR  sebagai hak asasi manusia.  Sementara itu, prinsip-prinsip  yang diusung dalam SRHR jelas bertentangan dengan Islam.

Bahaya Larangan Nikah Dini

BKKBN memiliki program GenRe  (Generasi Berencana) yang  disosialisasikan ke berbagai sekolah dan perguruan tinggi sebagai respon atas  undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Pasal 48 ayat 1 (b) undang-undang itu mengatakan “Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga”.   Program Generasi Berencana (Genre) ini dipandang cocok dengan kondisi saat ini, yaitu permasalahan seputar seksualitas, HIV AIDS, rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, dan median usia kawin pertama perempuan yang relatif masih rendah.

Namun melihat realita yang ada saat ini, target program tersebut akan  sulit dicapai.  Bahkan larangan pernikahan  usia dini melalui penundaan usia perkawinan akan membahayakan remaja itu sendiri.  Mengapa?  Saat ini perilaku remaja Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.   Berbagai survei yang diadakan di kota- kota Indonesia  menemukan  Jumlah remaja yang sudah melakukan hubungan seks pra nikah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.  Survei yang diadakan oleh Komnas PA(Perlindungan Anak) bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak di 12 kota besar pada tahun 2012 mendapatkan 62,7% remaja SMP mengaku sudah tidak perawan.  Data BKKBN juga menunjukkan setiap tahun sedikitnya terjadi 2,4 juta kasus aborsi, termasuk 800.000 kasus yang dilakukan kalangan remaja.

Jumlah remaja yang sudah melakukan hubungan seks pra nikah mengalami peningkatan bila dibandingkan dnegan hasil survey BKKBN pada tahun 2010.  Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010 menunjukkan sekitar 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan hubungan seks pranikah. Tak hanya Jakarta, BKKBN pun memiliki data tentang seks pranikah yang dilakukan remaja di Surabaya yang tercatat mencapai 54 persen, Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. Sedangkan di Yogyakarta yang dikenal sebagai “Kota Pelajar”, sekitar 37 persen dari 1.160 mahasiswa mengaku mengalami kehamilan sebelum nikah.   Data BKKBN juga menunjukkan setiap tahun sedikitnya terjadi 2,4 juta kasus aborsi, termasuk 800.000 kasus yang dilakukan kalangan remaja.

Oleh karena itu, peningkatan  jumlah remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah akan makin besar ketika pernikahan dini dihalangi,apalagi melalui Undang-undang.  Kehidupan yang sudah diwarnai dengan liberalisasi pergaulan akan makin leluasa memangsa remaja karena sarana yang sah, yaitu pernikahan dini dilarang.  Gencarnya penanaman konsep Hak Asasi Manusia, akan makin menambah parah perilaku seks pranikah.  Terlebih lagi, segala macam rangsangan syahwat dapat dengan mudah diperoleh melalui tayangan media cetak maupun televisi, apalagi internet.  Semua itu justru akan mendorong remaja untuk melampiaskan syahwatnya tanpa kendali.  Dan hasil yang didapat adalah kerusakan moral remaja yang makin parah. Yang selanjutnya akan mengakibatkan kerusakan masyarakat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelarangan nikah dini tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan angka kematian ibu, justru malah akan meningkatkan kerusakan remaja.  Wallahu ‘alam bish showab. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*