Kebijakan Khilafah Terhadap Sekolah Asing

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Dasar yang menjadi pondasi kurikulum pendidikan di dalam negara khilafah adalah akidah Islam. Karena itu, seluruh kurikulum, materi pendidikan, metode dan seluruh proses belajar mengajar tidak boleh bertentangan, atau menyalahi dasar (akidah Islam) ini.

Secara umum, kebijakan pendidikan dalam negara khilafah berorientasi untuk membentuk akliyah dan nafsiyah Islam. Maka, seluruh materi pendidikan yang hendak diajarkan dibangun dengan dasar ini.

Adapun tujuan pendidikan dalam negara khilafah adalah membentuk kepribadian Islam, dan membekali rakyat dengan sains dan pengetahuan yang terkait dengan kehidupan. Karena itu, metode pendidikannya disusun untuk bisa mewujudkan tujuan ini. Sebaliknya, semua metode yang bisa mewujudkan tujuan lain, selain tujuan ini, maka harus dilarang.

Kurikulum Pendidikan

Untuk itu, negara khilafah menetapkan hanya boleh ada satu kurikulum pendidikan yang diterapkan di wilayahnya. Negara khilafah tidak akan menoleransi adanya kurikulum lain, selain kurikulum negara. Meski, negara khilafah tidak melarang adanya sekolah swasta, yang didirikan oleh masyarakat, namun sekolah ini harus terikat dengan kurikulum negara.

Sekolah swasta ini juga dibangun dengan strategi pendidikan dengan tujuan untuk mewujudkan kebijakan dan tujuan pendidikan. Dengan catatan, pendidikan di sekolah-sekolah ini tidak boleh mencampurbaurkan antara laki-laki dan perempuan, baik di kalangan murid-muridnya, staf pendidikan maupun administrasi dan manajemennya. Sekolah ini juga tidak boleh diperuntukkan untuk suku, bangsa, agama, mazhab, etnis atau warna kulit tertentu.

Kurikulum merupakan uslub dan khitthah, hukum asalnya memang mubah. Dalam hal ini, negara khilafah boleh saja menetapkan satu kurikulum, yang dengannya menjadi dasar dan patokan pendidikan di seluruh negara. Penetapan ini merupakan kewenangan khalifah, jika dipandang kalau tidak ditetapkan satu kurikulum negara akan menyebabkan terjadinya kekacauan, dan berpotensi melemahkan kekuatan umat dan negara.

Di masa Khalifah Ustman bin Affan, beliau menetapkan hanya boleh ada satu mushaf, selebihnya dihanguskan. Khawatir, jika tidak disatukan, akan terjadi perbedaan di tengah umat yang bisa memicu konflik horisontal. Ini merupakan kebijakan yang terkait dengan uslub dan khitthah, yang hukum asalnya mubah, tetapi jika tidak ditetapkan, akan menyebabkan terjadinya kekacauan, maka uslub dan khitthah ini pun diadopsi oleh negara.

Selain itu, negara juga berhak melarang adanya kurikulum lain selain kurikulum yang ditetapkan oleh negara, karena khalifah diberi hak untuk mengambil tindakan dengan pendapat dan ijtihadnya, termasuk memilih uslub dan khitthah tertentu, serta melarang yang lain. Ini merupakan bagian dari ketaatan kepada khalifah, sebagaimana yang dinyatakan dalam Alquran: “Taatilah Allah dan Rasul, serta uli al-amri (penguasa) di antara kalian.” (TQS an-Nisa’ [04]: 59)

Dalam hadits Nabi SAW dinyatakan, “Siapa saja yang menaati penguasanya, maka dia telah menaatiku.” (HR Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah). Dalam riwayat lain dinyatakan, “Dengar dan taatilah, sekalipun terhadap kalian diangkat seorang penguasa dari Habasyah (yang hitam legam), dengan kepalanya dipenuhi bisul.” (HR Bukhari dari Anas). Semuanya ini memerintahkan ketaatan dalam perkara yang menjadi kewenangan khalifah, di mana dia bisa bertindak dengan pandangan dan ijtihadnya. Menaatinya dalam hal ini merupakan bagian dari kewajiban menaati uli al-amr.

Sekolah Swasta dan Asing

Mengenai kebijakan negara terhadap pendirian sekolah swasta memang jelas, karena Rasulullah SAW sebagai kepala negara pernah mengirimkan tenaga pendidik untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Pada saat yang sama, Nabi SAW juga mengizinkan kaum Muslim satu dengan yang lain saling belajar dan mengajar. Tindakan Nabi SAW mengirim tenaga pendidik ini bagian dari kewajiban negara menyediakan layanan pendidikan. Sedangkan, diamnya Nabi SAW terhadap rakyat yang melakukan pendidikan mandiri juga bagian dari kebijakan tentang kebolehan swasta untuk menyediakan layanan yang sama.

Hanya saja, meski swasta diperbolehkan mendirikan sekolah atau menyediakan layanan pendidikan, tetapi dengan syarat: Pertama, kurikulumnya terikat dengan kurikulum negara. Kedua, tidak boleh membangun sekolah bercirikan suku, bangsa, agama, mazhab, etnis atau warna kulit tertentu. Ketiga, tidak boleh orang asing mendirikan sekolah sendiri.

Mengenai kewajiban sekolah swasta terikat dengan kurikulum negara, karena ini bagian dari ketaatan kepada khalifah, dan kebijakan negara khilafah. Mereka tidak boleh menyalahi, atau mengembangkan kurikulum sendiri yang bertentangan dengan kurikulum negara.

Begitu juga dengan larangan pihak swasta mendirikan sekolah bercirikan suku, bangsa, agama, mazhab, etnis atau warna kulit tertentu, karena adanya sekolah seperti ini akan memicu perpecahan, dan konflik horisontal di dalam tubuh wilayah negara. Karena itu, tidak boleh ada Sekolah Indonesia, Malaysia, Sekolah Kristen, Sekolah Syiah, Sunni dan sebagainya. Apalagi, adanya sekolah asing yang mempunyai kurikulum sendiri, dengan staf, guru dan murid orang-orang asing. Meski status mereka adalah Musta’min atau Mu’ahad sekalipun.

Khilafah akan belajar dari kesalahan di masa Khilafah Utsmani, di mana adanya Universitas Kristen di Beirut, telah digunakan sebagai pusat gerakan separatis dan misionaris Kristen, serta pusat penyebaran paham-paham yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, sekolah, universitas atau lembaga seperti ini tidak boleh ada di dalam wilayah khilafah.

Sekolah Ahli Dzimmah

Mungkin ada yang bertanya, lalu di mana Ahli Dzimmah akan menimba ilmu dan tsaqafah sesuai dengan agama mereka, jika sekolah Kristen, Yahudi, dll tidak boleh ada. Kurikulumnya juga harus terikat dengan kurikulum negara?

Jawabannya adalah, mereka tidak dilarang untuk mempelajari agama mereka, praktik peribadatan, tatacara makan, minum, berpakaian dan perkawinan mereka. Tetapi, semuanya itu mereka lakukan di rumah-rumah mereka, atau di tempat-tempat peribadatan mereka, seperti gereja, sinagog, pure atau yang lain. Bukan di sekolah. Itu pun tetap harus terikat dengan kebijakan pendidikan negara.

Di zaman Nabi dan para Khulafa’ Rasyidin, orang-orang Ahli Dzimmah ini belajar agama dan peribadatan mereka di gereja dan sinagog mereka. Abu Hurairah menuturkan, “Ketika kami di masjid, tiba-tiba Nabi keluar menghampiri kami, seraya bersabda: ‘Berangkatlah kepada orang-orang Yahudi.’ Kami pun berangkat bersama baginda hingga sampai di Bait Midras. Nabi SAW pun memanggil mereka, ‘Wahai orang-orang Yahudi, masuk Islamlah kalian, maka kalian akan selamat..” (HR. Bukhari). Bait Midras ini adalah tempat ibadah mereka, di sanalah tempat orang-orang Yahudi atau Kristen dibacakan kitab suci mereka.

Ini adalah bukti, bahwa di zaman Nabi, Ahli Dzimmah itu tidak dilarang mempelajari agama mereka di gereja dan sinagog mereka. Kondisi ini tetap berlanjut di era Khulafa’ Rasyidin. ‘Abdurrazzaq dalam kitab Mushannaf-nya menuturkan, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib melihat suatu kaum sedang sembahyang, mereka seperti orang-orang Yahudi yang keluar dari sinagog mereka.

Dengan kata lain, Ahli Dzimmah mereka bisa mempelajari agama mereka, serta ritual upacara keagamaan mereka di gereja dan sinagog mereka, atau di tempat-tempat yang menginduk kepada mereka. Mereka tidak boleh mempunyai sekolah khusus, sebagaimana lazimnya sekolah secara umum.[]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*