Islam Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Laporan akhir tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) membawa kabar duka. Sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan 58 persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual. Dilihat dari klasifikasi usia, dari 3.023 kasus tersebut, sebanyak 1.291 kasus (45 persen) terjadi pada anak berusia 13 hingga 17 tahun, korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 persen), dan usia 0 hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29 persen. (Kompas.com)
Sementara di tahun 2014, meski belum genap empat bulan namun kasus kekerasan pada anak telah terjadi hingga 239 kasus, 42 persennya adalah kekerasan seksual. Sungguh angka yang fantastis, sangat-sangat memprihatinkan. Data dari Komnas Perlindungan Anak juga menunjukan, kasus pencabulan terhadap anak justru terjadi di lingkungan yang dekat dengan anak seperti rumah, sekolah hingga tempat bermain. (indosiar.com, Jakarta – Kamis : 24/04/2014).
Yang lebih menyedihkan lagi, akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan kekerasan atau tepatnya, pelecehan seksual terhadap anak-anak di sekolah internasional di Jakarta Selatan yakni Jakarta International School. Tentu saja peristiwa ini sangat mengejutkan berbagai pihak, karena terjadi di sekolah, sekolah internasional , yang sebagian orang pasti berfikir bahwa sekolah seperti ini memiliki kualitas yang baik dan pengamanan yang ketat. Korbannya tidak hanya satu dua orang, tapi terus bertambah, bahkan pelakunya pun bukan satu atau dua orang tetapi lebih dari itu. Dan yang mengejutkan ada pelaku perempuan yang ikut membantu aksi tidak senonoh ini. Sudah sedemikian menyedihkan kasus kriminal di negeri ini. Mengapa kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak ini semakin marak terjadi ?
Mencari Akar Masalah
Terkait kasus yang terjadi di Jakarta International School, berdasarkan laporan dari orangtua, alumni, warga yang rumahnya dikontrak oleh guru JIS, dan testimoni lainnya, Ketua KPAI Asrorun menilai lingkungan di JIS tidak mencegah adanya kekerasan seksual terhadap anak. Dia menyebut, pemicu tindak kekerasan seksual di JIS, antara lain permisivitas norma agama serta pembiaran adanya adegan pornografi di area publik di lingkungan JIS. “Misalnya ciuman dewasa di area publik dan itu ditonton seluruh elemen di dalam JIS. Faktor pemicu kedua, adanya indikasi beberapa guru di JIS homoseksual. Menurutnya, hal ini diperkuat dengan adanya fakta buronan FBI yang bekerja di JIS berpuluh-puluh tahun dan aman-aman saja (vivanews, 26 April 2014).
Sebagian lagi berpendapat bahwa orangtua pun berperan dalam hal ini, orang tua lengah dalam mengawasi lingkungan pergaulan anak, bahkan tidak sedikit orang tua yang tidak membekali anak-anak mereka dengan etika pergaulan. Sekalipun masih kanak-kanak, orang tua sudah semestinya mengajarkan rasa malu bila aurat mereka terlihat, dan sebagainya. Bahkan kadang-kadang orang tua tidak menyadari telah teledor terhadap anak-anaknya. Banyak bocah perempuan didandani dengan pakaian tanktop, rok mini, dan sebagainya.Ini menimbulkan godaan bagi kaum pedofil untuk menyasar mereka. Orang tua seharusnya memberikan pakaian yang wajar, lebih baik lagi menutup aurat kepada anak-anak laki atau perempuan sekalipun mereka belum baligh (mediaumat.com).
Ringannya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menjadi bukti semakin maraknya kasus. Hukuman masih tidak memberikan efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun. Namun para hakim sangat jarang menjatuhkan hukuman maksimal. Karenanya beberapa tahun yang lalu Solidaritas Masyarakat Anti Kekerasan mengusulkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dihukum minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup. Dengan harapan semakin lamanya hukuman, maka semakin tercegah orang melakukan tindakan kekerasan seksual.
Jika kita telaah secara seksama, kekerasan seksual pada anak sesungguhnya adalah masalah yang diakibatkan oleh penerapan sistem hidup sekuler kapitalis oleh negara ini. Kejadian tersebut tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai hidup yang salah yang telah berkembang di masyarakat. Pelaku kekerasan seksual pada anak yang mayoritasnya adalah orang dekat korban, menggambarkan keadaan masyarakat yang sakit. Kepadatan penduduk, kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya perhatian orangtua kepada anak, adalah suatu kondisi yang tidak berdiri sendiri. Semua merupakan buah dari sistem kehidupan sekarang yaitu demokrasi liberal. Sistem sekuler Kapitalis yang membuka kebebasan bertingkah laku, dimana hubungan antara laki-laki dan perempuan begitu bebas, hingga tanpa batas. Hubungan bebas laki-laki dan perempuan tanpa batas ini melengkapi komoditas, fakta dan fantasi seks yang ada. Bagi orang-orang yang berduit mungkin bisa memenuhinya dengan kencan semalam (makshiyat juga), tetapi bagi yang tidak, maka tindakan yang bisa dilakukan akan memangsa korban yang lemah. Terjadilah tindak pelecehan seksual hingga perkosaan.
Islam Mencegah Kekerasan Seksual Pada Anak
Berbeda halnya dengan sistem sekuler kapitalis, Islam yang menjadikan aqidah Islam, Laa Ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas, wahyu Allah sebagai pijakannya. Islam memiliki aturan yang sangat rinci dan sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan.
Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik, dimana Negara bertanggungjawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh dalam rangka mengatur seluruh urusan umat, sehingga umat mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh. Dan ini semua hanya akan bisa diterapkan dan dilaksanakan jika aturan Islam diterapkan secara keseluruhan dalam sebuah institusi Negara, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah, yang menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai pijakannya.
Negara juga akan mencegah masuknya segala komoditas yang berpotensi melemahkan, termasuk melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim ke dalam negeri. Dengan 3 pilar ini, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara, maka umat manusia akan tercegah dari perbuatan maksiyat, termasuk pelecehan seksual pada anak.
Islam telah menetapkan bahwa ’keselamatan anak’ bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi keluarganya saja, tetapi masyarakat dan negara. Benar bahwa Islam telah memberikan kewajiban pengasuhan anak kepada ibu hingga tamyiz serta pendidikan anak kepada ayah ibunya akan tetapi hal ini belumlah cukup. Pembentukan lingkungan yang kondusif di tengah-tengah masyarakat menjadi hal yang juga penting bagi keberlangsungan kehidupan anak. Dan hal ini tidak lepas dari peran masyarakat dan negara. Lingkungan masyarakat yang baik tentunya ikut menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Budaya beramar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat pun akan menentukan pula sehat tidaknya sebuah masyarakat.
Karenanya upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak hanya akan bisa terwujud dengan 3 pilar, yaitu ketakwaan individu dan keluarga, yang akan mendorongnya senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Keluarga, dituntut untuk menerapkan aturan di dalam keluarga, seperti memisahkan tempat tidur anak sejak usia 7 tahun, membiasakan menutup aurat dan tidak mengumbar aurat, tidak berkhalwat, dan sebagainya. Aturan inilah yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiyatan dan dengan bekal ketakwaan yang dimiliki, seseorang akan mencegah dirinya dari melakukan perbuatan maksiyat.
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Ia akan menguatkan apa yang telah dilakukan oleh individu dan keluarga, sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya berbagai rangsangan di lingkungan masyarakat. Jika masyarakat senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar, tidak memberikan fasilitas dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemungkaran, tindakan asusila, pornoaksi dan pornografi, niscaya rangsangan dapat diminimalisir
Begitu juga Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama, menjaga moral dan menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti terjadinya pornoaksi atau peredaran pornografi, minuman keras, narkoba dan sebagainya. Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak ini secara sempurna.
Rasulullah saw. Bersabda:“Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)
Dalam hadits lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Di samping itu, Negara sebagai pelaksana utama diterapkannya Syariat Islam, maka iapun berwewenang untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak ini. Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus melakukan internalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki, dan pada akhirnya secara otomatis akan menghindarkan rakyatnya melakukan berbagai tindakan kemaksiyatan, termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Wallahu a’lam bishshawwab. []