Kecurangan UN; Ada Apa Dunia Pendidikan?


“Soal Ujian Nasional bocor? Masak iya sih?” Iya, cuman karena beritanya kalah heboh sama Pemilu, maka wajar kalo beritanya nggak sampe di telinga sobat semua. Menurut salah satu kutipan berita antaranews.com, pihak Ombdusman Jabar memastikan soal Ujian Nasional (UN) 2013/2014 tingkat SMA bocor dan beredar di Kota Bandung. Mendikbud Mohammad Nuh mengakui dirinya bukan hanya menemukan jawaban ujian nasional (UN) yang bocor, namun dirinya pun sudah menemukan naskah soal UN yang bocor di Bandung pada H-3 UN untuk SMA/SMK/MA pada 16 April lalu.

Lagu Lama Diputar Ulang

Bocor atau curangnya UN kayaknya emang bukan sekali ini aja terjadi. Hampir setiap tahunnya terjadi, jadi kasus ini lebih mirip kayak lagu lama yang diputar ulang. Dan memang itu seperti udah jadi semacam tradisi. Seperti pengakuan R, siswa kelas 12 SMAN 12 Surabaya, yang sempat menghebohkan dunia pendidikan, karena ketahuan menjadi koordinator menyebarkan kunci jawaban. R mengaku, mendapat informasi tersebut dari kakak kelasnya, yang kini telah menjadi alumni. ”Saya mendapat informasi itu dari kakak kelas saya, dulu dia juga pakai,” kata R. (tribunnews.com 21/04/2014).

Sobat, sekedar catatan tambahan tentang kebocoran soal UN untuk dua tahun terakhir. Pada UN 2013 lalu Kemendikbud hanya menerima satu laporan kebocoran naskah ujian. Tetapi pada tahun ini laporan tentang kebocoran soal ujian itu naik menjadi tujuh kasus. Laporan ini baru terkumpul mulai H-2 UN hingga pelaksanaan UN hari kedua. Pada pelaksanaan UN 2013 lalu tercatat hanya ada dua laporan isu kebocoran kunci jawaban ujian. Tetapi pada periode yang sama di UN 2014 ini, pengaduan kebocoran kunci jawaban naik menjadi tujuh kasus. (http://www.timorexpress.com)

Trus selain kebocoran soal UN, yang juga cukup bikin heboh bin menggelikan, ternyata soal UN diselipin berita politis tentang salah satu Capres. Ada soal UN bahasa Indonesia yang menceritakan kisah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, soal itu ada di paket P3. Dimana paket P3 ini tersebar di 18 provinsi yang rata-rata di Indonesia bagian timur.

Nah, bagaimana dengan UN SMP? Setali tiga uang, bro. Soal ujian nasional (UN) jenjang sekolah menengah pertama (SMP) diragukan validitas dan kerahasiaannya. Pasalnya, ada amplop soal yang tidak tersegel dan naskah soal yang tertukar. (sindonews.com).

“Dugaan bahwa terjadi kebocoran soal dan jawaban mengemuka. Sebab saya dapat informasi di Bali, Tarakan, dan Kalimantan Utara masih ada soal yang menyangkut Jokowi. Pertanyaannya darimana hal itu bisa diketahui? Jika soal tidak bocor,” kata pengamat pendidikan, Darmaningtyas, kepada Harian Terbit, Senin (5/5).

Nah, yang mencengangkan, Sejumlah guru di Ponorogo menginap di kantor polisi demi menjaga soal naskah Ujian Nasional (UN) SMP. Para guru tidak ingin naskah UN bocor sebelum pelaksanaan UN SMP Senin (5/5/2014) ini. (sindonews.com). Pertanyaannya, semengerikan itukah UN dan serendah itukah kelakuan orang-orang di negeri ini sampai pak guru harus menginap di kantor polisi untuk jaga soal? Ckckck.

Kecurangan Sistemik

Kalo bicara soal kebocoran atau kecurangan UN, kayaknya emang sudah jadi rahasia umum bahwa semua piha, terlibat dalam proses itu. Mulai dari si murid sendiri yang memang seperti butuh contekan, trus guru dan kepala sekolahnya juga nggak pengin anak didiknya nggak lulus. Dan tentunya para orang tua, malu, takut juga kalo sampe anaknya jadi bagian dari yang tidak lulus. Nah, jadi semua ikut berperan yang berawal dari keresahan massal, akhirnya muncullah kecurangan sistemik.

Kecurangan sistemik itu bukan isapan jempol. Seperti survei yang dilakukan Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menemukan kalo kecurangan UN terjadi secara massal lewat aksi mencontek, serta melibatkan peran tim sukses yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan pengawas.

Temuan survei membuktikan 75% responden mengaku pernah menyaksikan kecurangan dalam UN. Jenis kecurangan terbanyak yang diakui adalah mencontek massal lewat pesan singkat (sms), grup chat, kertas contekan, atau kode bahasa tubuh. Ada pula modus jual beli bocoran soal dan peran dari tim sukses (guru, sekolah, pengawas) atau pihak lain (bimbingan belajar dan joki).  

Sobat, temuan survei itu memberi bukti kuat, memang ada kongkalikong dalam pelaksanaan UN. Retno Listyarti  dari juru bicara Koalisi Reformasi Pendidikan (KRP) berpendapat, “Kecurangan diduga juga melibatkan berbagai pihak dari alumni, bimbingan belajar bahkan guru. Retno mengatakan, ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Sistem tersebutlah yang mendorong siswa melakukan kecurangan-kecurangan saat UN.” (news.detik.com, 15/04/2014).

Catatan Kritis Buat UN

Secara psikologis, diakui atau nggak, hampir semua pihak yang terlibat dalam pelaksaan UN, dihantui rasa ketakutan tidak lulus UN. Padahal di beberapa sekolah, sudah melakukan ritual sebelum UN, ada yang istiqhasah atau doa bersama di sekolah. Ada pula sebagian kecil yang melakukan ritual adat, seperti pergi ke orang pintar atau dukun.
Tapi emang pada faktanya sistem kelulusan yang ditentuin melalui UN bikin stress berat. Makanya semua pihak, satu sisi nggak mau kalo nggak lulus, trus di sisi yang lain ada ketakutan yang tersistem karena UN. Imbasnya ya dunia pendidikan kita menjadi pendidikan tak berkarakter. Memang sih lulus 100 persen, tapi output yang kita bisa liat, orang-orang terdidik tetapi tak berkarakter.

Kalo melihat proses pendidikan sehari-hari di sekolah, guru seperti dituntut untuk menyelesaikan semua target pembelajaran berdasarkan kurikulum, sehingga materi-materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa cenderung ‘transfer ilmu’. Ya memang karena tuntutan untuk mengejar UN, maka guru hanya  mempersiapkan muridnya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN. Gurunya mencekoki pelajaran dengan sistem drill, sementara siswanya belajarnya dengan sistem SKS, sistem kebut semalam. Klop sudah.

Model pembelajaran kayak gitu hampir nggak ada bedanya dengan ngajarin robot. Jadi, sistem atau program sudah disiapkan, kalo ada masalah ini maka keluar kunci ini, kalo ada persoalan itu, ada solusi ini. Nah, lebih sayangnya lagi, soal-soal UN bentuknya pilihan ganda, yang membuntu kreatifitas siswa dalam mengurai dan menyelesaikan masalah. Nggak mengajari para siswa pada penguasaan konsep yang esensial, mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan.

Satu hal lagi yang juga perlu jadi catatan kritis UN adalah hanya dipilihnya beberapa mata pelajaran yang di ujikan di UN. Padahal kalo pendidikan ditujukan untuk memperbaiki kualitas moral, etika, dan karakter para siswa, maka dengan dipilihnya beberapa mata pelajaran saja yang di-UN-kan, maka akan memfokuskan siswa, guru dan juga orang tua pada pelajaran itu saja.

Solusinya Juga Kudu Sistemik

Sobat problem dunia pendidikan nggak cuman UN, tapi sekilas kecurangan UN saja sudah kita bisa lihat, kalo memang problem pendidikan kita itu sistemik. Maka untuk menyelesaikannya juga kudu sistemik.

Pertama, landasan dunia pendidikan kita adalah sekularisme. Ini masalah besar, kalo salah satu tujuan pendidikan kita adalah membentuk karakter, maka bisa dipastikan karakter yang dibentuk juga adalah karakter sekular. Satu sisi menginginkan siswa-siswinya baik, tapi nyatanya ada para guru yang harusnya jadi panutan kebaikan, eh malah contohin yang nggak baik. Misalnya aja, ya ngasih contekan, atau membiarkan mencontek. Kata peribahasa lama “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” kayaknya masih berlaku, atau bahkan lebih parah dari itu.

Pemberian porsi pelajaran agama yang nggak seimbang dengan porsi pelajaran yang sifatnya sainstik turut menyumbang karakter sekular siswa. Apalagi kalo didalam menyampaikan pelajaran non agama, tidak dikaitkan atau malah dilarang dikaitkan dengan Islam. Padahal kalo kita jujur dengan sejarah, muncul dan berkembangnya ilmu dan sains saat ini adalah warisan Islam.

Kedua, karena bicaranya sistem, maka peran negara adalah yang pertama dan utama. Dan memang dalam pandangan Islam, pemimpin punya tanggung jawab besar:

Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sebagai bagian dari ri’ayah itu maka pendidikan harus diatur sepenuhnya oleh negara berdasarkan akidah Islam. Pendidikan itu harus ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan dalam kehidupan. Hasilnya adalah orang-orang yang pintar, trampil dan berkemampuan sekaligus berkepribadian Islam dan berakhlak.

Maka UN bukan satu-satunya indikator yang dipakai untuk mengukur apakah siswa telah mampu atau tidak. Dalam sejarah Khilafah Islam untuk mengukur kemampuan siswa digunakan teknik seperti munadhoroh (diskusi) atau ujian lisan tentang suatu ilmu, seperti misalnya ilmu falak, syariat, bahasa, dan lain-lain.

Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya mengatakan ‘Sistem Pendidikan Islam di Masa Khilafah Islam’ menjelaskan kalo “Dalam Khilafah Islam tidak terdapat sistem ujian, sebagai gantinya diadakan diskusi atau wawancara langsung bersama siswa untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya dalam mengajar dan pemahamannya mengenai ilmu yang ia pelajari dan kreativitas serta ketrampilannya”.

Dengan semua itu, Pendidikan Islam akan melahirkan pribadi muslim yang taat kepada Allah; mengerjakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Ajaran Islam akan menjadi bukan sekedar hafalan tetapi dipelajari untuk diterapkan, dijadikan standar dan solusi dalam mengatasi seluruh persoalan kehidupan.

Dengan sistem pendikan Islam itu akan lahir generasi yang beriman, bertakwa dan berkeribadian Islam sekaligus menguasai sains dan teknologi, pintar dan terampil. Generasi yang akan senantiasa memperhatikan kondisi umat, terus menerus berusaha memperbaiki umat dan mewujukan kebaikan dan perbaikan di tengah umat dalam segala aspek kehidupan. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*