Tidak salah memang kalau Ustadz Musa Muhammad Shabri disebut sebagai politikus Islam sejati. Karena ia bukan sekadar paham bagaimana ilmu-ilmu politik dan selalu memonitor peristiwa politik tetapi juga melakukan analisa politik (tahlil siyasi) dan aktivitas politik (‘amal siyasi) dengan melakukan kontak dalam intensitas yang tinggi.
Intensitas tersebut menjadikan rezim Suriah saat itu berang. Diktator partai Ba’ats pun menjebloskan ke penjara.
Ketika penyiksaan di dalam bui mulai berkurang, ia pun menghafalkan Alquran, melakukan pembinaan intensif serta menerjemahkan banyak buku berbahasa Inggris dan menerjemahkannya ke bahasa Arab.
Setelah bebas, penulis buku Afkaru Siyasiyah (Pemikiran Politik Islam) ini menjadi penulis nasrah (selebaran) analisa politik untuk disebarluaskan oleh seluruh aktivis Hizbut Tahrir di berbagai negara kepada para kontakan mereka.
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Adlwa’u ‘ala al-‘Alaqati ad Dauliyah (jilid pertama dari dua jilid), lelaki yang pada 1956 menjadi guru Sekolah Menengah As Sa’diyah di Kota Qalqiliyah menyatakan orang yang konsisten memonitor berita belum tentu akan menjadi pengamat atau analis politik tetapi hakikatnya tak lebih dari sekadar pengutip berita.
Karena seorang pengamat atau analis politik adalah orang yang menghukumi muatan berbagai aktivitas politik dari aspek motivasi dan tujuannya. “Dan seorang politikus pada satu sisi aktivitasnya adalah sebagai pengamat politik, di sisi lain sebagai pengambil keputusan,” ungkapnya dalam mukadimah buku jilid pertama yang terjemahnya berjudul Hegemoni Barat terhadap Percaturan Politik Dunia.
Aktif Berdakwah
Tak ada catatan atau riwayat yang menyebutkan awal mulanya ulama yang akrab disapa Abu Imad bergabung dengan Hizbut Tahrir. Dalam buku biografi ringkas tokoh senior Hizbut Tahrir Memoar Pejuang Syariah dan Khilafah,hanyamenyebutkan lelaki kelahiran 5 Oktober 1936 di desa Jalil Wagi’ah (Yafa, Palestina) tersebut: “bergabung dengan Hizbut Tahrir dalam usia yang sangat muda.”
Yang jelas, karena kuat argumennya dalam menganalisa politik serta keseriusanya dalam menarget dan mendatangi orang untuk dikontak, amir Hizbut Tahrir kerap mengamanahinya mengembangkan dakwah ke berbagai negeri Islam.
Sejak pindah ke Kuwait untuk bekerja sebagai akuntan di departemen kelistrikan pada 1962 misalnya, lelaki yang pada usia 12 tahun turut keluarganya hijrah ke Tulkarm, tetap aktif menjalankan amanah dakwah.
Di sela-sela waktu kerjanya yang padat, dengan disiplin ia tetap menganggarkan waktu untuk melakukan kunjungan dan kontak kepada menteri-menteri, wakil rakyat dan staf diplomat asing untuk menyampaikan kewajiban menegakkan syariah Islam dalam naungan khilafah.
Oleh karena itu, pada 1971 Syeikh Taqiyuddin menugaskan untuk hijrah dan mengembangkan dakwah di Suriah. Di wilayah yang penguasanya sangat represif terhadap rakyatnya yang berbeda pandangan politik tersebut, Abu Imad secara praktis beraktivitas sebagai utusan Hizbut Tahrir Pusat sekaligus sebagai Ketua Umum HT Suriah.
Baginya, tiada hari tanpa kontak dakwah. Setiap bulannya, tercatat antara 30-40 anggota diplomatik negeri-negeri Islam di ibukota Damaskus dikontaknya agar turut memperjuangkan tegaknya khilafah.
Tentu saja, hal itu membuat rezim diktator sosialis Ba’ats Hafidz Assad (ayah diktator saat ini Bashar Assad) berang. Sehingga pada Maret 1972, ia dan aktivis HT Suriah lainnya diculik rezim bengis tersebut dan dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan.
Selama tiga bulan lebih Abu Imad dipenjara dalam sel terpisah dipukuli dan diinterogasi setiap hari. Ketika penyiksaan di bui berkurang, ia pun dapat melanjutkan kembali hafalan Alqurannya.
Pada Maret 1973, ia dipindah ke penjara yang lebih terbuka, bergabung bersama tahanan yang lain. Kesempatan emas tersebut tidak disia-siakan. Abu Imad kembali melakukan pembinaan intensif dengan memahamkan ide-ide Hizbut Tahrir, kali ini tentu dengan sesama tahanan.
Ia pun secara khusus mengkaji kitab-kitab rujukan Hizbut Tahrir, dalam sehari bisa sampai dua kitab. Di penjara itu pula, Abu Imad mengkaji secara serius buku-buku teori politik dalam bahasa Inggris, peristiwa-peristiwa terkini, ekonomi dan sejarah. Lebih dari itu, buku tersebut, diterjemahkan pula ke dalam bahasa Arab. Tapi, setelah agen-agen rezim Ba’ats mengetahui hal ini, karya tulisnya tersebut disita.
Allah SWT melapangkan kesulitannya, sehingga pada 1977 Abu Imad dapat kembali menghirup udara bebas. Hizbut Tahrir Pusat menariknya ke Libanon. Di sana, ia bertemu dengan Syeikh Taqiyuddin sehingga dapat langsung menimba ilmu dari penulis buku-buku rujukan HT.
Itu tak berlangsung lama, karena Syeikh Taqiyuddin kembali menugaskannya mengembangkan dakwah ke Kuwait. Belum berapa lama tinggal di Kuwait, Abu Imad mendengar kabar Syeikh Taqiyuddin berpulang ke rahmatullah.
Pada 1977 juga, amir kedua Hizbut Tahrir Syeikh Abdul Qadim Zallum, menarik Abu Imad dari Kuwait untuk diamanahi sebagai Ketua Umum HT Yordania serta mengembangkan dakwah di sana.
Pada 1985, Syeikh Abdul Qadim menariknya ke pusat sebagai anggota Dewan Pimpinan Hizbut Tahrir Pusat. Abu Imad kerap menemani Syeikh Abdul Qadim mendatangi cabang Hizbut Tahrir di berbagai negara termasuk ke Libanon maupun Emirat Arab.
Untuk semakin mendetailkan fungsi pengurus pusat, pada 1995, Syeikh Abdul Qadim memperluas Dewan Pimpinan dengan jabatan-jabatan khusus dan mengganti nama Dewan Pimpinan menjadi Kantor Pimpinan. Dan Abu Imad diamanahi sebagai Ketua Kantor Politik.
Salah satu tugas Abu Imad sebagai ketua kantor politik adalah mempersiapkan selebaran-selebaran pandangan politik Hizbut Tahrir untuk disampaikan kepada kontakan aktivis Hizbut Tahrir di berbagai negara.
Abu Imad menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya di Yordania. Dirinya berkali-kali dijebloskan ke penjara hingga menderita sakit jantung. Kemudian berpulang ke rahmatullah beberapa bulan setelah diangkatnya Syeikh ‘Atha bin Abu Rustah sebagai amir ketiga Hizbut Tahrir atau tepatnya pada Ahad malam, 21 Nopember 2004.
Dalam mukadimah buku dua jilid tentang 200 tahun perkembangan politik di Eropa, Abu Imad menyatakan pengambilan kebijakan politik bukanlah aktivitas yang mudah. Meski demikian, tidak boleh menyulitkan orang tersebut mengambil keputusan. Namun dalam mengambil keputusan tetap harus obyektif setelah melakukan kajian dan analisis.
“Sehingga keputusan diambil jauh dari sifat emosional, reaktif dan tekanan realitas,” simpulnya.[] joko prasetyo