Al Sisi, seorang jenderal militer kini malah dianggap menjadi pahlawan ketika menggulingkan pemerintahan Mursi yang demokratis.
Barat ingin dunia Islam melaksanakan demokrasi. Anehnya, Barat justru diam saja ketika demokrasi di Mesir dinodai oleh kudeta militer.
Malah, secara perlahan, dukungan Barat terhadap pemerintahan kudeta militer semakin nyata. Seburuk apapun yang dilakukan pemerintah kudeta, selalu ada pembenaran dari Barat. Termasuk bagaimana putusan pengadilan Mesir yang sangat irasional, mengkriminalisasi aktivis Ikhwanul Muslimin dengan hukuman mati.
Sejak penggulingan Mursi, Jenderal Abdul Fatah al Sisi terus berusaha menampilkan diri sebagai sosok penyelamat Mesir. Dengan konsolidasi politik Mesir, al Sisi mulai merancang Mesir baru, tanpa Ikhwanul Muslimin dan bersiap menyelenggarakan Pemilu untuk melegitimasi kekuasaannya.
Saat ini ia menjadi kandidat terkuat untuk pencalonan presiden Mesir. Pemilu Negeri Piramida ini dijadwalkan berlangsung pada 26-27 Mei 2014. Lawan terdekat al Sisi adalah Hamdeen Sabahi, politisi sayap kiri. Ia adalah peraih suara ketiga dalam pemilu terakhir Mesir pada 2012 yang dimenangkan Mursi.
Al Sisi menjadi kandidat kuat setelah secara sistematis memberangus Ikhwanul Muslimin mulai dari menangkapi aktivisnya, bahkan para pejabatnya hingga Mursyid Aam nya. Menyita aset-asetnya dan mengadilinya dengan pengadilan yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Terakhir, Ikhwanul Muslimin dinyatakan sebagai organisasi teroris. Menurut al Sisi, Ikhwanul Muslimin adalah organisasi yang berdasarkan arogansi agama sehingga mesti dilarang.
Apa yang dialami oleh Ikhwanul Muslimin, senantiasa terjadi. Tindakan keras terhadap organisasi ini dijalankan oleh paling tidak tiga presiden, sampai dengan Husni Mubarak. Namun tindakan pemerintah sementara Mesir saat ini merupakan yang terburuk dialami Ikhwanul Muslimin dalam setengah abad terakhir. Gelagatnya, masih akan berlanjut.
Ironi Demokrasi
Bagi berbagai kalangan apa yang terjadi di Mesir, terlebih dengan naik daunnya Jenderal al Sisi, bahkan sebagian rakyat Mesir diberitakan menyanjung-nyanjung al Sisi dan sangat menginginkannya untuk menjadi presiden pada pemilihan umum yang akan datang, merupakan hal yang mengherankan dan mengacaukan logika demokrasi.
Bila flash back pada peristiwa tiga tahun lalu, ketika rakyat Mesir melakukan demonstrasi massal di Tahrir Square untuk menggulingkan pemerintahan Husni Mubarak yang korup dan sangat militeristik, dan banyak rakyat Mesir yang menjadi korban pada saat itu, maka bagaimana mungkin saat ini situasinya berbalik. Al Sisi, seorang jenderal militer kini malah dianggap menjadi pahlawan ketika menggulingkan pemerintahan Mursi yang demokratis. Jenderal binaan Amerika Serikat justru dianggap penyelamat Mesir dengan aksi militernya yang brutal dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Aneh tapi nyata!
Pembelaan Amerika
Di balik retorika Amerika Serikat yang juga sudah mendesak Mesir membalikkan putusan pengadilan Mesir yang irasional, ternyata Amerika Serikat telah berulang menunjukkan pembelaannya terhadap tindakan Jenderal al Sisi yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Jenderal Abdul Fattah al Sisi sudah menjalin komunikasi intensif dengan Amerika Serikat ketika melanjutkan pendidikan militernya di sana pada tahun 2006. Walau pernah juga menjalankan pendidikan di Inggris pada tahun 1992, namun keberadaannya di Amerika Serikat lebih strategis karena selama di sana ia menjalin kerja sama dengan CIA dan mendalami bagaimana peran Amerika Serikat dalam War on Terrorism (WoT).
Sisi juga pernah menjadi atase militer di Arab Saudi pada masa pemerintahan Mubarak. Tidak mengherankan mengapa kerajaan Arab Saudi adalah negara yang pertama-tama memberikan dukungannya atas kudeta militer yang dilakukan al Sisi pada pemerintahan demokratis Mursi. Dan sebagaimana diketahui secara luas, Arab Saudi adalah sekutu dekat Amerika Serikat pada saat ini.
Militer Mesir adalah penikmat bantuan militer Amerika Serikat terbesar di luar Israel. Dari segi kuantitas, militer Mesir saat ini menduduki peringkat ke-7 di dunia dan terbesar di Afrika berkat kucuran dana dari Amerika Serikat setiap tahunnya tidak kurang dari Rp 6 trilyun sebagai kompensasi dari Perjanjian Camp David dan tidak pernah surut kecuali saat-saat Revolusi Mesir ketika Amerika Serikat membekukan bantuan.
Ketika al Sisi melakukan kudeta, dan dukungan internasional mulai diraih, maka Amerika Serikat pun mempertimbangkan mencairkan kembali bantuan militernya ke Mesir, walau al Sisi melakukan konsolidasi kekuasaannya dengan melakukan kekejaman kepada Ikhwanul Muslimin. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry membahasakan positif tindakan Jenderal al Sisi tersebut dengan istilah ‘Militer Memulihkan Demokrasi’.
Pembenaran Blair
Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, dalam kunjungannya ke Kairo, Mesir, menyatakan bahwa alasan kudeta militer di bawah pimpinan Jenderal al Sisi adalah justru dalam rangka “tried to take the country away from its basic value of hope and progress” sehingga jangan disalahpahami oleh dunia internasional sebagai hal yang berlawanan dengan proses demokrasi.
Lebih jauh ia menyebutkan alasan kuat untuk tetap mendukung pemerintah kudeta di bawah pimpinan presiden interim Adly Mansour yang memerintah di bawah bayang-bayang Jenderal al Sisi adalah untuk mendukung terbentuknya negara yang ‘open mind society’ dan secara ekonomi modern.
Ia menutup mata atas kekerasan dan kekejaman pemerintah Mesir terhadap para demonstran yang menentang kudeta militer. Dia juga menutup mata atas pemberangusan Ikhwanul Muslimin. Seolah apa yang terjadi di Mesir adalah hal yang lumrah.
Kunjungan dan intervensi Blair ini bukanlah yang pertama, sebab pada awal kudeta pada bulan Juli 2013, Blair dengan tendensius menyebutkan bahwa ‘the alternatif to the coup would have been chaos’. Bentuk dukungan langsung terhadap kudeta militer atas pemerintahan demokratik.
Inggris, walaupun sudah kehilangan pengaruhnya secara langsung di Mesir pasca lengsernya Raja Farouk, namun tidak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tempat dari pemerintahan baru yang kelak akan dibentuk pasca pemilu 2014. Walau tentunya Amerika Serikat akan tetap mempertahankan hegemoninya di negeri piramida ini.
International Criminal Court Diam
Yang tidak kalah memprihatinkan adalah bahwa lembaga-lembaga internasional juga cenderung diam terhadap apa yang sedang terjadi di Mesir. Kalaupun ada yang memberikan pernyataan, hanyalah retorika yang tidak mengubah keadaan di sana, termasuk juga International Criminal Court (ICC). Dengan alasan administratif, menganggap permintaan untuk menyelidiki kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Mesir tidak berasal dari pihak yang memiliki personalitas hukum, maka permintaan yang diajukan oleh presiden terguling Mohammad Mursi melalui Partai Kebebasan dan Keadilan tidak dipenuhi.
Hal ini dikarenakan Mesir belum meratifikasi Statuta Roma, yang menjadi landasan gerak dari ICC. Tanpa ratifikasi oleh negara yang bersangkutan maka kejahatan kemanusiaan yang dilaporkan hanya bisa ditindaklanjuti bila ada seruan dari PBB atau pemerintah yang bersangkutan, suatu hal yang mustahil terjadi.
Sungguh mengerikan bila persoalan administratif dan teknis dapat menghalangi suatu praktik kezaliman yang buktinya sangat gamblang. Kembali, intervensi internasional atas nama keadilan hanyalah mimpi di alam demokrasi yang penuh dengan kepentingan. Wallahu’alam. [Budi Mulyana; dari berbagai sumber]