Ketika Wanita di Kursi Kekuasaan
HTI Press. Situbondo. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Situbondo menyelenggarakan Dialog Muslimah dengan mengambil tema “Wanita di Kursi Kekuasaan” (Ahad, 27/04/2014). Dialog ini berlangsung di Masjid Al Muslimun yang beralamat di Jalan Jeru Panji – Situbondo.
Di kota yang sarat dengan taklid pada Kyai ini, acara Dialog Muslimah dihadiri oleh puluhan muslimah dari berbagai kalangan terutama Mahasiswa dan ibu rumah tangga. Hadir sebagai pemateri dalam acara ini adalah Ustadzah Sri Agustini, S.P. Aktivis MHTI Bondowoso yang kesehariannya juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bondowoso.
Pemilu legislatif yang diselenggarakan pada tanggal 9 April lalu memasuki babak-babak akhir, yaitu rekapitulasi perolehan suara nasional baik partai maupun para calon anggota legislatifnya. Di daerah, baik di tingkat kabupaten/kotamadya maupun di tingkat provinsi para calon legislatif terpilih sudah diketahui. Dari sekian banyak caleg perempuan yang tampil sebagai kontestan, hanya ada dua orang caleg yang lolos melenggang ke kursi DPRD. Demikian pula yang terjadi di Kabupaten tetangga Situbondo, yakni Bondowoso yang juga hanya meloloskan 2 orang caleg perempuan. Sistem politik pemilu terbuka membuat para kontestan saling bersaing ketat dan menggunakan berbagai cara untuk mendapakan suara terbanyak untuk menduduki kursi legislatif. Alhasil, politik uang pun menjadi suatu hal yang biasa.
Padahal sesuatu yang diawali oleh tindak kecurangan akan memunculkan banyak preseden buruk, salah satunya adalah banyaknya kasus korupsi. Politikus perempuan pun juga banyak yang terjerat. Salah satunya yang terkenal luas adalah anggota DPR RI Angelina Sondakh. Tidak hanya itu saja, ketika para wanita terjun ke ranah politik mereka mempertaruhkan kehidupan rumah tangganya yang sebelumnya harmonis. Beberapa rumah tangga selebriti anggota DPR RI berakhir tragis di meja pengadilan dengan putusan cerai. Sebut saja Rachel Maryam dan Venna Melinda.
Paparan fakta ini menambah keseriusan para peserta menyimak penjelasan pemateri. Sangat disayangkan, para wanita ini terjebak pada kekeliruan dalam mendefinisikan aktif di dunia politik yang diusung demokrasi. Mereka masih mengatakan bahwa seorang perempuan dikatakan memiliki peran politik ketika mereka duduk di kursi kekuasaan. Misalnya menjadi anggota legislatif, kepala daerah atau bahkan presiden. Apalagi ditambah dengan kuota 30% dalam parpol sehingga dapat menambah porsi perempuan dalam kekuasaan.
Sri Agustini menjelaskan bahwa di dalam Islam, politik didefinisikan sebagai suatu pengaturan urusan umat di dalam negeri dan di luar negeri baik dari urusan remeh-temeh sampai urusan yang sangat besar. Jadi, aktivitas politik itu tidak hanya dalam satu aspek saja, yaitu kekuasaan. Akan tetapi semua aspek yang menyangkut kemaslahan seluruh umat. Tidak heran jika, seorang ibu yang mendidik anaknya untuk kelak menjadi pemimpin yang baik dan peduli terhadap urusan kaum muslimin dan dunia itu juga bisa dikatakan aktivitas politik. Para shahabiyah pun mencontohkan aktivitas berpolitik ini. Sejarah mencatat nama Nusaibah binti Ka’ab dan Asma’ binti ‘Amr bin ‘Adiy sebagai dua wanita yang mengikuti Baiat Aqabah 2.
Terakhir pemateri menyampaikan pernyataan tegas bahwa sekuat apapun, sebaik dan sepintar bagaimanapun perempuan yang terjun di panggung politik, tetap tidak akan membawa banyak perubahan jika sistem politiknya masih Politik Demokrasi seperti saat ini. Hanya sistem politik islam yang dapat melahirkan politikus-politikus bersih. []