Lirikan Maut Untuk Si PAUD
Oleh: dr. Estyningtias P (Lajnah Siyasiah MHTI)
Mendidik Anak Usia Dini: Tugas Mulia Ibu
Mendidik anak pada usia dini adalah salah satu tugas mulia seorang ibu. Betapa tidak Islam menggambarkan pahala yang begitu besar dengan menjadikan surga di bawah telapak kakinya. Ini karena besarnya amanah yang harus dipertanggungjawabkan ibu. Tidak hanya sekedar mengandung dan melahirkan, ibu juga menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Dialah yang memiliki fungsi mendidik generasi calon pemimpin khairu ummah, umat terbaik yang dijanjikan Allah.
Diantara fase pendidikan anak, fase usia dini adalah satu-satunya fase yang cukup vital sebab di masa golden age ini, semua informasi yang masuk akan menjadi informasi awal bagi anak untuk bersikap dan menyikapi suatu peristiwa, membentuk sudut pandang anak untuk “melihat” sebuah nilai dan norma tertentu serta sangat menentukan perilaku dan tingkah polah si anak dimasa yang akan datang. Itulah sebabnya pendidikan anak usia dini menjadi sangat penting.
Sayangnya tidak semua ibu menyadari hal ini. Dan tidak semua ibu yang sadar mampu melakukan hal ini. Apalagi saat ini sudah banyak PAUD, Play Group/Kelompok Bermain atau baby school yang menawarkan jasa untuk membantu para ibu menunaikan kewajibannya. Para ibu tinggal memilih mau menggunakan jasa yang sesuai isi koceknya. Ada yang murah dengan fasilitas seadanya, tapi ada juga yang mahal dengan berbagai macam fasilitas yang serba modern. Dengan demikian para ibu adalah pihak yang paling diuntungkan dengan maraknya PAUD ini karena sangat teringankan bebannya.
Disadari atau tidak kondisi ini membuat para ibu sedikit terlena dengan menyerahkan urusan pendidikan anak usia dini pada PAUD-PAUD yang ada. Ditambah lagi saat ini, banyak PAUD menambahkan dalam kurikulumnya kebiasaan-kebiasaan baik pada anak seperti membaca doa-doa harian, hafalan surat pendek dan menyelipkan ajaran Islam dalam berbagai aktivitasnya. Nah, terwakili sudah hampir seluruh tugas ibu dalam mendidik anak di usia yang masih belia ini, bukan?
Gerakan PAUD, Mengapa Baru Sekarang?
Menjamurnya PAUD yang ada di Indonesia ternyata bukan tanpa sebab. Adanya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 khususnya pasal 28 menjadi payung hukum awal kemunculan PAUD. Namun saat itu jumlahnya tak sebanyak sekarang. Keterbatasan dana menjadi salah satu alasannya.
Pada masa berikutnya seiring dengan adanya gerakan nasional PAUD, pemerintah telah menggelontorkan sejumlah dana untuk merangsang kemunculan PAUD di berbagai daerah. Tahun 2013 saja pemerintah telah membuat anggaran 7 triliun untuk PAUD dengan rincian pada tahun 2013 akan dibangun 7500 unit PAUD dan sisanya pada tahun 2014. Bahkan dalam situs resminya -www.paudni.kemdikbud.go.id- pemerintah telah mencanangkan program satu desa satu paud tahun 2014. Melalui program itu, pemerintah berharap mampu mengejar target angka partisipasi kasar PAUD sebesar 75 persen. Tentu upaya pemerintah ini perlu diapresiasi sebagai upaya yang mengesankan pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh dalam memperhatikan pendidikan bagi anak-anak.
Kendala dana inilah yang akhirnya membuka peluang masuknya investor asing di bidang pendidikan. Ketertarikan asing untuk berinvestasi terhadap PAUD sangat nyata terlihat dalam salah satu dokumen “ECE, A Global Scenario”. Di halaman 10 dokumen tersebut dikatakan “UNESCO refers to early education as earlychildhood care and education (ECCE), the OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) calls it early childhoodeducation and care (ECEC), the World Bank calls it early child development(ECD), while UNICEF calls it early childhood development (ECD).” [UNESCO mengacu pada pendidikan anak usia dini, OECD menyebutnya pendidikan dan perawatan (ECEC) anak usia dini, Bank Dunia menyebutnya awal perkembangan anak (ECD), sementara UNICEF menyebutnya pengembangan anak usia dini (PAUD)] . Nampak dengan jelas ada 4 lembaga yang tertarik dengan PAUD sehingga memberi nama yang berbeda-beda. Keempat lembaga itu adalah UNESCO, OECD, World Bank dan UNICEF.
Fakta di lapangan juga memperkuat hal ini. Bunda PAUD Kulonprogo dr. Hj. Dwikisworo Setyowireni SpA(K) mengungkapkan bahwa selama ini (2006-2012) lembaga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) memperoleh bantuan dari Bank Dunia. (http://krjogja.com/read/184949/bantuan-bank-dunia-dihentikan-wujudkan-paud-mandiri.kr).
Adapun tujuan lembaga-lembaga ini berinvestasi pada PAUD terlihat di halaman 11 yang menyatakan “The OECD (2006) further argues that early childhood education enables womento participate in the labour market, thereby contributing to economicgrowth. The OECD 2006:12) posits: “Because economic prosperitydepends on maintaining a high employment population ratio, the wish tobring more women into the labour market has been a key driver of government. Governments’ interest in the economic benefits of ECE is reflected in the European targets for early education, known as the Barcelona Targets. These targets, which were agreed at the Barcelona summit in 2002, simply set targets for childcare places for children aged 0-3 and 3 to mandatory school age, to be achieved by 2010. While such ECE policies, which focus on employment and gender equality, are essential, they are, unfortunately, inadequate. There is need to go beyond the provision of childcare places to comprehensive services for children, that take the needs and the rights of children into account. This approach is supported by (UNESCO 2007), which argues that early childhood programmes should have as their core objective the wellbeing and holistic development of children’s capacities”
Dokumen itu diartikan pada tahun 2006, OECD –yang beranggotakan negara-negara berpendapatan tinggi- berpendapat bahwa “pendidikan anak usia dini memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja, sehingga mereka mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena kemakmuran ekonomi tergantung pada upaya mempertahankan rasio populasi kerja yang tinggi dan berharap untuk mengerahkan lebih banyak perempuan ke dalam pasar tenaga kerja. Hal ini telah menjadi pendorong utama pemerintah untuk mengambil manfaat ekonomi dari ECE/Early Childhood Education atau PAUD seperti tercermin dalam target Eropa untuk pendidikan dini, yang dikenal sebagai Target Barcelona. Target ini, yang disepakati pada KTT Barcelona pada tahun 2002, hanya menetapkan target untuk tempat penitipan anak untuk anak usia 0-3 dan 3 sampai usia wajib sekolah, yang akan dicapai pada tahun 2010. Kebijakan ECE yang terfokus pada pekerjaan dan kesetaraan gender, sangat penting untuk menyediakan tempat penitipan anak sebagai layanan komprehensif bagi anak-anak dalam memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak. Pendekatan ini didukung oleh UNESCO pada tahun 2007, yang berpendapat bahwa program anak usia dini harus memiliki tujuan inti kesejahteraan dan pengembangan kapasitas anak-anak secara menyeluruh.”
Dalam dokumen yang lain disebutkan bahwa “As the results of manyglobal research and longitudinal studies have indicated198, investing in ECD would gain a returnat least seven times higher than the investment (that is, for every US$1 invested in ECD, a returnof US$7 can be expected), if these services are targeted at the poor”[“Sebagai hasil dari banyak penelitian global dan studi longitudinal memiliki indikasi, investasi di ECD(early childhood development) akan mendapatkan setidaknya tujuh kali lebih tinggi dari investasi. Yaitu, untuk setiap US $ 1 yang diinvestasikan dalam ECD, bisa doharapkan akan kembali US $ 7, jika layanan ini ditargetkan pada orang miskin (Working TowardsProgress With Equity Under Decentralisation, Unicef dan Bappenas, 2011).
Artinya melalui lembaga-lembaga internasional, yang merupakan kepanjangan tangan Barat ingin mendapat keuntungan ekonomi dengan mendorong berdirinya PAUD. Jadi munculnya banyak PAUD bukan semata-mata ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak. Melainkan agar pertumbuhan ekonomi meningkat. Logikanya jika semakin banyak PAUD yang berdiri, maka akan lebih banyak siswa yang bersekolah, sehingga akan menyerap tenaga guru, karyawan administratif, atau cleaning service yang selama ini masih mengganggur. Disamping itu adanya PAUD di suatu tempat akan menarik pedagang kue dan mainan untuk berjualan disekitar lokasi sehingga diharapkan bisa meningkatkan pendapatan mereka.
Selain ini para ibu bisa lebih bebas bekerja diluar rumah saat anaknya sekolah di PAUD. Para ibu bekerja demi mendapatkan tambahan sedikit uang. Dengan begitu diharapkan akan mendongkrak perrtumbuhan ekonomi yang pada akhirnya bisa mengantarkan pada kesejahteraan. Dengan bantuan ini, Barat seolah-olah ingin membantu pemerintah mengentaskan problem kemiskinan dan meningkatkan angka partisipasi kasar untuk PAUD.
Padahal realitasnya kesejahteraan yang diharapkan tidak pernah terwujud. Bahwa para ibu, para guru, pedagang mainan mendapatkan tambahan penghasilan, itu memang benar. Namun tambahan penghasilan itu tetap tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan pokok mereka dengan sempurna. Artinya, mereka masih tetap terkategori miskin. Yang justru tumbuh subur dalam realitanya adalah munculnya hutang-hutang baru. Sebab para ibu yang bekerja ini merasa sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Mereka tidak perlu minta lagi pada para suami jika mereka menginginkan sesuatu. Apalagi sesuatu yang diinginkannya bisa dibeli dengan sistem kredit yang cicilannya sangat terjangkau oleh mereka, seperti sprei, tas, sepatu, baju dan lain-lain. Wal hasil, meski gaji tak seberapa tapi penampilannya tak kalah dengan wanita kantoran.
Jika sudah begini, siapakah yang diuntungkan? Tentu jawabnya adalah para produsen barang-barang tersebut. Dan hampir semua barang yang dijajakan dengan sistem kredit yang terjangkau ini adalah barang-barang bermerek. Tentu tidak ada yang memungkiri bahwa produsen barang-barang yang bermerk tersebut adalah Barat. Jelaslah bahwa sebenarnya bantuan untuk mendirikan PAUD hanyalah sebuah topeng yang dikenakan Barat agar barang-barang produksinya bisa terjual.
PAUD-ku Sayang, PAUD-ku Malang….
Secara konten gerakan nasional PAUD ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden no 60 tahun 2013 dikembangkan ke arah holistic integrative. Fasli Jalal, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menjelaskan holistic integrative yang menyatakanbahwa di PAUD anak berhak mendapatkan 5 hal. Pertama, pemahaman pemenuhan gizi seimbang untuk perkembangan otak dan pertumbuhan fisik anak. Kedua, anak harus mendapatkan stimulasi psiko sosial dalam PAUD, agar kelak mampu menjadi anak yang adaptatif terhadap lingkungan sekitar. Ketiga, ketika anak belajar dalam PAUD, anak berhak mendapat pengasuhan terbaik. Keempat, anak mendapatkan perlindungan dan orang tua harus mendapatkan pemahaman pentingnya menghindari tekanan dalam bentuk verbal atau fisik dalam pola asuh. Dan yang kelima, anak berhak untuk mendapatkan akses bermain yang edukatif namun menyenangkan.(menkokesra,12/3/14).
Jika dicermati dari 5 poin tersebut diatas, ternyata ada target yang ingin dicapai dalam pendidikan PAUD yakni menanamkan paham pluralisme pada anak, menegasikan peran ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak dan stigmatisasi pola asuh tertentu. Ini nampak pada poin kedua, ketiga dan keempat.
Pada poin kedua, anak diharapkan bisa menjadi anak yang adaptif terhadap lingkungannya. Makna adaptif berarti mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Jika yang dimaksudkan tidak terkait dengan prinsip hidup, maka ini tidak masalah. Tapi jika yang dimaksud adaptif itu berkaitan dengan hal-hal yang prinsipil, maka tentu ini akan menjadi masalah. Sebagai contoh, dalam salah satu kurikulum PAUD, anak-anak tidak diperkenankan menyebut Allah, sebab Allah hanyalah sebutan bagi Tuhan orang Islam. Sementara yang bersekolah di PAUD tak hanya orang Islam, maka sebaiknya anak-anak menyebut kata Tuhan bukan Allah. Demikian juga dengan salam.
Jadi dengan dalih agar anak bisa menjadi anak yang adaptif bagi lingkungannya, anak-anak kaum muslimin tidak boleh mengenal kata Allah. Tentu ini adalah masalah besar bagi kaum muslimin. Bagaimana mungkin generasi Islam tidak diperbolehkan mengenal Allah, Tuhannya sendiri? Dan apa yang kelak akan terjadi jika konsep ini terus dibawa oleh generasi mungil ini? Jelas ini adalah pendangkalan aqidah yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Memang benar, masih banyak fakta di lapang yang kemudian berusaha mewarnai kurikulum PAUD ini dengan nuansa Islam. Mungkin dengan tetap menyebut Allah dan mengajarkan doa-doa Islami. Tapi perilaku adaptif yang lain, toh tetap diajarkan. Seperti standar penilaian baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, dan sebagainya.
Pada poin ketiga, disebutkan bahwa di PAUD anak berhak mendapat pengasuhan terbaik. Poin ini sekilas tampak tak bermasalah. Namun jika dikaitkan dengan poin keempat yang terkait dengan pola asuh, maka jelaslah bahwa pola asuh dirumah, yang dilakukan oleh para ibu, bukanlah pengasuhan yang terbaik. Sebaliknya justru pola asuh dirumah adalah pola asuh yang membuat anak menjadi tertekan, baik fisik maupun verbal.
Secara tidak langsung, 2 poin ini menunjukkan bahwa ibu sebagai pihak yang paling berhak mengasuh anak justru dituding menjadi pihak yang menyebabkan anak tidak mampu tumbuh secara integral dan menyeluruh. Ibulah yang menjadi penyebab utama perilaku tidak adaptif pada anak. Pola asuh ibu yang cenderung suka melarang, membentak, dan sebagainya ini dianggap sebagai bentuk kekerasan yang menimbulkan tekanan pada anak. Jadi poin ini jelas berupaya untuk menghilangkan peran ibu sebagai pendidik pertama dan utama pada anak dengan memberi stigma tertentu pada pola asuh yang “bertentangan” dengan arah dan tujuan mereka.
Memang benar, tidak semuanya demikian. Masih banyak PAUD-PAUD Islam yang mengajarkan hal-hal yang benar. Namun hal ini tentu tetap harus diwaspadai, sebab kurikulum ini telah mendapat payung hukum sehingga suatu saat pemerintah bisa mengambil tindakan tegas bagi PAUD yang tidak berjalan sesuai kurikulum yang telah ditetapkan. Ibarat main catur, kurikulum PAUD yang saat ini terus digulirkan dengan berbagai programnya adalah pion yang menunggu digerakkan pada saat yang dibutuhkan. Dan Barat akan memainkan pion ini sesuai dengan waktu yang dikehendakinya untuk memuluskan upayanya dalam menjajah Negara ini. Bisa dibayangkan, jika asset generasi mungil ini telah dicuci otaknya dengan pemahaman pluralism, adaptif, pola asuh ibu bukanlah yang terbaik, maka kelak anak-anak ini akan lebih mudah menjadi antek asing yang justru akan memusuhi ajaran agamanya sendiri bahkan memusuhi orang tuanya yang teguh memegang Islam.
Khatimah
Bagi seorang muslimah, menjadi ibu adalah suatu anugrah dari Allah SWT. Dan pada saat Allah menjadikan seorang muslimah sebagai seorang ibu, Allah juga menyiapkan seperangkat amanah lengkap dengan pahala yang demikian besar. Wajarlah jika surga berada dibawah telapak kaki ibu. Sebab Allah telah meletakkan hak pengasuhan anak pada ibu.
Karena itu, menjadi ibu tentu harus dbarengi dengan keseluruhan pemahaman tentang apa dan bagaimana membesarkan, mengasuh dan mendidik anak. Menjadi ibu tentu tidak sekedar mengalir seperti air. Ibulah pihak pertama yang akan memoles kepribadian anak, menanamkan nilai baik buruk, halal haram dan juga melatih anak menyikapi berbagai peristiwa dengan sudut pandang yang khas, yakni Islam. Ibulah pihak pertama yang mengenalkan kata Allah pada anak, melatih kebiasaan baiknya dan melarangnya melakukan kebiasaan buruk. Dan karena beratnya amanah ini, Allah tidak mengharuskan para ibu bekerja agar setiap saat bisa mengasuh anak-anaknya dirumah. Inilah gambaran kemuliaan ibu dalam Islam.
Islam tidak pernah meminta para ibu keluar rumah untuk mengais rejeki demi meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Islam lebih memperhatikan bagaimana kualitas generasi dimasa yang akan datang lebih unggul dibandingkan saat ini. Sebab Islam telah memiliki mekanisme tersendiri untuk memecahkan problem kemiskinan dan meningkatkan APK (Angka Partisipasi Kasar) pada pendidikan. Jadi Islam tak pernah membebankan persoalan ekonomi hanya pada perempuan, apalagi ibu.
Jika sekarang para ibu teringankan bebannya dengan adanya PAUD, maka tak ada salahnya para ibu tetap menjalankan fungsinya sebagai pendidik pertama dan utama bagi buah hatinya, tetap mengikuti perkembangan pemikirannya dan mengarahkannya, dan tetap menanamkan nilai-nilai dan cara pandang Islam dalam menyikapi berbagai peristiwa. Sebab memang inilah esensi seorang ibu. Maka tetaplah menjadi seorang ibu sejati dan waspadailah setiap lirikan maut untuk si PAUD… Wallahu a’lam. []