Demokrasi, Sistem Rusak dan Merusak
Oleh : Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten
TAHUN 2014 adalah tahun politik, dimana di tahun ini Indonesia menggelar pesta demokrasi lima tahunan yang sangat besar, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pemilu legislatif telah dilaksanakan tanggal 9 April 2014 lalu, sedangkan Pilpres baru akan dilaksanakan tanggal 9 Juli mendatang.
Banyak kaum muslim yang masih terlibat aktif dalam pemilu kali ini. Banyak di antara mereka yang masih berharap ‘kebaikan’ dari demokrasi meski telah berulang kali pula mereka ditipu. Fakta yang tak terbantahkan adalah ketika pergantian rezim, keadaan Indonesia tidaklah lebih baik. Bahkan pergantian rezim seringnya diiringi dengan kebijakan yang mencekik rakyat, misalnya kenaikan BBM.
Demokrasi telah melakukan tipu daya yang sangat kejam, dikatakan bahwa pemilu akan memberikan perubahan yang lebih baik. Rakyat dibohongi bahwa ketika mereka terlibat aktif dalam pemilu, mereka dikatakan berdaulat. Ketika rakyat memilih, dikatakan bahwa kebebasan memilih itulah yang menunjukkan rakyat berdaulat.
Dalam pemilu kali ini keterlibatan perempuan digiring untuk masuk ke kancah kekuasaan dan legislasi. Dengan kuota 30 persen, perempuan ‘dipaksa’ mengikuti aturan agar memenuhi kuota tersebut. Alhasil, para ibu digiring keluar rumah, meninggalkan peran utama mereka sebagai ibu dan manager rumah tangga (Umm wa Rabb al-Bayt).
Ketika para perempuan lebih asyik dan sibuk di luar rumah meninggalkan kewajiban mereka sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, hal ini berimbas kepada keharmonisan keluarga. Kurangnya perhatian para ibu kepada anak-anaknya dan suaminya menyebabkan perselisihan di antara mereka. Para suami tidak mendapatkan haknya dari para istri dan perselisihanpun tidak bisa dihindari yang berakibat pada perceraian dan kehancuran keluarga. Anak-anak yang ‘ditelantarkan’ akan mencari pelampiasan di luar rumah, karena mereka kurang mendapat kasih sayang yang seharusnya di dalam rumah. Alhasil, anak-anak akan menjadi generasi yang kurang perhatian, terlibat narkoba, seks bebas dan kenakalan remaja lainnya. Inilah sekelumit persoalan dari sekian banyak persoalan yang dilahirkan dari sistem demokrasi yang rusak dan merusak. Kehancuran keluarga dan generasi!
Kerusakan-Kerusakan Demokrasi
- Yang Penting Kuantitas Bukan Kualitas
Dalam demokrasi, suara seorang professor sama dengan suara seorang preman. Suara seorang artis yang tidak mengerti politik dinilai sama dengan suara seorang politisi. Suara seorang yang memilih dengan analisa sama dengan suara orang yang dibayar, sama-sama dihitung satu. Ya, demokrasi hanya menghitung jumlah, bukan kualitas. Bahkan memilih partai apapun akan dinilai sama saja. Memilih partai Islam atau sekuler, sama saja. Karena suara kaum muslim pun akan dijual ke partai sekuler dengan nama ‘koalisi’. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Iqbal, seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20 dari India yang juga menjadi pelopor pembentukan Negara Pakistan. “Demokrasi menghitung jumlah kepala tanpa memperhatikan isi kepala”.
- Kedaulatan Semu
Demokasi telah membohongi kita semua. Meski demokrasi menyatakan bahwa rakyat memiliki kedaulatan, dimana rakyat berdaulat menentukan nasib sendiri dengan membuat UU sendiri. Rakyat yang mana? Karena senyatanya, tidak mungkin mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat atau ditanyai satu per satu tentang satu perkara hukum. Maka mekanisme pembuatan hukum dilakukan melalui perwakilan di Badan Legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemen. Maka, rakyat yang dimaksud bukanlah rakyat dalam arti sesungguhnya, namun perwakilan orang-orang tertentu yang memiliki kepentingan. Jadi, hakikatnya apa yang terjadi di parlemen bukanlah mewakili suara rakyat, tetapi mewakili segelintir orang yang ‘berkepentingan’.
- Suara Mayoritas
Demokrasi mengagungkan pendapat mayoritas. Suara mayoritas adalah kebenaran dalam klaim demokrasi. Maka, meski kita memperjuangkan yang Haq yang datangnya dari Sang Maha Pencipta, jika tidak didukung dengan suara mayoritas maka kebenaran itu akan tereliminasi, digantikan dengan ‘kebenaran’ versi demokrasi, yaitu suara mayoritas.
Dalam demokrasi, wakil rakyat di parlemen lah yang memutuskan dan mengesahkan suatu undang-undang untuk diberlakukan di tengah masyarakat, tentunya berdasarkan suara mayoritas, bukan berdasarkan halal haram. Dengan mekanisme seperti ini, ketetapan Allah SWT yang pasti (Qoth’i) yang tertuang di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya memerlukan persetujuan dari hamba-hamba Allah. Jika pendapat mayoritas anggota parlemen bertentangan dengan apa yang tertuang dalam Kitab-Nya, maka yang akan dimenangkan adalah pendapat mayoritas anggota parlemen.
Wakil rakyat yang ada di parlemen di klaim sebagai wakil rakyat meski tidak mewakili kepentingan rakyat. Karena demokrasi benar-benar berintikan perwakilan. Sampai-sampai, kesejahteraan rakyat pun telah diwakili oleh anggota parlemen dan kroni-kroni penguasa. Mereka bertambah sejahtera sementara rakyat semakin menderita.
- Mahal dan Menyuburkan Korupsi
Persoalan korupsi di negeri ini tumbuh subur laksana jamur di musim penghujan. Belum selesai kasus korupsi yang satu, muncul kasus korupsi lainnya. Belum selesai skandal Bank Century, muncul kasus korupsi baru yang melibatkan Menteri Agama Suradharma Ali, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi dana haji. Betapa korupsi sudah menjadi habit di negeri yang mayoritas muslim ini.
Bila ditelisik, sesungguhnya sangat wajar kasus korupsi terus merebak di era kecanggihan teknologi sekarang yang di dalamnya diberlakukan aturan buatan manusia, yaitu sistem demokrasi.
Sebagaimana telah diketahui, partai politik dan politisi memerlukan dana sangat besar untuk modal dalam pemilihan umum. Tanpa modal besar, mustahil rasanya bisa ikut dalam pesta lima tahunan tersebut.
Dalam sebuah pilkada calon gubernur dan wakilnya membutuhkan biaya pemilu sebesar 100 hingga 150 miliar rupiah. Sementara, gaji gubernur dalam setahun Rp. 1,2 miliar. Jika masa jabatan 5 tahun, maka gubernur mendapat penghasilan sekitar Rp. 6 milliar.
Bagaimana mereka menutupi biaya politik yang sangat mahal itu? Banyak cara yang dilakukan agar bisa mengembalikan modal politik mereka, diantaranya:
- Mengutip dari anggaran proyek yang jatuh kepada pemenang tender, biasanya pemenang tender adalah pengusaha rekanan atau perusahaan keluarga mereka.
- Dengan jual beli kebijakan diantaranya mengeluarkan perizinan atau konsensi dengan imbalan sejumlah uang dari penerima izin atau konsensi tersebut.
- Menggelembungkan anggaran belanja agar ada margin yang bisa disisihkan untuk mereka.
Untuk memuluskan permainan kotor ini, semua pihak yang terkait dilibatkan termasuk Dewan Perwakilan. Hingga kita mengenal istilah “Korupsi Berjamaah”.
- Hanya Untuk Korporasi
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana yang besar. Hal ini tentunya tidak bisa tertanggulangi bagi yang tidak dan kurang memiliki modal. Maka bantuan dari pengusaha dan korporasi/perusahaan adalah hal yang niscaya, agar dapat melaju menuju kekuasaan. Maka tak pelak, keberhasilan para politisi dan partai politik dalam pemilu akan berimbas pada kebijakan yang dikeluarkan sebagai konsekuensi logis karena telah dibantu modal menuju kursi kekuasaan.
Tak heran, bila dalam masa jabatan seorang penguasa tertentu, kebijakan-kebijakannya tidak memihak rakyat tetapi memenangkan kepentingan para pengusaha dan korporasi/perusahaan yang telah berani mengeluarkan modal besar untuk mensukseskan mereka menuju tampuk kekuasaan.
Penguasa yang dibantu kemenangannya dengan modal yang sangat besar oleh pengusaha pastinya akan membalas budi (Balas jasa) pada pengusaha tersebut. karena sejak awal pastinya bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu. Paling tidak, agar terjamin keberlangsungan bisnisnya; bisa juga demi mendapatkan proyek dari pemerintah. Akibatnya, penguasa didikte oleh pengusaha. Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan Negara yang dikontrol oleh korporasi, yang ciri utamanya adalah: lebih melayani kepentingan pengusaha (bisnis) daripada rakyat.
Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Rakyat pun hanya diposisikan layaknya konsumen dan negara sebagai penjual. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem pemerintahannya: demokrasi.
Negara korporasi telah merubah demokrasi menjadi Dari Korporasi, Oleh Korporasi dan Untuk Korporasi.
- Alat Penjajahan
Demokrasi diusung oleh Negara besar seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Barat lainnya, dalam rangka melestarikan penjajahan dan mengeruk kekayaan alam negeri-negeri Islam. Demokrasi sejatinya adalah alat penjajahan.
Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh George W. Bush, mantan presiden AS, “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi”
Artinya jika kita tetap melanggengkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang diterapkan di negeri ini, berarti kita tetap mempertahankan penjajahan negara-negara besar seperti AS yang memperdaya kita. Relakah kita tetap dijajah?
Bagaimana Seharusnya?
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia semestinya tidak lagi mengandalkan sebuah sistem rusak dan merusak buatan manusia, seperti halnya demokrasi. Sebagai negeri muslim, Indonesia semestinya menyandarkan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya kepada Pencipta saja. Menyerahkan kehidupan diatur hanya dengan aturan yang datang dari Pencipta yang mengetahui kelemahan, kekurangan dan keterbatasan manusia. Karena menyandarkan kepada demokrasi bukan hanya telah nyata kerusakannya, namun juga demokrasi bertentangan dengan Islam dalam segala hal hingga dalam masalah aqidah, karena demokrasi dibangun diatas asas atau aqidah sekulerisme yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Aqidah demokrasi adalah sekulerisme, sebuah paham yang memisahkan agama dari negara, yang artinya memisahkan aturan Syariat Islam dari pengaturan urusan masyarakat. Kehidupan berbangsa dan bernegara dalam demokrasi harus steril dari aturan Pencipta. Manusia dijadikan ‘Tuhan’ mengalahkan Tuhan Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan yaitu Allah SWT.
Urusan masyarakat dalam sistem demokrasi diatur dengan hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia dengan mengikuti kecenderungan hawa nafsu. Padahal Allah SWT berfirman :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS Al-Jatsiyah [45]: 18)
Maka, seharusnya sebagai muslim, kita tak memerlukan demokrasi karena aturan Allah telah ada sejak dahulu kala yang telah Allah turunkan untuk mengatur kehidupan umat manusia seluruhnya, bukan hanya muslim. Dan kita tak perlu membela demokrasi yang rusak dan merusak, yang telah nyata pertentangannya dengan Islam. Maka seharusnya kita campakkan demokrasi, dan menggantinya dengan sebuah sistem terbaik yang datangnya dari Allah SWT yaitu Khilafah Islamiyah.
Khilafah sebagai sebuah model pemerintahan terbaik semestinya kita kembalikan perannya dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Khilafah sebagai sebuah institusi yang akan menerapkan aturan Islam di dalam dan di luar negeri akan melahirkan kesejahteraan, keselamatan, keamanan yang secara fitrah sangat dibutuhkan oleh umat manusia manapun.
Maka, tugas umat Islam adalah bersegera meruntuhkan bangunan sistem demokrasi dan menggantinya dengan sistem Khilafah.
Wa Allahu ‘alam. []
sumber: http://www.islampos.com/demokrasi-sistem-rusak-dan-merusak-112383/