Soal:
Ada yang menyatakan kebolehan terlibat dalam sistem kufur dengan dalil, bahwa Nabi Yusuf as. pun pernah menjadi raja di Mesir. Sejauh mana kesahihan argumentasi ini? Apakah memang ada ulama’ yang mengatakan pendapat seperti ini?
Jawab:
Pertama: Memang benar ada pendapat yang mengatakan seperti itu, tetapi itu dilontarkan oleh ulama’ salathin (ulama pemerintah). Pendapat seperti ini tidak mempunyai argumentasi yang kokoh. Tak lebih dari sekadar justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan. Pasalnya, memerintah dan memutuskan perkara berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah itu dalil-dalilnya jelas dan qath’i, baik dari aspek tsubut (sumber)-nya, maupun ad-dilalah (makna)-nya. Ini tidak ada ikhtilaf di antara para ulama. Memutuskan hukum dengan apa yang telah Allah turunkan hukumnya wajib. Allah SWT berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu (QS al-Maidah [5]: 48).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepada kamu(QS al-Maidah [5]: 49).
Nas-nas yang maknanya sama dengan nas-nas ini sangat banyak.
Sebaliknya, tidak memerintah dan tidak memutuskan hukum berdasarkan hukum Allah serta memerintah dan tidak memutuskan hukum berdasarkan hukum positif buatan manusia, jelas merupakan kekufuran (jika yang memerintah dan memutuskan dengannya itu yakin), zalim atau fasik (jika tidak yakin). Ini dinyatakan dalam firman Allah SWT:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 44).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang zalim (QS al-Maidah [5]: 45).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang fasik (QS al-Maidah [5]: 47).
Kedua: Mereka berargumen dengan tindakan Nabi Yusuf as., bahwa Nabi Yusuf as. telah memutuskan perkara dengan hukum Raja Mesir, yakni tidak berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah. Argumentasi seperti ini tidak relevan. Pasalnya, kita diperintahkan untuk mengikuti Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., bukan mengikuti syariah Nabi Yusuf as. maupun nabi-nabi lain. Sebabnya jelas, syariah sebelum kita bukanlah syariah bagi kita. Syariah sebelum kita telah dihapus dengan Islam Allah SWT berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Karena itu putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu (QS al-Maidah [5]: 48).
Makna “muhayminan ‘alayhi” adalah menghapus. Jadi, Islam telah menghapus syariah kitab-kitab terdahulu. Karena itu syariah orang sebelum kita bukanlah syariah bagi kita.
Ada beberapa ulama ushul yang menggunakan kaidah dalam bentuk lain, yakni:
شَرْعٌ مَنْ قبلَنَا شَرْعٌ لَنَا مَالمَ يُنْسَخْ
Syariah orang sebelum kita merupakan syariah kita selama tidak dihapus.
Kaidah ini menetapkan, bahwa ber-hujjah dengan syariah terdahulu hanya bisa dilakukan jika hukum dari syariah itu yang tidak di-nasakh (dihapus). Namun yang pasti, kita diperintahkan untuk terikat dengan apa yang dinyatakan dalam syariah kita. Islam jelas telah me-nasakh semua syariah terdahulu yang berbeda. Karena itu seluruh ulama ushul mu’tabar, baik mereka yang menyatakan kaidah yang pertama “syar’un man qablanâ laysa syar’an lanâ (syariah orang sebelum kita bukan merupakan syariah untuk kita)” maupun yang mengatakan kaedah kedua “syar’un man qablanâ syar’un lanâ mâ lam yunsakh (syariah orang sebelum kita merupakan syariah kita selama tidak dihapus)”, semuanya menyatakan kewajiban berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan. Pasalnya, ini dinyatakan secara tegas dalam Islam, dengan dalil qath’i, baik dari aspek sumber maupun maknanya.
Nabi Yusuf as. sendiri mengatakan, sebagaimana dinyatakan Allah SWT dalam firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (TQS Yusuf [12]: 39-40)
Jadi, tindakan Nabi Yusuf as. tidak mungkin menyalahi ucapannya. Bagaimana mungkin beliau menyerukan “hak menetapkan hukum itu menjadi milik Allah SWT”, tetapi kemudian beliau memutuskan perkara dengan hukum kufur. Pandangan yang menyatakan, bahwa Nabi Yusuf as. memutuskan perkara berdasarkan hukum Raja Mesir, itu sama dengan menikam kemaksuman Nabi Allah sekaligus bersikap lancang terhadap dirinya. Ini merupakan dosa besar.
Sebagaimana kami tegaskan di atas, andai saja diasumsikan, bahwa Allah SWT membenarkan Nabi Yusuf as. dalam syariah yang diturunkan kepada dirinya untuk memutuskan beberapa kasus dengan undang-undang Raja Mesir, maka Islam telah menghapus syariah ini. Bagi kita, yang wajib, setelah risalah Rasul saw. adalah memutuskan dengan syariah Islam, tidak dengan yang lain.
WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]