Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto menilai acara Debat Capres dan Cawapres semalam di Balai Sarbini membuktikan kedua pasang capres dan cawapres sekuler dan tidak adil.
“Saya tidak melihat perbedaan mendasar dari kedua capres pada seluruh tema yang diperdebatkan karena landasan berfikir keduanya sama yaitu dalam kerangka sekularistik,” nilai Ismail kepada mediaumat.com, Selasa (10/6) melalui telepon selular.
Menurutnya, yang berbeda itu hanya dari segi retorika, gaya artikulasi, kemampuan mengekspresikan fikiran. Tetapi dari landasan berfikir, cara berfikir, termasuk dalam menatap satu masalah atau konsepsi ya sama-sama sekuler.
Dalam contoh Bhineka Tunggal Ika, misalnya. Jokowi mencontohkan Lurah Kristen di Lenteng Agung yang mayoritas Muslim. Prabowo mencontohkan mengangkat Ahok yang Kristen untuk wakil gubernur di provinsi mayoritas Muslim.
Satu hal yang tidak disebut, apakah mereka itu berani melakukan hal serupa untuk daerah yang Muslimnya minoritas. Misal, mengangkat gubernur Papua Muslim, Gubernur Bali Muslim. “Apakah mereka berani? Dugaan saya tidak berani. Kalau tidak berani maka ini menunjukkan ketidakadilan,” tegasnya.
Dan itulah yang sering terjadi selama ini. Jadi selalu dikatakan bahwa “kita ini harus memberikan hak secara sama kepada siapa pun yang memiliki kemampuan.” Tetapi itu untuk penduduk mayoritas Muslim, sehingga non Muslim bisa menjadi kepala daerah. Tetapi ketika di daerah minoritas Muslim, mereka mengatakan bahwa karena ini mayoritas non Muslim maka pemimpinnnya non Muslim. Jadi menggunakan standar ganda.
Dan moderatornya juga tidak perperanan sebagai host tetapi hanya sebagai pengatur lalu lintas pembicara saja. Sehingga ada hal-hal yang semestinya bisa dipertanyakan secara lebih tajam, tetapi tidak dipertanyakan, seperti misalnya soal pengangkatan kepala daerah. “Kalau misalnya, di daerah yang minoritas Muslim, apakah anda akan memilih kepala daerah yang Muslim?” kan bagus kalau moderator bertanya begitu.
“Jadi ini tidak menunjukkan apa pun kecuali menunjukkan ketidakpekaan terhadap persoalan yang sesungguhnya sedang terjadi di tengah masyarakat yaitu ketidakadilan kepada umat Islam!” tegasnya.
Keduanya juga tidak menyinggung syariat Islam karena keduanya tidak berangkat dari paradigma Islam. Karena itu tidak mungkin menyinggung syariat Islam. Sekadar menyebut sesuatu yang berdasar Islam pun tidak. “Seperti tadi itu, menganggkat pemimpin non Muslim bagaimana kedudukannya dalam Islam? Kan tidak disebut,” bebernya.
Juga sebenarnya mereka tidak menggunakan prinsip rasa keadilan. Karena mereka mencontohkan satu sisi, sementara dalam sisi berbeda tidak mereka bahas. Padahal itu yang sekarang ini sedang terjadi.
Menurut Ismail berharap mereka membawa perubahan ke arah yang lebih baik pun jauh panggang dari api. “Saya kira sudah sangat jelas dari jawaban mereka, yakni akan melanjutkan apa yang sudah berjalan selama ini. Kalau ada kekurangan, mereka akan perbaiki. Tetapi tidak ada nuansa perubahan. Kalau tidak ada nuansa perubahan, apalagi menyatakan perubahan, bagaimana kita bisa berharap akan ada perubahan?” tegasnya.
Ismail menegaskan, yang sebetulnya dibutuhkan umat atau bangsa di negeri ini adalah pemimpin yang amanah dan adil. Adil mulai dari cara berfikirnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah pemimpin yang mau tunduk kepada sistem yang berdasarkan dari sumber yang baik yaitu Allah SWT. Karena persoalan bangsa ini sudah sedemikian kompleks tetapi tidak diuraikan dalam debat semalam. (mediaumat.com, 10/6/2014)