Menanggapi keputusan Pemerintah Indonesia yang akhirnya memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia dari seharusnya berakhir pada 2021 menjadi lebih panjang lagi yakni tahun 2041 (kompas.com, 8/6), menurut anggota Lajnah Siyasiyah DPP HTI, Gus Uwik bahwa keputusan tersebut jelas menunjukkan pemerintah tunduk pada kepentingan Amerika.
“Kita semua tahu bahwa kontrak karya Freeport sangat merugikan pemerintah dan rakyat Indonesia. Tambang tembaga, emas dan ikutan yang lain dikeruk secara brutal oleh freeport. Jika secara total dikelola oleh negara, saya yakin keuntungannya akan bisa membuat sejahtera rakyat Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, penegasan bahwa pemerintah tunduk pada kepentingan asing adalah nampak pada alasan keputusan perpanjangan kontrak karya sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sukhyar, yang menyatakan untuk memberikan kepastian bagi investor asing mengingat dana investasi yang dibenamkan oleh Freeport besar yakni mencapai 15 miliar dollar AS.
“Alasan memberikan kepastian bagi investor asing sejatinya hanya alasan yang dibuat-buat. Sebenarnya adalah ketundukan pada kapitalis global. Jika logika yang dipakai pemerintah adalah untuk pelayanan rakyatnya tentu dengan berakhirnya kontrak karya freeport maka langsung dipersiapkan BUMN yang akan mengelolanya yang keuntungannya untuk kebutuhan dan kepentingan rakyat Indonesia. Logika pemerintah kan tidak seperti itu. Logikanya dagang dan tunduk pada kepentingan asing,” jelasnya.
Ditambah lagi, perpanjangan kontrak karya ini disahkan oleh pemerintah jauh sebelum berakhir pada tahun 2021 dan ditandatangani di masa-masa terakhir pemerintahan SBY jelas menimbulkan tanda tanya tersendiri. Hal ini bisa di baca ada semacam ‘balas budi’ kepada tuannya atas jasa-jasa yang telah diberikan selama ini.
“Keputusan yang terlihat dipaksakan ini jelas menggambarkan dan menegaskan bahwa pemerintahan SBY pro pada kapitalisme, tidak memihak pada kepentingan rakyat dan yang lebih dahsyat lagi menjerumuskan rakyat Indonesia pada jurang kesengsaraan. Kita masih ingat, Suharto memberikan freeport kepada AS sebagai kompensasi atas bantuannya menggulingkan Sukarno. Pertanyaannya adalah untuk apa rezim SBY memperpanjang kontrak karya freeport kalau bukan untuk kompensasi atas bantuan dan untuk menyenangkan tuannya?” terangnya.
Oleh karena itu, walau Freeport berjanji akan membangun pabrik pemurnian/smelter mineral emas di Gresik, Jawa Timur, dengan nilai investasi 2,3 miliar dollar AS. Juga akan menaikkan royalti dari yang berlaku saat ini cuma 1 persen menjadi 3,75 persen. Juga melakukan divestasi saham sebesar 30 persen kepada Pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, BUMN ataupun BUMD, sesuai aturan yang berlaku. Serta akan menjamin penggunaan tenaga kerja lokal dan produk dalam negeri hingga 100 persen dan juga setuju atas pengurangan areal wilayah pertambangan dari 212.950 hektar menjadi 125.000 ha, maka perlu dicatat bahwa apa yang dijanjikan tersebut adalah hal yang sangat sedikit dan tidak sebanding dengan keuntungan yang di dapat selama ini.
“Freeport jika dikelola langsung oleh negara jauh lebih menguntungkan untuk rakyat Indonesia. SDM, teknologi dan dana saya yakin bisa disiapkan. Tinggal kemauan dan logika pejabat. Melayani atau pedagang,” tegasnya.
Oleh karena itu, menurut keputusan perpanjangan kontrak karya freeport jelas dzolim dan bertentangan dengan syariat Islam. Sebab dalam Islam barang tambang terkategori kepemilikan umum yang tidak boleh atau haram hukumnya diprivatisasi.
“Jika pengelolaan tambang dan energi dilaksanakan sesuai tuntunan syariah maka akan sangat mungkin kesejahteraan rakyat terwujud. Sebab, semuanya akan dikelola oleh negara secara profesional yang keuntungannya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk penyediaan pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan yang lain secara gratis. Inilah pentingnya perjuangan penegakan syariah dalam bingkai Khilafah dalam konteks Indonesia. InsyaAllah akan membuat sejahtera rakyat,”jelasnya.
Simpang Siur
Perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, bukan sekedar isu ekonomi tapi juga politis. Tidak mengherankan, antar pejabat pemerintah sendiri saling bertentangan. Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung sendiri membantah pernyataan pejabat di Kementerian ESDM soal keputusan pemerintah memperpanjang kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia.
Seperti yang diberitakan Kompas online Senin (9/6) , Chairul menegaskan bahwa kewenangan memperpanjang kontrak Freeport hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan baru mendatang.
“Enggak, saya rasa itu keterangan tidak benar, bahwa kewenangan perpanjangan kontrak Freeport itu pada pemerintahan yang akan datang, karena aturannya menyatakan perpanjangan hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak itu berakhir,” ujar Chairul di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/6/2014).
Chairul menjelaskan, kontrak karya Freeport seharusnya selesai pada tahun 2021. Untuk memperpanjang kontrak, katanya, harus dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir, yakni tahun 2019. Oleh karena itu, Chairul memastikan keputusan kelanjutan kontrak karya Freeport akan menjadi wewenang penuh pemerintahan yang akan datang.
Pernyataan Chairul ini berbeda dengan penyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sukhyar pada Jumat (6/6/2014). Sukhyar mengakui perpanjangan kontrak Freeport memang baru bisa dilakukan pada tahun 2019. Namun, pemerintah akan menjamin kesepakatan perpanjangan kontrak itu dalam sebuah memorandum of understanding (MoU) terlebih dulu.
MoU itu akan diteken sebelum masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini berakhir. Keputusan itu, menurut Sukhyar, diambil untuk memberikan kepastian bagi investor asing mengingat dana investasi yang dibenamkan Freeport mencapai 15 miliar dollar AS.
Kuatnya tekanan Amerika, lepas dari kapan waktunya ditandatangani, dipastikan perpanjangan kontrak karya Freeportnya akan dilaksanakan. Apalagi, baik rezim sekarang ataupun capres yang akan datang, tidak ada yang secara terbuka dan tegas menolak perpanjangan Freeport ini.