Khilafah Adalah Harapan Baru Keluarga Indonesia
Oleh: Ustadzah Ratu Erma Rahmayanti (Mas’ulah Ammah MHTI)
Pengantar
Dalam peringatan Harganas kali ini, pemerintah masih tetap mengusung tema yang sama dari sebelumnya. Yaitu keluarga bahagia dan sejahtera adalah keluarga kecil cukup dengan dua anak. Hal ini seolah memberi harapan baru untuk kehidupan yang menjanjikan berbagai kebaikan. Kemiskinan akan teratasi dengan jumlah keluarga yang kecil, tidak akan banyak konsumsi yang dikeluarkan. Lebih mudah memperhatikan dan mendidik anak dalam jumlah sedikit. Dan nampaknya isu pengendalian jumlah penduduk, kesehatan reproduksi, pernikahan usia dini, dan penggunaan kontrasepsi masih menjadi pembahasan utama.Padahal kesejahteraan keluarga tidak ditentukan oleh sedikit banyaknya jumlah keluarga.
Agenda ini diiringi dengan pengarusan aktifnya perempuan sebagai bagian dari keluarga dalam pemberdayaan ekonomi. Keterlibatan perempuan dalam ekonomi diyakini akan membantu perbaikan ekonomi keluarga. Bahkan slogan dunia menempatkan perempuan sebagai “The Economic Driver”, pengendali ekonomi bagi bangsa. Bahkan jika perempuan aktif dalam pengambilan kebijakan publik, maka kehidupan perempuan dan keluarga akan menjadi baik.
Pertanyaannya, setelah sekian lama program KB digencarkan, dan pemberdayaan ekonomi perempuan dimasifkan, apakah kondisi keluarga termasuk didalamnya perempuan dan anak-anak sudah sejahtera? Benarkah harapan perbaikan kehidupan itu bertumpu pada pergantian pemimpin dan juga keaktifan perempuan dalam kebijakan politik? Jawabannya sudah ditunjukkan oleh realita yang terang benderang, yaitu keluarga Indonesia semakin jauh dari kesejahteraan meski berbagai program dan kebijakan telah digulirkan.
Keinginan adanya perubahan hidup yang baik sudah lama bergaung. Kesadaran untuk mengubah kondisi negeri ini terus meningkat. Namun ketika perubahan yang hakiki itu belum tergambar di benak pemimpin dan rakyat, maka perubahan yang dikejar pastilah perubahan semu. Padahal Syari’ah Islam yang telah Allah SWT turunkan dengan diutusnya Rasulullah SAW – Nabi akhir zaman – adalah petunjuk bagi pengaturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Kata sejahtera pun sudah sangat tergambar jelas dalam Islam berikut mekanisme untuk mewujudkannya. Sudah seharusnya negeri ini segera mengambil Syari’ah Islam sebagai pedomannya.
Demokrasi Liberal Bukan Harapan Keluarga Indonesia
Hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian ekonomi sudah lama dirasakan keluarga Indonesia. Tak sedikit pula dari mereka yang berputus asa. Betapa tidak, di tengah terus menaiknya harga kebutuhan pokok, mereka juga harus membayar mahal berbagai layanan umum yang juga menjadi kebutuhan dasar manusia.
Ketakutan ini ditambah dengan merebaknya kejahatan seksual pada anak di berbagai kota yang menjadi ancaman baru. Kejahatan tersebut terjadi saat orangtua tidak di rumah, karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan anak-anak. Bahkan terjadi di tempat orangtua mempercayakan anak-anak mereka yaitu sekolah dan keluarga. Ancaman ini tak peduli melihat siapa, apakah keluarga miskin ataupun berada, semuanya dicengkeram ketakutan.
Kondisi ini lebih menguatkan fakta bahwa keluarga Indonesia masih jauh dari kehidupan aman, bahagia dan sejahtera. Benarlah firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 112
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.
Allah tegaskan bahwa ketakutan dan kelaparan itu karena sebab apa yang diperbuat oleh manusia, yaitu kufur terhadap nikmat Allah. Kekufuran terbesar adalah ketika pemimpin Indonesia memilih aturan yang berasal dari orang-orang kafir yaitu sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis untuk mengurusi rakyatnya. Pemimpin ini telah menolak aturan yang Allah tetapkan dalam masalah politik, ekonomi dan sosial budaya. Tak terkecuali sejak masa orde lama, disusul orde baru, reformasi dan hingga sekarang, aturan negara ini tak pernah berubah dari menjalankan praktek politik demokrasi sekuler dan ekonomi liberal.
Kekuatan individu tak mampu membendung kerusakan yang diakibatkan oleh sistem. Dan kelemahan individu pun tak bisa dibantu oleh sistem yang buruk. Inilah yang terjadi pada rakyat dan keluarga Indonesia, mereka harus berjuang sendiri untuk menyelesaikan masalah akibat dari penerapan sistem kufur ini. Disisi lain, penguasa dalam demokrasi fokus pada penjagaan kepentingan diri dan kelompoknya serta mempertahankan kekuasaannya.
Lihat saja kelompok elit dan penguasa saat ini tidak berbeda dengan masa sebelumnya, hanya peduli pada apa yang membuat mereka senang, kelas mapan yang cenderung self-centric, konsumeristik, pro status-quo dan enggan direpotkan dengan masalah-masalah sosial. Begitulah yang ditunjukkan oleh partai politik dan pemimpin dalam demokrasi, brand dan slogannya peduli rakyat kecil, nasionalis, pro green-life, tapi perilakunya tidak menunjukkan bahwa mereka peduli, nasionalis dan pro green. Tentu saja hal ini bukan perkara aneh, karena kelompok elit dan penguasa ini lahir dari proses politik ekonomi yang meniscayakan adanya kesenjangan, yaitu aturan dan nilai yang ada dalam sistem demokrasi itu sendiri.
Gagalnya pemerintah demokrasi liberal dalam menyelesaikan problem yang dihadapi keluarga, terletak pada perumusan akar masalah. Mengacu pada ide kapitalis bahwa pemerataan kekayaan bisa dipenuhi dengan memperbesar volume produksi barang dan jasa dan juga dengan mengurangi jumlah penduduk. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah penduduk dunia selalu bertambah secara geometris sementara barang dan jasa tumbuh secara arismatik. Akibatnya akan selalu ada kekurangan dalam barang dan jasa. Oleh karena itu isu pembatasan jumlah penduduk dengan program KB-nya seolah menjadi solusi sakti atas berbagai persoalan. Tentu saja asumsi ini sangat bertentangan dengan Islam. Karena Allah SWT berfirman bahwa Dia lah yang akan menjamin rezeki penduduk bumi jika mereka melakukan pengaturan urusan hidupnya sesuai dengan Syari’ah Islam.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami akan siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al- A’raaf, 96 ).
Pemerintahan demokrasi menganut liberalisasi ekonomi. Distribusi kekayaan terletak pada harga. Siapa yang mempunyai uang untuk membeli barang dan jasa, dia lah yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa memperhatikan daya beli seluruh rakyatnya. Tidak ada jaminan bagi setiap individu untuk mencukupi kebutuhannya. Ekonomi liberal membebaskan kepemilikan, tidak ada klasifikasi pada kekayaan, mana barang yang menjadi milik individu, milik negara dan milik rakyat. Kekayaan yang seharusnya milik rakyat diprivitasi dan keuntungannya masuk ke kantong individu pengusaha dan penguasa. Negara menjual harta milik rakyat kepada perusahaan yang notabene milik individu. Begitu juga harta milik individu dipaksa oleh negara untuk dijual kepada perusahaan. Ini terjadi pada kasus sengketa lahan yang akan digunakan untuk bisnis food estate yang dimodali pengusaha. Tanah-tanah milik individu rakyat dan juga tanah ulayat yang hakikatnya milik bersama rakyat, dijual oleh aparat pemerintah tanpa sepengetahuan rakyat. Jelas ini adalah kedzaliman. Akibatnya yang menjadi tuan tanah adalah korporasi dan rakyat menjadi petani miskin.
Seluruh aset bangsa ini telah dikapling oleh para elit kapitalis, sehingga negara tidak punya sumber pemasukan tetap, dan untuk pembangunan sarana umum, negara bergantung kepada pinjaman luar negeri yang notabene adalah lembaga rentenir global. Dari dana hutang itulah negara memberi kredit kepada perempuan sebagai modal usaha. Program pemberdayaan ekonomi perempuan melalui pemberian modal bagi usaha kecil dan menengah, sejatinya tidak akan mengentaskan kemiskinan perempuan dan keluarga. Industri berskala kecil dengan pasar terbatas tentu tidak akan bisa bersaing dengan industri skala besar yang dimiliki para kapitalis dengan pasar global. Ibarat bermain tinju, semuanya bisa masuk arena tanpa memperhatikan kelas-kelasnya, apakah kelas berat, ringan ataupun kelas terbang. Semua dipersilakan bermain dan bertanding secara langsung. Maka sangat mudah dipahami siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan pertandingan.
Tak hanya diserang oleh liberalisasi ekonomi, Indonesia pun diserbu dengan liberalisasi budaya. Pergaulan lawan jenis yang bebas, segala perilaku dan pemikiran yang bertentangan dengan Islam dibiarkan terjadi begitu saja. Upaya melindungi generasi bangsa tidak nampak sungguh-sungguh dijalankan negara. Bahkan terasa sulit hanya untuk menutup tempat lokalisasi free seks. Rakyat yang sudah terdoktrin dengan ide HAM, menjadi penghalang kebijakan pemimpin. Muslim dibuat bermusuhan dengan muslim, semua itu akibat pemikiran liberal yang dibiarkan berkembang. Lagi-lagi penutupan tempat maksiat itu terhalang alasan kondisi kemiskinan warga.
Sudah terlalu banyak penderitaan yang dirasakan perempuan, keluarga dan anak-anak akibat dari kesalahan tatakelola yang dilakukan oleh negara demokrasi liberal. Fakta-fakta buruk menjadi bukti kegagalan sistem ini.
Hakikat Keluarga Bahagia dan Sejahtera
Secara umum Sejahtera diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan mendasar sebagai individu masyarakat, inilah yang diwajibkan Islam untuk dipenuhi oleh negara. Terpenuhinya semua kebutuhan itu akan menimbulkan perasaan bahagia. Kebahagiaan adalah perasaan hati yang penuh kesenangan menerima apapun yang diperoleh. Dari makna tersebut maka kebahagiaan seseorang terkait erat dengan cara pandangnya tentang kehidupan. Dengan demikian seorang muslim yang memiliki pandangan bahwa hidup di dunia untuk ibadah kepada Allah semata maka dia akan merasakan kebahagiaan tatkala bisa meraih nilai ibadah. Jadi, arti kebahagiaan baginya bukanlah semata teraihnya nilai materi, tapi lebih mulia dari itu yaitu merasa ridlo pada ketentuan Allah.
Pandangan itu tersirat dalam firman Allah SWT:
إِنَّ صَلاَتِي وَ نُسُقِي وَ مَحْيَايَ وَ مَمَا تِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Sesungguhnya Shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk allah, Tuhan semesta alam” TQS.Al-An’aam[6]:162.
Seorang muslim akan berupaya sekuat tenaga agar diri dan keluarganya menjadi hamba-hamba Allah yang taat yang nanti di akhirat kelak layak mendapat surga Nya. Jumlah anak yang banyak tidak akan mendatangkan kekhawatiran akan kemiskinan, malah sebaliknya akan menjadi peluang untuk mendapat kebaikan yang terus mengalir sekalipun dirinya sudah meninggalkan dunia yang fana ini, yaitu ketika dia mampu menghantarkan anak-anaknya menjadi sholih dan sholihah yang senantiasa mendo’akannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Jika meninggal anak Adam, maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara yaitu: shodaqoh jaariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang senantiasa mendoakannya”.
Kebahagiaan keluarga terdapat saat mereka menjalankan kewajiban masing-masing dalam rangka memenuhi hak mereka satu sama lain. Apa saja yang menjadi kewajiban suami terhadap istri, tidak lain adalah hak istri yang berhak ia dapatkan dari suaminya. Demikian sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban istri adalah hak suami yang berhak ia dapatkan dari istrinya. Begitupun orangtua – ibu dan ayah – kepada anak-anak mereka, dan sebaliknya anak-anak kepada orangtua. Saat semua kewajiban terlaksana dan semua hak terpenuhi, saat itulah kebahagiaan dirasakan oleh keluarga. Demikian pula saat pemerintah melaksanakan kewajiban terhadap rakyatnya dan rakyat memenuhi hak penguasa, saat itulah Negara ini akan merasakan kesejahteraan termasuk didalamnya keluarga.
Islam tidak menganggap jumlah penduduk yang besar sebagai ancaman, malah sebaliknya bisa merupakan potensi besar untuk meraih kemulian sebagai umat terbaik (khoiru ummah). Banyaknya penduduk adalah kekayaan tak ternilai jika jumlah yang banyak ini disertai dengan ketakwaan dan kapabilitas yang mumpuni untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Islam membutuhkan jumlah umat yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berdakwah dan berjihad di jalan-Nya untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, melindungi kaum muslimin –dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka. Sesungguhnya banyaknya keturunan (kaum muslimin) termasuk sebab kekuatan, kemuliaan, keperkasaan dan kewibawaan umat Islam di hadapan umat-umat lain. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa kemenangan bangsa-bangsa besar salah satunya didukung oleh jumlah penduduk yang besar pula.
Slogan-slogan pemerintah yang mendukung program Keluarga Berencana juga bertentangan dengan fakta kehidupan. Allah SWT lah yang mengatur kelahiran, kematian, dan rizki hamban-hambaNya. Tidak setiap pasangan yang menikah diberi keturunan, fakta yang tidak bisa dibantah bahwa ada pasangan suami istri yang sudah menikah bertahun-tahun belum mempunyai anak. Banyak keluarga yang mempunyai anak banyak, hampir semua anaknya sukses dalam pendidikan dan pekerjaan padahal ayah mereka sudah meninggal lama. Demikian juga dengan kebahagiaan sebuah keluarga bukan ditentukan oleh usia saat mereka menikah. Fakta menunjukkan pasangan suami istri yang konflik dan diakhiri perceraian adalah mereka yang menikah pada usia matang. Jadi, sekali lagi besar kecilnya jumlah anggota keluarga bukan penentu kebahagiaan dan kesejahteraan.
Harapan Baru Keluarga Ada Dalam Khilafah
Syari’ah Islam yang diterapkan Khilafah akanmenjamin terwujudnya kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat sekalipun jumlah penduduk terus bertambah. Secara ‘itiqodi jelas sekali bahwa setiap yang hidup pasti akan mendapatkan bagian rizqinya, sebagaimana firman Allah SWT dalam TQS.Ar-rum[30]: 40:
“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki”, juga TQS.Hud[11]:6: “Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya”.
Jaminan Islam tersebut berupa terpenuhinya kebutuhan pokok setiap orang baik pangan, sandang dan papan. Mekanismenya adalah: Pertama, memerintahkan setiap kepala keluarga bekerja (QS 62: 10) demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu (QS 2: 233):
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ …
“ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf “
Gabungan kemaslahatan di dunia dan pahala di akhirat itu menjadi dorongan besar untuk bekerja. Dengan keyakinan bahwa bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya adalah kewajiban, maka seorang kepala keluarga (suami/bapak) akan berjuang sekeras tenaga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya berapapun banyaknya anak.
Kedua, mewajibkan negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Setelah memberikan dorongan moril untuk bekerja berikutnya Islam mewajibkan Negara untuk menyediakan pekerjaan bagi para kepala keluarga dalam rangka menunaikan kewajiban nafkah bagi keluarganya. Perpaduan mekanisme ini akan meningkatkan produktivitas kerja. Dalam sistem Islam tidak akan dibiarkan orang tidak bekerja karena alasan malas atau disebabkan kurangnya lapangan pekerjaan.
Ketiga, mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu (QS 2: 233).
وَعَلَي الْوَارِثِ مِثْلُ ذَالِكَ …
“ Dan orang yang memberi waris pun berkewajiban demikian (menafkahi)…”
Keempat, jika ada orang yang tidak mampu, sementara kerabat dan ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu menanggung nafkahnya, maka nafkahnya menjadi kewajiban negara (Baitul Mal). Dalam hal ini, negara bisa menggunakan harta milik negara, harta milik umum, juga harta zakat. Apabila di baitul mal tidak terdapat harta sama sekali maka kewajiban tersebut berlaku atas seluruh kaum muslimin. Bahkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menyebutkan bahwa kelalaian penduduk suatu daerah dari menolong tetangganya yang kelaparan akan menyebabkan terlepasnya pertolongan Allah dari mereka. Jika seluruh upaya yang dilakukan belum bisa mencukupi kebutuhan maka negara bisa menetapkan kewajiban pajak bagi orang yang kaya.
Islam juga menetapkan kebutuhan pokok berupa pelayanan yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ketiganya juga harus dijamin oleh negara. Pemenuhan atas ketiga pelayanan itu (pendidikan, kesehatan dan keamanan) bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali langsung menjadi kewajiban negara.
Memberikan jaminan atas semua itu dan juga semua pelayanan kepada rakyat, tentu membutuhkan dana yang besar. Untuk itu syariah telah mengatur pengelolaan keuangan negara (APBN) secara rinci sehingga harta kekayaan milik umum dan harta kekayaan Negara akan dikelola dengan benar sesuai syariah dan akan digunakan untuk mensejahterakan seluruh warga negara,muslim maupun non-muslim.
Dalam bidang sosial, Khilafah akan memastikan bahwa peran dan fungsi keluarga berjalan sebagaimana ketentuan. Ibu akan menjadi pengatur rumah dan pendidik anak-anak. Penjagaan dan perlindungan anak ditugaskan kepada kedua orangtua bapak dan ibu. Dan seorang istri akan menjaga harta suami dan mengatur pembelanjaannya dengan cermat. Istri dan anak-anak perempuan akan menjaga kehormatan mereka dengan menutup aurat dalam kehidupan khusus (rumah) maupun umum (public). Dan untuk menjaga kemulian perempuan dan keluarga, Islam mengharamkan khalwat Antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Mengharamkan ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan dalam kehidupan khusus dan umum (pendidikan, dsb). Islam menetapkan bahwa ayah adalah kepada rumah tangga. Ia bertanggungjawab penuh terhadap keluarganya. Khilafah akan memberi sanksi pada keluarga yang tidak menjalankan fungsinya. Berbagai bentuk pelalaian hak keluarga tidak akan dibiarkan.
Sistem Islam ini bukanlah khayalan tanpa kenyataan. Fakta sejarah kejayaan khilafah Islam telah membuktikan bahwa Sistem Islam benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan individu rakyatnya. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Berikutnya pada masaKhalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59). Pada masa itu tidak ditemukan orang miskin yang berhak untuk menerima harta zakat. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan. Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Penutup
Upaya pembatasan kelahiran senyatanya tidaklah menjamin tercapainya kesejahteraan kehidupan manusia, malah sarat dengan asumsi-asumsi yang bisa memalingkan kaum muslimin dari keyakinan akan ke- Mahakuasaan Allah dalam memberikan rizki serta memungkinkan terjebak melakukan perbuatan yang diharamkan Allah SWT. Permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia bukan disebabkan karena tingginya pertambahan jumlah penduduk, tapi karena diterapkannya sistem yang salah yaitu kapitalisme-liberalisme. Hanya aturan Islam yang diterapkan dalam wadah khilafah yang akan menjamin kesejahteraan hidup individu, keluarga, dan masyarakat. Karenanya, yang harus digencarkan bukanlah upaya pembatasan kelahiran tapi komitmen untuk terus berjuang mengembalikan sistem islam tegak kembali dalam kehidupan. Wallahu A’lam []