Kerusakan Institusi Keluarga, Buah Pahit Demokrasi
Dilema Penutupan Dolly
Lokalisasi Dolly dipastikan ditutup tanggal 18 juni ini. Walikota Surabaya Tri Rismaharini atau yang biasa dipanggil bu Risma mengaku penutupan lokalisasi Dolly merupakan bentuk pertanggungjawabannya sebagai umara atau pemimpin terhadap kesejahteraan warganya.
Warga Dolly tetap tidak terima sekalipun diiming imingi akan diberi kompensasi. Alasannya klise, tawaran pemerintah dianggap sebagai pembodohan dan tidak logis. (Republika.co.id, 26/5/ 2014). Aspirasi ini langsung diserap oleh komnas HAM. Komisioner komnas HAM Dianto Bachriadi menyatakan bahwa sepanjang Pemerintah Kota Surabaya belum memberikan jaminan solusi masa depan pekerjaan bagi PSK, warga, dan mucikari pasca-penutupan lokalisasi, maka pemerintah telah melanggar HAM karena ada unsur pemaksaan kehendak lewat instrumen kebijakan. (Tempo.co, 12/6/2014).
Penutupan Gang Dolly, yang di dalamnya telah jelas penuh aktivitas maksiat kepada Allah SWT, oleh demokrasi menjadi dilema. Padahal sudah sangat jelas fakta bagaimana rusaknya keluarga akibat lokalisasi semacam ini. Perselingkuhan, perceraian, tertular virus HIV/AIDS, nafkah keluarga dari rizki yang haram, dan lain lain. Anak anak setiap hari melihat pandangan penuh syahwat, perkataan kotor dan tidak senonoh, perempuan perempuan berpakaian seksi dan seronok dan sebagainya. Anak anak kemudian akan meniru tingkah laku para pelaku zina ini, bahkan menikmatinya. Patut dicatat, di sebuah stasiun TV swasta beberapa waktu lalu, bu Risma menyatakan keprihatinannya karena ada seorang PSK Dolly berusia 60 tahun yang ternyata punya pelanggan anak anak SD.
Tak cukupkah hal ini menggelitik hati sanubari juga akal pikiran pemerintah untuk secepatnya menutup tak hanya Dolly tapi juga semua lokalisasi di seluruh pelosok negeri ini? Akankah atas nama demokrasi, dan juga atas nama hak asasi manusia, keluarga keluarga muslim dibiarkan menjadi korban?. Akankah kita biarkan generasi generasi muda Islam dirusak, jauh sebelum mereka dewasa. Apa yang akan terjadi dengan nasib bangsa dan negeri ini ke depan?
Kerusakan Institusi Keluarga, Buah Pahit Demokrasi
Keluarga adalah tempat pertama bagi setiap manusia memahami makna hidup. Keluarga pula yang menjadi tempat pembinaan generasi calon pemimpin umat. Kesuksesan keluarga membina generasi pemimpin tentu akan membawa pengaruh pada pembentukan peradaban dunia. Sebab, dalam keluargalah sang calon pembangun peradaban (yaitu anak-anak) mendapatkan pendidikan pertamanya.
Sayangnya, ancaman kerusakan keluarga begitu nyata di depan mata kita saat ini. Begitu banyak masalah membelit keluarga. Apa penyebabnya?
Rusaknya keluarga sebenarnya bukan sekedar karena persoalan individual anggota keluarga. Rusaknya keluarga juga bukan semata-mata karena anggota keluarga tidak memahami dan menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Contohnya, peran ibu (sebagai pendidik pertama anak-anak) yang sekarang ini semakin hilang. Tentu bukan semata-mata karena ibu tidak memahami adanya kewajiban mendidik anak-anaknya. Harus diakui, banyak ibu bekerja hingga melalaikan kewajiban mendidik anak karena keluarga terbelit kemiskinan.
Demikian pula dengan banyaknya anak yang bermasalah. Tentu bukan karena semata-mata orang tuanya yang tidak menjaga dan melindungi anak-anaknya di rumah. Namun, kondisi sistemlah (kehidupan di luar rumahnya) yang mengancam dan memaksa anak-anak terjerumus dalam berbagai persoalan sosial.
Dengan demikian, apa sebenarnya penyebab utama yang mengakibatkan berbagai masalah membelit keluarga?
Jika ditelaah secara mendalam, setidaknya ada dua masalah amat menonjol yang menghimpit keluarga dan memicu munculnya beragam persoalan dalam keluarga. Dua persoalan tersebut adalah kemiskinan struktural dan rusaknya tatanan sosial.
Kemiskinan struktural dan rusaknya tatanan sosial tentu tidak lepas dari sistem (tata kelola) negara. Dan senyatanya, negara saat ini dikelola dengan tatanan demokrasi, sebuah tatanan bernegara yang berasal dari Barat. Demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, baik kebebasan ekonomi, kebebasan berperilaku dan berpendapat, hingga kebebasan berkeyakinan. Nilai-nilai inilah yang memberikan imbas secara langsung pada dua kondisi tersebut hingga menyeret keluarga di titik kerusakan yang paling parah. Kerusakan institusi keluarga adalah buah pahit diterapkannya system demokrasi.
Demikianlah, problem keluarga sejatinya adalah problem sistemik bukan sekedar individual keluarga. Solusinya pun harus berupa solusi sistemik, bukan solusi individual.
Demokrasi Memiskinkan Keluarga
Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan (liberalisasi ekonomi) pada faktanya telah melahirkan kemiskinan sistematik. Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam adalah salah satunya. Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata tak bisa dirasakan kemanfaatannya oleh rakyat sepenuhnya. Sumber daya alam (SDA) yang sejatinya adalah bentuk kepemilikan umum ternyata telah beralih kepada negara yang berkolaborasi dengan para pengusaha baik asing maupun lokal. Padahal sejatinya, sumber daya alam adalah milik umum yang pengelolaannya seharusnya dapat dimanfaatkan bagi seluruh rakyat Indonesia. .
Akibatnya rakyat hidup serba kekurangan. Kalaupun dapat hidup hanya sekedar menjangkau kebutuhan pokoknya saja. Inilah kemiskinan yang diciptakan oleh demokrasi dengan liberalisasi ekonominya.
Bukan hanya kepemilikan umum (sumber daya alam) yang diliberalisasi, demokrasi juga melahirkan liberalisasi layanan umum. Negara seharusnya menguasai dan bertanggung jawab atas layanan umum warga negaranya. Namun demokrasi telah mengalihkan fungsi negara tersebut kepada korporasi (swasta). Tentu saja, korporasi tidak mungkin melakukan pelayanan karena mereka pasti mengejar keuntungan. Akhirnya, layanan umum pun dibisniskan kepada rakyat. Rakyat harus membayar mahal untuk menikmati infrastruktur yang berkualitas. Untuk menggunakan jalan, jasa transportasi, kesehatan yang memadai bahkan sekolah yang berkualitas, rakyat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Kondisi ini tentu semakin membuat miskin keluarga yang sudah dibuat miskin melalui liberalisasi SDA.
Kehancuran Keluarga Akibat Kemiskinan
Kemiskinan yang menghimpit keluarga tentu berimbas luas pada pemenuhan berbagai kebutuhan keluarga. Betapa banyak keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan hingga kelaparan dan kurang gizi.Sulit mendapatan rumah layak huni, hingga harus rela hidup berdesakan di rumah sempit hingga memungkinkan munculnya berbagai kejahatan seksual terhadap anak di rumahnya sendiri.
Sulit memperoleh pendidikan yang memadai. Karena sekolah-sekolah swasta yang berkualitas identik dengan biaya mahal maka rakyat terpaksa mencukupkan diri dengan pendidikan gratis yang diselenggarakan negara (sekolah negeri) dengan resiko rendahnya kualitas pendidikan dan kerawanan sosial yang selalu membayang-bayangi dunia pendidikan sekuler.
Keluarga pun harus menanggung rasa was-was yang berkepanjangan karena keamanan tak bisa dimiliki oleh keluarga miskin. Hanya orang kaya yang bisa membangun sistem keamanan serba canggih, mampu membayar satpam, hingga tinggal dalam lingkungan nyaman dan aman. Sementara sebagian besar keluarga di Indonesia harus mencukupkan diri tinggal berdesak-desakan yang rawan kejahatan bahkan bencana (seperti kebakaran, kebanjiran dan sebagainya).
Kemiskinan juga mengikis keharmonisan keluarga. Ketika kemiskinan akhirnya membawa isteri/ibu bekerja dengan meninggalkan rumah dan anak-anak, terjadilah disfungsi anggota keluarga. Ibu gagal membina hubungan yang harmonis dengan seluruh anggota keluarga. Tingkat stress pun meningkat. Benih-benih perpecahan antar anggota keluarga pun tak bisa dihindari lagi. Perceraian dan perselingkuhan selalu membayang-bayangi. Dan tentu saja, anak-anak yang akan menjadi korbannya.
Demokrasi Merusak Tatanan Sosial Keluarga
Di samping melahirkan kemiskinan, demokrasi juga merusak tatanan sosial. Asas demokrasi adalah sekulerisme (memisahkan urusan agama dengan kehidupan). Ideologi ini pada hakikatnya telah menghilangkan hak Allah SWT untuk menetapkan halal haram dan selanjutnya menyerahkan kepada hawa nafsu manusia. Dengan alasan bukan negara agama (Islam), negara demokrasi berani mencampakkan hukum-hukum Islam. Kehidupan sosial yang dilahirkan demokrasi benar-benar rusak. Perzinaan ada di mana-mana. Kejahatan seksual pun makin berkembang. Pornoaksi dan pornografi menjamur merusak suasana iman yang seharusnya ada pada keluarga dan masyarakat.
Demokrasi juga melahirkan pandangan permisif (serba boleh). Hal itu dikarenakan salah satu pilar demokrasi adalah menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Dengan pilar inilah pandangan permisif tersebut berkembang. Batas-batas agama menjadi tidak berarti jika berbenturan dengan kepentingan pihak lain. Yang halal bisa menjadi haram, sebaliknya yang haram bisa menjadi halal. Akibatnya, sesuatu yang dipandang kejahatan oleh syariah dianggap biasa dan wajar dalam demokrasi. Seperti, seks bebas, perilaku gay, kebanci-bancian dan sejenisnya.
Di sisi lain, ketaatan pada syariah dianggap sebagai sikap fanatik atau radikal yang harus dimusuhi. Sikap amar makruf nahi munkar dianggap sebagai mencampuri urusan orang lain dan bertentangan dengan HAM. Sebaliknya, yang berkembang jusru amar munkar nahi makruf (mengajak kepada yang munkar dan mencegah yang baik). Pada kondisi tersebut, keluarga tentu terombang-ambing. Mereka tidak memiliki kepastian dalam hidup. Keluarga pun akan kesulitan mengamalkan yang benar karena standar kebenaran telah pudar.
Bagaimana Menyelamatkan Keluarga?
Di tengah keprihatinan terhadap kondisi keluarga, muncul di tengah-tengah umat berbagai upaya penyelamatan. Meski terlihat peduli pada kondisi keluarga, namun ternyata upaya tersebut tidak menyentuh akar persoalan. Apa yang selama ini dilakukan negara untuk menyelamatkan keluarga yang rusak pun ibarat jauh api dari panggang, yang diharapkan jauh dari realitanya.
Salah satu programnya adalah meningkatkan kegiatan pemberdayaan keluarga, melalui peningkatan pendapatan ekonomi keluarga. Diharapkan hal ini akan mendorong upaya kemandirian keluarga dan meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Sepintas nampak manis dan berpihak kepada keluarga. Namun, jika ditelaah lebih mendalam program ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Bagaimana mungkin keluarga akan berdaya jika sistem ekonominya masih liberal. Kalaupun sepintas ekonomi keluarga satu tingkat lebih baik dari kondisi sebelumnya, bagiamana dengan kerusakan keluarga di sisi lainnya? Sungguh, upaya parsial dan tambah sulam yang tidak menyentuh akar persoalan.
Jadi apa yang seharusnya dilakukan? Tak lain adalah mencabut dan menghancurkan biang kerusakan keluarga yaitu demokrasi dan kembali kepada Islam
Demokrasi Bertentangan dengan Islam
Secara i’tiqodi (keyakinan), setiap muslim wajib terikat dengan hukum Allah SWT, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam tata kelola negara. Allah SWT berfirman :
“Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka terimalah/laksankanlah, dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”(TQS. Al-Hasyr [59] : 7)
Ayat ini memerintahkan setiap muslim untuk menjalankan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya dalam seluruh aspek kehidupan.
Demokrasi yang menjauhkan keluarga dari ajaran Islam dan menjadikan tata kelola negara bertentangan dengan ajaran Islam tentu tidak sejalan dengan perintah Allah SWT tersebut.Disamping itu, demokrasi juga terbukti merusak dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, manusia manapun berhak atas kehidupan keluarga yang harmonis dan sejahtera. Namun, demokrasi telah merenggut hak tersebut. Dengan demikian, tentu tak ada alasan lagi untuk mempertahankan demokrasi. Sistem buatan manusia ini terbukti telah gagal karena menjadi biang rusaknya institusi keluarga.
Sebaliknya, kerusakankeluarga hanya bisa diselesaikan dengan tata kelola negara yang sesuai dengan fitrah manusia. Itulah sistem yang berasal dari Allah SWT Sang Pencipta manusia. Islam telah menetapkan sistem tersebut sebagai sistem Khilafah yang telah terbukti mampu mewujudkan keluarga yang harmonis dan sejahtera. []