Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
أَيَّامًۭا مَّعْدُودَٰتٍۢ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًۭا فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 184).
Dalam ayat sebelumnya Allah Swt memerintahkan kaum Mukmin untuk berpuasa. Diberitakan pula bahwa ibadah tersebut juga pernah diperintahkan kepada umat-umat sebelum mereka. Kesamaan tersebut hanya dari segi kewajibannya. Bukan dari jumlah hari dan penetapan bulannya. Di akhir ayat tersebut kemudian disebutkan, dengan melaksanakan ibadah puasa itu diharapkan dapat membuat mereka menjadi orang-orang yang bertakwa.
Kemudian dalam ayat ini diterangkan beberapa hal tentang pelaksanaan puasa, termasuk ketentuan khusus yang berlaku bagi orang-orang yang mendapatkan udzur.
Tafsir Ayat
Allah Swt berfirman: Ayyâm[an] ma’dûdât[in] ([yaitu] dalam beberapa hari yang tertentu). Kata ayyâm[an] merupakan bentuk jamak dari kata yawm yang berarti hari. Dalam ayat ini, kata tersebut berkedudukan sebagai zharf zamân (keterangan waktu) dari kata kerja yang dihilangkan, yang diperkirakan berbunyi: shûmû ayyâm[an] (berpuasalah beberapa hari).[1] Sedangkan ma’dûdât merupakan sifat dari kata ayyâm.[2]
Frasa ayyâm[an] ma’dûdât[in] dapat diartikan sebagai hari-hari tertentu dengan jumlah yang telah diketahui. Dari bentuk jamak yang digunakan –yakni jumû’ al-qillah– dapat pula dipahami sebagai isyarat yang menunjukkan sedikitnya hari yang diperintahkan untuk berpuasa itu.[3] Dikatakan al-Zamakhsyari, pada asalnya harta yang sedikit dapat dihitung dan disimpan.[4] Kata ma’dûât dengan makna qalîlah (sedikit) terdapat pula dalam firman-Nya:
وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍۭ بَخْسٍۢ دَرَٰهِمَ مَعْدُودَةٍۢ
Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja (QS Yusuf [12]: 20).
Dalam konteks ayat ini, ayyâm[an] ma’dûdât menunjuk bulan Ramadhan. Demikian menurut kebanyakan mufassir, seperti Ibnu Abbas, al-Hasan, Abu Muslim.[5] Juga al-Thabari, al-Qurthubi, al-Syaukani, dan lain-lain.[6] Kesimpulan tersebut dikuatkan dengan ayat berikutnya yang menegaskan bahwa siapa saja yang menjumpai bulan Ramadhan hendaklah dia berpuasa. Ramadhan memang beberapa hari, yakni dua puluh sembilan atau tiga puluh hari. Jika dibandingkan dengan setahun yang berjumlah 354 hari, jumlah tersebut tentu sedikit.
Kemudian Allah Swt berfirman: Faman kâna minkum marîdha[an] aw ‘alâ safar[in] (maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka]). Frasa ini menjelaskan ketentuan orang yang mengalami dua keadaan, yakni marîdh: (sakit) dan a’lâ safar[in] (dalam perjalanan).
Menurut jumhur ulama, sakit yang diperbolehkan untuk berbuka adalah sakit yang parah, yang mengantarkan pada bahaya jiwa, atau menambah parah penyakitnya, atau dikhawatirkan tertunda kesembuhannya. Demikian juga dengan perjalanan, yang diperbolehkan berbuka adalah perjalanan yang panjang, yang pada umumnya mengantarkan kepada masyaqqah (kesulitan dan kepayahan).[7]
Di samping faktor jarak, perjalanan yang diberikan rukhshah adalah perjalanan dalam rangka menjalankan ketaatan, seperti haji, jihad, menyambung silaturrahim, dan mencari penghidupan yang pokok. Menurut al-Qurthubi, tidak ada perbedaan di antara ulama tentang hal ini. Sedangkan perjalanan untuk perdagangan dan mubah, terdapat perbedaan antara melarang dan membolehkan. Menurutnya, yang lebih rajih adalah yang membolehkan. Sebaliknya jika perjalanan maksiat, yang lebih rajih adalah dilarang.[8]
Terhadap mereka yang berbuka karena udzur tersebut, diwajibkan mengqadha pada hari di bulan lainnya. Ini diterangkan dalam firman Allah Swt selanjutnya: fa ‘iddatun] min ayyâm[in] ukhar (maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain). Kata ‘iddah merupakan bentuk fi’lah dari kata al-‘idd, artinya al-ma’dûd (jumlah). Sedangkan ukhar merupakan bentuk jamak dari kata ukhrâ (yang lain).[9]
Dalam kalimat ayat ini terdapat kata yang dihilangkan. Lengkapnya: Siapa pun di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan, lalu dia berbuka, maka dia wajib mengqadhanya.[10] setelah bulan berlalu, sejumlah hari yang ditinggalkannya.[11]
Dijelaskan Syekh Atha’ Abu Rasytah, ketetapan mengqadha pada hari lainnya ini menjadi qarinah bahwa perintah puasa yang disebutkan dalam ayat sebelumnya merupakan perintah yang berhukum wajib. Artinya, perintah yang yan bersifat jazim. Sehingga, jika ditinggalkan akan mendapatkan doa.
Kemudian Allah Swt berfirman: wa ‘alâ al-ladzîna yuthîqûnahu (dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa]). Kata al-thâqah, bentuk mashdar dari kata yuthîqûna, menurut al-Zuhaili berarti memikul sesuatu dengan berat dan susah payah. Artinya, orang-orang yang memikulnya dengan beban yang amat berat.[12] Tak jauh berbeda, al-Shabuni juga menafsirkannya sebagai yashûmûnahu bi masyaqqah wa ‘usr (mereka berpuasa dengan berat dan susah payah).[13]
Dalam konteks ayat ini, sebagaimana dikatakan juga oleh al-Jazairi, yuthîqûnahu berarti memikul beban berat karena tua renta atau sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.[14] Ibnu ‘Athiyah juga berkesimpulan, pengertian al-ladzîna yuthîqûnahu adalah orang-orang yang lanjut usia dan lemah.[15]
Dengan demikian, setelah sebelumnya diterangkan ketentuan orang yang sakit yang masih dapat diharapkan kesembuhannya, maka frasa ini menjelaskan tentang orang-orang yang sakit dan tidak dapat diharapkan kesembuahnnya; atau orang-orang sangat tua sehingga fisiknya tidak mampu berpuasa.
Tentu mereka tidak bisa mengqadha di hari lainnya karena semakin hari semakin tua dan lemah sehingga tidak bisa mengqadha. Terhadap orang yang mengalami keadaan demikian, maka diberikan ketentuan: fidyat[un] tha’âm miskîn (membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin). Kata al-fidyah berarti sesuatu yang digunakan oleh manusia untuk menebus dirinya, baik harta maupun lainya, disebabkan karena adanya kealpaan dalam menunaikan salah satu ibadah. Ini serupa dengan kaffarah dari satu sisi.[16]
Terhadap mereka yang tidak bisa menunaikan ibadah puasa kecuali dengan amat berat dan susah payah, diwajibkan membayar fidyah atau dengan memberi makan kepada satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
Memang ada yang berpendapat bahwa ayat ini telah mansukh. Menurut mereka, pada awal Islam diperbolehkan untuk memilih antara puasa dengan membayar fidyah. Namun pendapat yang kuat adalah tidak mansukh. Ibnu Abbas berkata, “Ini tidak mansukh. Ini untuk orang yangtua renta, laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa. Maka mereka memberikan makan sebagai penggantinya setiap hari satu orang miskin.”[17]
Kemudian Allah Swt berfirman: Faman tathawwa’a khayr[an] fahuwa khyr][un] lahu (barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya). Menurut al-Alusi, yang dimaksud dengannya adalah menambah dari ukuran yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Mujahid, menambah dari jumlah yangdiwajibkan. Dia memberikan makan dua oran gmiskin atau lebih.[18]
Allah Swt berfirman: Wa an tashûmu khayr[un] lakum in kuntum ta’lamûn (dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui). Ini memberikan pengertian bahwa barangsiapa yangdiberikan rukhshah untuk berbuka, seperti musafir dan orang sakit, dan orang-orang yang diperbolehkan berpuasa atau berbuka, maka berpuasa lebih baik baginya. Dengan catatan, sakit atau bepergiannya tidak berat baginya, dan dia mampu berpuasa tanpa kesulitan. Namun jika puasanya memberatkan dia, baik sakit atau perjalanannya, maka berbuka lebih utama baginya. Ini di dasarkan pada Hadits Nabi saw:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ »
Rasulullah saw berada dalam satu perjalanan. Lalu beliau melihat kerumunan dan seorang laki-laki yang diteduhi. Beliau bersabda: “Ada apa ini?”Mereka berkata, “Dia sedang berpuasa.” Lau beliau bersabda, “Bukanlah termasuk kebajikan dalam perjalanan (HR al_Bukhari).
Dalam riwayat lainnya, Rasulullah saw bersabda:
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَاقْبَلُوهَا
Bukan termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan. Kalian harus mengambil rukhshah yang diberikan Allah Azza wa Jalla, dan terimalah rukhshah itu (HR al-Nasa’i).
Mengingatkan untuk menerima rukhshah dalam konteks ini menunjukkan bahwa rukhah tersebut lebih utama.[19] Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi’i, dan Imam Malik. Menurut mereka, puasa lebih utama bagi yang kuat untuk berpuasa. Bagi yang tidak kuat, maka berbuka baginya lebih utamanya. Yang pertama dalilnya ayat ini. Sedangkan yang kedua, dalilnya ayat berikutnya:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(QS al-Baqarah [2]: 185).[20]
Beberapa yang Terkandung dalam Ayat ini
Pertama, wajibnya ibadah puasa. Dalam ayat sebelumnya telah disebutkan kata kutiba ‘alaykum al-shiyâm. Dijelaskan Atha’ Abu Rasytah, kalimat tersebut merupakan memberikan makna thalab (tuntutan). Adanya keharusan mengqadha puasa ketika tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan merupakan qarinah (indikasi) yang jazm atau kepastian tuntutan tersebut. Seandainya bukan merupakan thalab jâzim, tuntutan yang pasti, niscayatidak akan ada keharusan engqadha puasa. Oleh karena itu, thalab (tuntutan) untuk melakukan puasa merupakan thalab jâzim (tuntutan yang pasti), sehingga berhukum wajib.[21]
Kedua, adanya rukhsah untuk tidak berpuasa. Dalam ayat ini diterangkan tentang dua jenis rukshah. Pertama, orang yang tidak mampu melaksanakan puasa yang sifatnya hanya sementara. Ini adalah orang yang berada dalam perjalanan dan sakit yang masih diharapkan bisa sembuh. Terhadap mereka diberikan rukhshah tidak berpuasa dengan kewajiban mengqadhanya di hari lainnya dengan jumlah yang sama dengan hari yang ditinggalkan. Kedua, orang yang tidak mampu secara permanen. Mereka adalah orang-orang yang tua renta dan menderita sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Mereka dibolehkan berbuka dan tidak kewajiban mengqadhanya. Sebagai gantinya, mereka diwajiban membayar fidyah, berupa memberikan makan kepada satu orang miskin setiap hari.
Ketiga, jarak minimal perjalanan yang diperbolehkan tidak berpuasa. Di atas telah diuraikan bahwa perjalanan yang diperbolehkan berbuka adalah perjalanan yang jaraknya jauh. Hanya saja, di antara mereka terdapat perbedaan tentang jarak minimal. Di antara pendapat yang dapat diikuti adalah perjalanan yang diperbolehkan mengqashar shalat. Pendapat ini didasarkan kepada perkataan Ibnu Abbas ketika ditanya tentang perjalanan yang diperbolehkan shalat qashar, beliau berkata, “Dari Asfan ke Thaif, atau Jeddah ke Thaif.”Dan yang terdapat dalam nash lainnya, “Tiga farsakh, sedangkan satu farsakh sama dengan empat barid.” Ukuran jarak sekarang adalah sekitar sembilan puluh kilometer.[22]
Keempat, ukuran fidyah yang dibayarkan oleh orang yang tidak mampu berpuasa secara permanen. Al-Malikiyyah dan al-Syafi’iyyah berpendapat bahwa fidyah yang dibayarkan sebesar satu mud setiap hari. Demikian pula pendapat Thawus, Sa’id bin Jubair, al-Tsauri, dan al-Auza’i. Al-Hanafiyyah berpendapat satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ gandum, atau setengah sha’ sya’îr (biji gandum). Itu diberikan setiap hari ketika dia tidak berpuasa, diberikan kepada orang miskin. Sedangkan menurut al-Hanabilah satu mud burr (gandum jenis lain), atau setengah sha’ kurma atau sya’îr.[23]
Menurut Abdul Lathif Uwaidhah, semua itu adalah ijtihad dan bukan nash-nash syara’. Sementara syara’ tidak menetapkan ukuran makanan yang akan diberikan kepada orang miskin. Karena itu menurutnya, kita tidak diwajibkan untuk menetapi ukuran-ukuran tersebut. Kita cukup berhenti pada firman Allah Swt: fidyah tha’âm miskîn (memberi makan orang miskin), kemudian memberikan wewenang penentuan ukuran fidyah kepada manusia yang dipandangnya mencukupi bagi orang mskin. Terlebih lagi memberikan 1 mud, 2 mud, atau 4 mud gandum datau kurma, tidak lagi bermanfaat bagi orang miskin. Karena itu, yang diterima dan diikuti di masa kini adalah memberikan satu kali makan makanan yang telah dimasak atau menyerahkan sejumlah harta yang bisa memenuhi kebutuhannya.[24]
Demikianlan seputar ketentuan puasa yang dijelaskan dan didasarkan ayat ini, Wal-Lâh a’lam bi al-sahwâb.
[1]al-‘Akbari,al-Tibyân fî I’râb al-Qur`ân, vol. 1, 149 [2]Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur`ân al-Karîm, vol. 2 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 367 [3]al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 1 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 19994), 207; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 1 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 262 [4]al-Zamakhsyari, al-Kaysyâf, vol. [5]al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 454 [6]al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl a-Qur`ân, vol ; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 1 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 276; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 1 (Damaskus: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 207 [7]al-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm, vol. 1 (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1980), 202 [8]al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 1, 277 [9]al-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm, vol. 1, 189 [10]al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 1, 281 [11]al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 110; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 121 [12]al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, [13]al-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm, vol. 1, 189 [14]al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1(Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 160 [15]Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 252 [16]al-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm, vol. 1, 189 [17]Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 1 ( [18]al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, 454 [19]Atha’ Abu Rasytah, al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (Beirut: Dar al-Ummah, 2006), 217 [20]al-Shabuni, Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm, vol. 1, 207 [21]Atha’ Abu Rasytah, al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, 212 [22]Atha’ Abu Rasytah, al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, 214 [23]al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaituyyah (Kuwait: Dar al-Salasil, 2006), 67 [24]Abdul Lathif Uwaidhah, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Shiyâm (tt: Muassasah al-Risalah, tt), 237