[Al-Islam edisi 713, 6 Ramadhan 1435 H – 4 Juli 2014 M]
Setiap orang muslim, harus menentukan pendirian dan sikapnya atas sesuatu atau perbuatan, diambil atau tidak, dilakukan atau tidak. Seringkali seorang muslim harus menentukan pilihannya diantara apa yang ada atau pilihan yang ada di hadapannya. Hal demikan selalu terjadi dalam berbagai perkara, besar atau kecil, persoalan individu, keluarga atau kemasyarakatan; tak terkecuali masalah pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pendirian Berdasar Pengetahuan
Islam memerintahkan agar kita menentukan pendirian di atas pengetahuan. Allah berfirman:
﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا﴾
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(TQS al-Isra’ [17]: 36)
Imam asy-Syaukani menjelaskan, “makna ayat tersebut adalah larangan orang mengatakan apa yang tidak dia ketahui atau melakukan apa yang dia tidak memiliki pengetahuan tentangnya…” (asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, tafsir ayat tersebut). Karena itu,agar pendirian dan sikap itu dibangun di atas pengetahuan, Allah SWT memerintahkan untuk bertanya kepada orang yang berilmu jika kita tidak mengetahui (QS al-Anbiya’ [21]: 7 dan an-Nahl [16]: 43).
Pengetahuan yang dijadikan dasar menentukan pendirian itu setidaknya adalah pengetahuan tentang hukum syariah yang berkaitan dengan masalah tersebut dan pengetahuan tentang fakta masalah tersebut. Ini yang setidaknya harus dijadikan dasar menentukan pendirian atas berbagai perkara termasuk untuk menentukan pendirian dalam hal pemilihan presiden.
Memilih Pemimpin Berdasar Pengetahuan
Sekadar mengingatkan kembali, bahwa hukum mengangkat penguasa itu berkaitan dengan dua perkara: perkara yang berkaitan dengan karakteristik dan kondisi penguasa; dan perkara yang berkaitan dengan sistem aturan yang akan diterapkannya.
Mengenai personnya, maka dia harus memenuhi tujuh syarat: Islam, laki-laki, baligh, berakal, merdeka lawan dari perbudakan, memiliki keadilan lawan dari kefasikan, dan kemampuan memikul tugas-tugas dan tanggungjawab kepala negara. Jika ia tidak memiliki salah satu syarat ini, maka dalam pandangan hukum-hukum syariah, person tersebut tidak layak menjadi kepala negara.
Sedangkan mengenai sistem aturan, maka kepala negara itu wajib menerapkan sistem Islam dan hukum-hukum Islam seluruhnya. Sebab itu adalah tugas seorang kepala negara dalam Islam. Siapa saja yang meminta dipilih menjadi kepala negara, ia wajib menegaskan kepada masyarakat bahwa ia akan menerapkan syariah Allah secara keseluruhan. Jika ia secara terbuka dan terang-terangan menjanjikan penerapan hukum-hukum Islam, maka boleh memilihnya. Dan diantara hukum Islam yang wajib diimplementasikannya adalah pendeklarasian sistem al-Khilafah, penyatuan negeri-negeri kaum Muslimin di bawah daulah al-Khilafah, pembebasan negeri-negeri kaum Muslimin dari penjajahan dan pengaruh kaum kafir dalam segala aspek kehidupan, dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Sementara mengenai fakta masalah, hingga saat ini belum ada satupun calon yang menyatakan secara terbuka dan terang-terangan berjanji jika terpilih nanti akan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan. Jika pun ada yang mengatakan akan menerpakan syariah Islam, itupun tidak diucapkan langsung oleh para calon itu, melainkan oleh timnya atau oleh pendukungnya. Itupun tidak dinyatakan secara terbuka dan terang-terangan melainkan lebih terkesan secara malu-malu, dan ketika didesak. Seolah-olah hanya untuk merengkuh suara kaum Muslimin yang ingin syariah agamanya diterapkan. Jika faktanya demikian, tentu kita bisa menentukan pendirian sendiri sesuai dengan tuntunan Islam dalam memilih kepala negara di atas.
Allah SWT telah memerintahkan kita terutama kepada kepala negara untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Selain itu Allah juga mengingatkan, bahwa siapa saja yang memutuskan perkara atau menghukumi dan memerintah dengan selain apa yang telah Allah turunkan, maka dia adalah seorang yang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47). Bahkan Allah menilainya sebagai orang yang kafir (QS al-Maidah [5]: 44) jika hal itu dilakukan karena mengingkari Islam dan menganggap Islam itu tidak layak untuk memutuskan perkara.
Jika jelas-jelas pemimpin nantinya belum ada yang berjanji akan memutuskan perkara sesuai hukum Islam, dan justru telah berkali-kali ditegaskan akan melanjutkan sistem aturan buatan manusia yang ada, bukan aturan yang telah Allah turunkan, bagaimana mungkin seorang Muslim di bulan Ramadhan yang sarat dengan nilai-nilai ketakwaan ini diminta untuk memilih dan menjadikan pemimpin seperti itu? Bukankah memilih dan mengangkatnya di hadapan Allah kelak, sama saja dengan memilih dan menjadikan orang memiliki satu dair ketiga status di atas? Na’udzu billah min dzalika.
Mendudukkan Baik Buruk dan Manfaat
Boleh jadi seseorang menentukan pilihan didasarkan pada rasa suka atau tidak suka; atau pertimbangan baik-buruk, terpuji atau tercela menurut pendapatnya. Bagi seorang muslim hal semacam ini tidak boleh. Penilian tersebut harus mengikuti penilaian syara’. Sebab Allah mengingatkan bahwa kadang manusia menyukai sesuatu dan menilainya baik padahal hakikatnya adalah buruk. Allah mengingatkan:
﴿وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(TQS al-BAqarah [2]: 216)
Dari ayat ini bisa dipahami bahwa pada hakikatnya yang baik untuk manusia itu adalah apa saja yang disukai Allah, atau diridhai Allah. Sebaliknya, hakikatnya yang buruk bagi manusia itu adalah apa saja yang tidak disukai atau dibenci oleh Allah. Imam ath-Thabari menegaskan ketika menjelaskan QS al-Baqarah [2]: 110, “al-khayr adalah perbuatan yang diridhai Allah” (ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari).
Begitu pula penilaian suatu perbuatan sebagai terpuji atau tercela juga harus mengikuti syara’. Abu Bakar al-Baqilani di dalam al-inshâf menyatakan, “semua kaedah-kaedah syara’ menunjukkan bahwa al-hasan (yang terpuji) adalah apa dipuji oleh syara’ dan dibolehkannya; sedangkan al-qabîh (yang tercela) adalah apa yang dicela oleh syara’, diharamkan dan dilarangnya.”
Kadang orang menentukan pilihan mengikuti manfaat yang dipandangnya ada pada apa yang dipilih. Ayat di atas juga memberikan pengertian bahwa penilaian akan manfaat yang hakiki harus mengikuti penilaian syariah. Apa yang diridhai Allah adalah baik bagi manusia, artinya memberikan manfaat bagi manusia. Sebaliknya, apa yang dibenci Allah yakni dilarang oleh syariah, maka itu buruk bagi manusia, artinya mendatangkan madarat. Karena itu, manfaat hakiki itu sebenarnya adalah taat kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. Itulah yang dicontohkan oleh para sahabat. Rafi’ bin Khadij berkata bahwa salah seorang pamannya menuturkan:
«نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا… »
“Rasulullah saw melarang kita dari perkara yang dahulu bermanfaat untuk kami, tetapi taat kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami…” (HR Muslim)
Juga boleh jadi, orang menentukan pendirian karena mengikuti seseorang dengan anggapan kalaupun keliru maka dosanya ditanggung oleh pemimpin atau orang yang diikuti itu. Padahal di akhirat nanti tidak demikian. Setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri-sendiri, meski pemimpin dan orang yang diikuti itu tanggungjawabnya tentu lebih besar. Allah menyatakan:
﴿إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ﴾
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.”(TQS al-Baqarah [2]: 166)
Maka orang yang diikuti itu haruslah orang yang berpendapat berdasarkan keilmuan, ketakwaan, dan kesalehannya, sehingga menempatkan tuntutan syariah sebagai yang terdepan, bukan mengikuti penilaian-penilaan dunia.
Wahai Kaum Muslimin
Islam telah memberikan tuntunan yang jelas tentang pemilihan pemimpin. Semua berpulang kepada kita semua. Apakah tuntutan syariah itu dijadikan pegangan atau sebaliknya diabaikan. Namun harus diingat semua harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah termasuk dampak dari perbuatan dan pilihan kita.
﴿إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ﴾
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).”(TQS Yasin [36]: 12)
Dan pada hari itu semua hal akan diungkap dengan sebenarnya, kita tidak bisa mengelak.
﴿الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”(TQS Yasin [36]: 65)
Semoga Allah memberi kita taufik untuk menentukan piliah hanya mengikuti tuntutannya sehingga membuat Allah dan Rasul-Nya ridha dan dengan begitu kita akan selamat di akhirat kelak. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar al-Islam:
Ekonomi Indonesia tumbuh 5,21 persen pada kuartal pertama 2014. Meski demikian, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir pada Maret 2014 masih tersisa penduduk miskin sebanyak 28,28 juta orang, atau 11,25 persen dari total populasi.(Kompas.com, 1/7)
- Kalau ditambah yang hampir miskin, angkanya bisa mencapai lebih dari 100 juta orang.
- Pertumbuhan tinggi tidak banyak berpengaruh menurunkan angka kemiskinan, sebab pertumbuhannya tidak berkualitas, tanpa diiringi dengan pemerataan kesejahteraan. Buktinya indeks gini terus naik hingga 0,41 pada tahun 2013.
- Sebab doktrin sistem ekonomi kapitalisme fokus pada pertumbuhan dan abai pada pemerataan dan distribusi kekayaan.
- Sistem ekonomi Islam fokus pada distribusi kekayaan secara merata dan adil diantara rakyat, tanpa mengabaikan pertumbuhan.