Ibrahim ditangkap di Kairo Agustus lalu bersama dengan saudara-saudara perempuannya Somaia, 28 tahun, Omaima, 21 tahun, dan Fatima, 23 tahun. Mereka ikut ambil bagian dalam demonstrasi menentang tersingkirnya Presiden terpilih Mohammed Mursi. Protes itu berakhir dengan bentrokan antara pasukan keamanan dan demonstran sehingga memaksa mereka untuk mencari perlindungan di Masjid Al-Fateh dimana keempat bersaudara itu ditangkap.
Ibrahim Halawa, 18 tahun, telah ditahan di penjara untuk orang dewasa sejak penangkapannya dan hidup dalam kondisi yang mengerikan.
Dalam sebuah surat kepada Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton, Ibrahim mengungkapkan rincian penahanannya.
“Kami dipukuli dalam perjalanan menuju sel penjara dengan tongkat, rantai logam, cambuk atau apa pun yang dapat ditemukan,” kata Ibrahim mengenai perlakuannya oleh para sipir Penjara Tora tidak lama setelah penangkapannya.
“Setelah saya ditangkap dan dipukuli, saya dilempar ke dalam sel dimana terdapat 120 orang … dasar toilet ditutup, sehingga limbah kotoran keluar semua ke atas; makanan kami adalah roti dengan keju dan cacing atau serangga.
“Saya kemudian dipindahkan ke kamp militer Al-Salam… lalu saya dipukuli dengan bagian popor senjata hanya karena saya bilang saya orang Irlandia dan saya tidak pernah punya paspor atau bahkan kartu identitas Mesir.”
“Setelah tiga bulan kehancuran keluarga itu, dengan penyiksaan, dan melihat kematian puluhan kali, saudara-saudara perempuan saya akhirnya dilepas,” tulis Ibrahim.
Namun, dia “harus terus bertahan” dengan “perjuangan” nya.
“Saya dipaksa minum air dari toilet … Akhirnya, saya dipindahkan ke Penjara Al-Marg di mana saya ditelanjangi dan dipukuli. Orang tua saya diberitahu bahwa saya tidak ada disitu,” katanya.
Ibrahim belum diizinkan untuk menghubungi ayahnya; mereka tidak bisa berbicara selama lebih dari 10 bulan.
Dalam suratnya, Ibrahim mengungkapkan “kekecewaannya” bahwa Ashton telah ke Mesir “lebih dari dua kali namun tidak mengangkat kasusnyasama sekali”, meskipun dia adalah warga negara Uni Eropa.
Keluarga Ibrahim telah aktif berkampanye bagi pembebasannya.
Baru-baru ini, saudara-saudara perempuannya itu menurut Ibrahim tidak “cukup bertampang orang Irlandia” bagi dunia luar untuk memperjuangkan pembebasannya.
“Ibrahim adalah orang Irlandia, dia lahir di sini, tapi dia tidak terlihat seperti orang Irlandia, dia tidak terlihat seperti dari Uni Eropa dan saya pikir ini adalah alasan mengapa semuanya begitu lambat,” kata adik Ibrahim Somaia.
Keluarga Halawas telah menerima dukungan konsuler rutin dari Dubes Irlandia di Mesir sejak penangkapan itu tetapi mereka percaya masih banyak yang harus dilakukan.
“Kami menghargai bantuan yang kami sudah dapatkan dari Pemerintah Irlandia, tapi saatnya untuk bertindak. Mereka telah mengungkapkan kasus ini cukup lama dan tidak ada yang terjadi, rasa takut membunuh kita,” tambah Somaia.
Pada tanggal 16 Juli, Ibrahim menghadapi persidangan massal dengan 483 orang lain – termasuk tiga saudara perempuannyayang dijadwalkan akan diadili secara in absentia.
Nosayba Halawa mengatakan pengacara kakaknya belum memiliki akses untuk berkas penuntutannya meskipun sidang akan dimulai dalam dua minggu.
Dia menambahkan bahwa salah satu pengacaranyakemungkinan akan berbicara untuk membela semua terdakwa di persidangan.
Keluarganya percaya dia mungkin akan menghadapi eksekusi, menyusul keputusan oleh hakim yang menjatuhkan hukuman mati terhadap 529 orang yang dituduh sebagai perusuh.
Mereka mengatakan Ibrahim mungkin akan melakukan mogok makan untuk meningkatkan kesadaran orang atas penderitaannya dan sebagai protes terhadap kondisi yang mengerikan di penjara. (rz/middleeastmonitor.com, 1/7/2014)