HTI Press, Majalengka. Pilpres tinggal menghitung hari. Situasi politik pun makin panas. Pada kondisi tersebut umat Islam yang merupakan mayoritas negeri ini menjadi rebutan. Itu ditunjukkan oleh tampilan para calon yang mendadak religius. Tokoh agama dan pesantren pun menjadi rebutan sehingga tak luput dari kunjungan para calon untuk meraih dukungan tokoh agama dan pesantren. Di sini umat harus cerdik dalam memilih.
Demikian yang disampaikan aktivis HTI, ustadz Ica pada Majelis Siyasi Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Majalengka, Ahad, 22 Juni 2014. ” Semua calon sebenarnya sama yaitu mengusung demokrasi, dan sama dalam menolak tegaknya syariat Islam,” ujarnya.
Terkait isu pluralisme misalnya menurut ust Ica, keduanya sama pandangannya. Ini dibuktikan oleh mereka berdua yang bangga ketika keduanya mengangkat orang non muslim menjadi pemimpin. Seperti Jokowi ketika mengangkat Lurah Susan dan Prabowo menjadikan Ahok sebagai bakal cawagub DKI Jakarta.
“Jelas dari fakta di atas keduanya tidak ada yang diharapkan umat,” tegasnya. “Karena itu setelah mereka meraih kekuasaan, maka umat pasti ditinggalkan,” ujarnya. Mereka tidak kan membubarkan Ahmadiyah, mereka tidak akan menerapkan syariat Islam.
Ust Ica menjelaskan sebenarnya pilihan sekarang ada di tangan umat apakah mau memilih sekulerisme dan demokrasi atau mau memilih khilafah dengan mendeklarasikan khalifah dan membaiatnya?
Sementara itu pembicara lain, Ustadz Mundzir Islam, memaparkan bagaimana pandangan Islam dalam mengangkat pemimpin. “Islam sebagai ideologi untuk kehidupan masyarakat telah menetapkan bahwa negara dan pemerintahan adalah bagian dari Islam,”paparnya.
Islam jelasnya telah memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan negara dan pemerintahan yang berhukum dan memerintah hanya dengan hukum Islam.
Dijelaskan pula bahwa hukum mengangkat penguasa itu ada dua perkara yang harus diperhatikan. Pertama adalah karakter dan sosok pemimpin. Dalam hal ini ada tujuh syarat pemimpin yang wajib secara syari yaitu: Islam, laki-laki, baligh, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan orang fasik) dan mampu.
Yang kedua mesti diperhatikan katanya adalah sistem apa yang akan diterapkan olen pemimpin tersebut. “Kenyataannya mereka tetap berpegang pada sistem sekuler” ujar ustadz Mundzir yang jufa aktifis HTI Majalengka.
Tentu saja ini bertentangan dengan Islam katanya dimana banyak sekali dalil syara yang memerintahkan umat Islam berhukum dengan hukum Islam dan haram menerapkan hukum kufur. “Berhukum kepada hukum Allah itu harus dalam bingkai khilafah,” tegasnya di hadapan puluhan peserta Majelis Siyasi.[]MI HTI Majalengka/az