Beberapa Ketentuan dalam Puasa

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

 

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 187).

 

Ketika Allah SWT mewajibkan puasa kepada manusia, diterangkan pula kayfiyât atau tatacara pelaksanaannya secara detail dan lengkap. Keterangan itu terdapat dalam ayat dan banyak hadits. Kemudian para ulama merangkai keterangan tersebut secara sistematis dan praktis sehingga mudah diamalkan. Ayat ini adalah di antara dalil yang menjelaskan tentang tatacara berpuasa.

 

Ketentuan di Malam Hari

Allah SWT berfirman: Uhilla lakum laylah al-shiyâm al-rafats ilâ nisâikum (dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu). Kata al-rafats dalam ayat ini bermakna al-jimâ’ (bersetubuh). Menurut Ibnu Katsir, ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Said bin Jubair, Qatadah, al-Zajjaj, al-Hasan, al-Thabari, al-Qurtubi, dan lain-lain. Menurut al-Zajjaj dan al-Azhari, sebagaimana dikutip al-Syaukani, al-rafats merupakan kata yang mencakup semua yang diinginkan oleh laki-laki dari istrinya. Dengan demikian, ayat ini menetapkan kebolehan bagi suami menggauli istrinya pada malam bulan Ramadhan.

Kemudian disebutkan: Hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna (mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka).Menurut al-Syaukani, penyebutan istri sebagai pakaian bagi suami dan sebaliknya, karena bercampurnya antara keduanya ketika jimak, seperti pakaian dengan pemakainya. Abu Ubaidah, sebagaimana dikutip al-Syaukani, istri disebut sebagai pakaian, tikar, dan selimut. Sedangkan Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, al-Sudi, dan lain-lain menafsirkannya: Hunna sakan lahum wa antum sakan lahunna (mereka membuat tenang bagimu, begitu pula sebaliknya).

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: Alimal-Lâh annakum kuntum tahtânûn anfusakum (Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu). Kata tahtânûn semakna dengan dengan khâna yang berarti al-khiyânat (khianat). Pada asalnya, kata al-khiyânah berarti mempercayakan sesuatu kepada seseorang, lalu tidak tidak ditunaikan oleh orang tersebut. Diterangkan al-Qurthubi, khianat yang dimaksud dengan ayat ini adalah berjimak pada malam puasa.

Kemudian disebutkan: Fatâba ‘alaykum wa ‘afâ ‘ankum (karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu). Kata tâba ‘alaikum (mengampuni kamu) dalam ayat ini mengandung dua pengertian. Pertama, diterimanya taubat dari pengkhianatan mereka terhadap diri mereka. Kedua, sebagai keringanan bagi mereka, dengan rukhshah dan kebolehan. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Muzammil [73]: 20) dan QS al-Nisa’ [4]: 92).

Makna tersebut dikukuhkan dengan firman Allah SWT berikutnya: Fal`âna bâsyrûhunna wa[i]taghû mâ katabal-Lâh lakum (maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu). Diterangkan Ibnu Katsir, pada awal Islam, ketika telah berbuka, maka diperbolehkan makan, minum, dan berjimak hingga waktu Isya’ atau tidur sebelum itu. Apabila sudah melakukan shalat Isya’ atau tidur, maka mereka dilarang makan, minum dan berjimak pada malam hari itu. Sebagian besar mereka merasa kesulitan dengan hal itu, kemudian Allah SWT meringankan hal tersebut dengan membolehkan mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu dari makan, minum maupun berjimak baik setelah tidur maupun sebelumnya.

Kata perintah dalam ayat ini memberikan makna ibâhah atau boleh. Qarînah atau indikasinya adalah perintah tersebut setelah larangan, sehingga kembali kepada hukum asalnya, yakni mubah. Demikian dikatakan Syeikh Atha Abu Rasytah dalam kitabnya, al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr.

Kebolehan melakukan jimak itu disebutkan ayat ini dengan ungkapan: bâsyirûhunna, campurilah mereka. Juga: wa[i]taghû mâ katabal-Lâh lakum, dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Artinya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala ketika mencampuri istri-istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jimak tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, dan juga memperoleh tujuan nikah. Perintah di sini berhukum mandub. Qarînah-nya adalah adanya pujian Nabi SAW terhadap orng yang banyak anaknya. Demikian dikatakan Syeikh Atha’ dalam tafsirnya.

Disebutkan pula: Wakulû wa[i]syrabû hattâ yatabayyana lakum al-khyth al-abyadh min al-khayth al-aswad min al-fajr (dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar). Yang dimaksud dengan al-khayth al-aswad adalah hitamnya malam, sedangkan benang al-khayt al-abyadh adalah putihnya siang. Kebolehan itu terus berlangsung hingga terbit fajar shadiq. Ini dipahami dari kata hattâ yang memberikan makna ghâyah atau batas akhir.

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Tsumma atimmû al-shiyâm ilâ al-layl (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai [datang] malam). Setelah terbit fajar, maka diperintahkan untuk berpuasa hingga al-layl, malam hari. Yang dimaksud dengan al-layl adalah terbenamnya matahari.

Bahkan dalam berbuka puasa, terdapat perintah untuk menyegerakannya.  Rasulullah SAW bersabda: Allah SWTberfirman, Hamba yang paling Aku cintai adalah yang paling menyegerakan berbuka’. (HR al-Tirmidzi).

 

Ketentuan dalam Iktikaf

Kemudian Allah SWT berfirman: Walâ tubâsyirûhunna wa antum ‘âkifûna fî al-masâjid ([tetapi] janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid). Kata âkifûna berarti mu’takif (beriktikaf). Dijelaskan al-Raghib, secara syar’i iktikaf adalah berdiam diri di masjid dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa seorang yang sedang iktikaf dilarang melakukan mubâsyarah dengan istrinya.

Dikatakan al-Qurthubi bahwa Allah SWT telah menjelaskan bahwa berjimak membatalkan iktikaf.

Allah SWT berfirman: Tilka hudûdul-Lâh falâ taqrabûhâ (itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya). Kata tilka, sebagaimana dinyatakan al-Sa’di, menunjuk kepada semua ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, yakni haramnya makan, minum, dan berjimak ketika berpuasa, haramnya berbuka tanpa udzur, dan haramnya berjimak ketika iktikaf.

Semua itu merupakan hudûdul-Lâh. Kata al-hudûd merupakan bentuk jamak dari kata al-hadd (batas). Menurut al-Zuhaili, secara bahasa kata al-hadd berarti al-hâjiz bayna syay`ayn (penghalang atau pembatas atara dua hal). Kemudian digunakan untuk menyebut hukum-hukum yang disyariahkan Allah SWT kepada hamba-Nya. Apabila sesudahnya disebutkan falâ taqrabûhâ (janganlah kamu mendekatinya), maksudnya adalah yang dilarang dan diharamkan. Namun jika sesudahnya disebutkan falâ ta’tadûhâ (janganlah kamu melanggarnya), maksudnya adalah hukum-hukum dan ketentuan-Nya, maka manusia tidak boleh melanggarnya.

Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Kadzâlika yubayyinul-Lâh âyâtihi li al-nâsi la’allalhum yattaqûn (demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa). Dikatakan Ibnu Katsir, artinya, “Sebagaimana Dia telah menerangkan puasa beserta hukum, syariah, dan perinciannya, demikian pula Dia telah menerangkan melalui lisan hamba dan rasul-Nya Muhammad SAW.” Frasa la’allahum yattaqûn berarti agar mereka mengetahui bagaimana mereka mendapatkan petunjuk dan bagaimana mereka taat. Ini seperti diterangkan dalam QS al-Hadid [57]: 9.

Demikianlah ketentuan seputar puasa dan malamnya. Ketentuan lebih rinci dijelaskan dalam banyak hadits, dan diterangkan para ulama, terutama dalam kitab-kita fiqh. Semoga kita termasuk orang yang bisa menjalankan semua ketentuan itu dan tidak melanggarnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

 

Ikhtisar:

  1. Pada malam hari diperbolehkan makan, minum, dan berjimak hingga fajar shadiq menyingsing
  2. Ketika beriktikaf dilarang melakukan jimak dan berbagai perbuatan yang mengantarkan kepadanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*