GenRe? Ogah ah!
HTI Press. Sidoarjo. Ahad, 22 Juni 2014. Jelang Harganas yang jatuh pada 29 Juni 2014, Remaja Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia se-Sidoarjo mengadakan Forum Diskusi Remaja tentang “GenRe VS GenSwis, Pilih Mana?”. Puluhan remaja yang hadir tampak sangat antusias mengikuti acara diskusi ini, terutama para pelajar yang telah mendapatkan informasi mengenai Program GenRe (Generasi Muda Berencana) yang saat ini sedang hangat dan gencar disosialisasikan oleh BKKBN ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus dalam rangka menyambut Harganas.
Dalam diskusi yang menghadirkan Ustadzah Yanti Mufina selaku pembicara 1 yang memaparkan sekilas informasi tentang GenRe, pembicara sangat piawai berkomunikasi dengan peserta, sehingga terjalin suasana penuh keakraban. Saat mendengarkan penjelasan beliau tentang Program GenRe yang diandalkan oleh BKKBN sebagai solusi atas meningkatnya kasus seks bebas ternyata justru menjadi salah satu biang permasalahan yang memicu maraknya fenomena seks bebas, para peserta tampak tercengang.
Tentu saja bagi mereka ini adalah sebuah informasi baru, informasi yang dibahas dari sudut pandang Islam, sehingga terkuaklah kebobrokan sistem Demokrasi. “Nikah cepat nggak boleh, tapi kok diberi tayangan dan informasi yang merangsang?”, begitulah kata Yanti Mufina. “Mayoritas pernikahan dini terjadi karena didahului oleh aktifitas zina.” lanjutnya.
Dalam penjelasannya, Yanti Mufina mengungkapkan bahwa seharusnya yang diberantas adalah aktifitas mendekati zina dan perbuatan zina itu sendiri, contohnya seperti mengatur tayangan televisi atau informasi di internet yang berbau pornografi, kemudian mengatur pergaulan pria wanita, memberi penjelasan batasan aktifitas yang boleh dilakukan antara pria dan wanita, bukan memberi penyuluhan agar menunda usia pernikahan. Sebagian besar peserta manggut-manggut tanda mengerti, namun ada juga beberapa wajah yang tampak bingung.
Tak kalah seru penjelasan yang diberikan oleh Ustadzah Diah Astri selaku pembicara 2 yang memaparkan bagaimana solusi Islam terhadap fenomena meningkatnya seks bebas di Indonesia. Diah Astri mengawali materi dengan menyajikan beberapa profil manusia cerdas dengan IQ tinggi, salah satunya seperti Albert Einstein, untuk memberikan gambaran smart dalam pandangan masyarakat umum. Dengan nada retorika pemateri menanyakan apakah yang dinamakan smart itu dibatasi oleh IQ? Kompak semua peserta menjawab “TIDAK”. Kemudian ia mengajak peserta melihat sejarah beberapa abad silam, dimana saat itu Islam masih diterapkan dalam sistem kehidupan. Banyak sekali dihasilkan generasi muslim yang berperan menghasilkan penemuan-penemuan penting dalam ilmu pengetahuan, sains dan teknologi seperti: Maryam Al-Asturlabi, As Syifah Al Adawiyah, Khawarizmy, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Jelaslah terdapat perbedaan besar antara generasi muda dalam naungan Demokrasi dan generasi muda dalam naungan Khilafah Islamiyah. Generasi muda dalam naungan Islam, dimana negara berperan besar dalam membentuk kepribadian rakyatnya menjadi generasi dengan kepribadian yang bertaqwa, terbukti sebagai GenSwis (Generasi Smart with Islam), yaitu generasi unggul yang cerdas, berprestasi dan beriman, serta mencintai alam yang diamanahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada manusia untuk dipelihara dan dijaga sebaik-baiknya.
Sedangkan dalam sistem pendidikan di Indonesia yang sekular-materialistik dan mengedepankan demokrasi alias “kebebasan” di segala aspek tanpa kecuali, terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Selama puluhan tahun, dalam sistem pendidikan di Indonesia menempatkan agama sekedar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek.
Acara yang berlangsung selama 2 jam tersebut ditutup dengan tekad bersama untuk berubah menjadi sosok remaja yang GenSwis, terdepan dan smart with Islam. []