Hampir 80 persen warga Palestina yang tewas di Gaza oleh pemboman Israel adalah warga sipil, PBB mengatakan.
Sebuah laporan mengangkat “kekhawatiran mengenai penghormatan terhadap hukum kemanusiaan internasional” saat diungkapnya dampak serangan ini pada keluarga.
Jumlah korban tewas di Gaza telah meningkat menjadi 182 dan pertumpahan darah dikhawatirkan terus terjadi pada hari Selasa karena Hamas tidak setuju dengan Pemerintah Israel untuk melakukan gencatan senjata yang diajukan oleh Mesir.
Menurut data Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Ocha), 77 persen warga yang tewas sejak awal Operasi Protective Edge pada tanggal 7 Juli adalah warga sipil.
Dari 138 orang yang tewas ketika laporan selesai, 36 adalah anak-anak, dan 1.361 warga Palestina terluka.
Dari jumlah warga Palestina yang luka-luka itu, hampir 390 adalah anak-anak dan 250 adalah perempuan.
Israel telah menargetkan rumah-rumah para pemimpin Hamas dan bangunan, termasuk masjid, yang diduga digunakan untuk menyimpan senjata dan sebagai tempat pertemuan bagi para militan.
Pihak militer telah berulang kali mengklaim bahwa banyak bangunan yang merupakan target yang sah tetapi laporan PBB mengatakan penargetan rumah penduduk sipil adalah pelanggaran hukum kemanusiaan internasional kecuali rumah-rumah yang digunakan untuk tujuan militer.
Dia menambahkan: “Jika ada keraguan, bangunan-bangunan itu biasanya digunakan untuk tujuan sipil, seperti rumah, yang dianggap bukan menjadi sasaran militer yang sah.”
Sejauh ini, lebih dari 1.250 rumah telah hancur atau rusak parah dan lebih dari setengah juta orang kehilangan mendapat risiko pasokan air karena terlalu berbahaya bagi para kontraktor untuk memperbaiki pipa-pipa yang rusak.
Puluhan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka di Gaza utara menyusul selebaran peringatan akan dilakukannya serangan darat Israel dan 17.000 orang telah berlindung di sekolah-sekolah yang dioperasikan PBB.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Senin juga mengutuk peluncuran roket oleh Hamas dan kelompok militan lainnya dari daerah pemukiman padat penduduk.
James Rawley, Koordinator Kemanusiaan PBB untuk wilayah Pendudukan Palestina, memperingatkan terjadinya krisis kemanusiaan pada saat banyak lembaga yang berjuang memperbaiki kerusakan kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, serta tiang listrik.
“Pikiran kita pertama harus bersama dengan banyak warga sipil yang telah kehilangan nyawa, dan bahkan sejumlah besar orang yang telah menderita luka fisik atau psikologis,” tambahnya.
“Sementara kita menunggu-nunggu langkah-langkah yang sangat dibutuhkan [langkah-langkah menuju perdamaian], kami harus sekali lagi mengingatkan kepada semua pihak bahwa mereka harus benar-benar mematuhi hukum kemanusiaan internasional.”
Kehati-hatian Rawley mengatakan tindakan pencegahan harus diambil untuk menghindari korban sipil dan harus ada “proporsionalitas” dalam operasi, sambil menambahkan bahwa aset militer jangan disimpan di wilayah pemukiman.
Taktik Israel menggunakan peluru kendali “pengetuk pintu” untuk memperingatkan rakyat untuk mengungsi sebelum pemogokan juga dikritik, dengan pihak lawan yang mengatakan roket yang tidak meledak masih berbahaya bagi kehidupan.
Konflik baru-baru ini hanya bagian dari “siklus kekerasan” yang sedang berlangsung di wilayah itu yang diperparah oleh kemiskinan, pengangguran dan kekurangan makanan di Gaza yang disebabkan oleh bertahun-tahun pembatasan gerakan yang ketat yang diberlakukan oleh Israel, kata Rawley.
Dia menambahkan: “Pikiran saya bersatu dengan anak-anak Gaza, bukan hanya atas orang yang sudah menjadi korban konflik terbaru ini, namun takut, ketidakamanan adalah tidak hanya kenyataan hari ini, Namunu., tapi bekas luka yang akan bertahan seumur hidup.” (independent.co.uk, 15/7/2014)