Tanya :
Ustadz, jika orang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syar’i, apakah ada kewajiban qadha atas orang itu? Bagaimana dengan hadits yang menyebutkan “lam yaqdhi shiyamud dahri wa in shaamahu” (dia tak akan dapat meng-qadha`nya dengan puasa satu tahun, meskipun dia melakukan puasa satu tahun)?
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dengan sengaja tak berpuasa atau berpuasa tapi membatalkannya tanpa udzur syar’i, misalnya sakit atau dalam perjalanan. Ada dua pendapat sbb; Pertama, pendapat jumhur ulama yang mengatakan orang tersebut wajib mengqadha`. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah disebutkan,”Mereka [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad] sepakat bahwa orang yang sengaja makan atau minum pada siang hari pada bulan Ramadhan sedang dia dalam keadaan sehat dan mukim (tak dalam perjalanan), maka dia wajib mengqadha`… (M. Abdurrahman Ad Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah, hlm. 93).
Dalil wajibnya qadha` adalah hadits dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan Imam Dawud mengenai seorang laki-laki yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Pada ujung hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Dan berpuasalah satu hari [sebagai gantinya] dan mintalah ampun kepada Allah [wa shum yauman wastighfirillaah].” (HR Abu Dawud,no 2393). Jumhur ulama mengatakan hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya qadha` bagi orang yang sengaja berbuka (membatalkan puasanya) tanpa udzur syar’i. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/164; Sa’id Al Qahthani, Al Shiyam fil Islam, hlm. 288; Ahmad Huthaibah, Al Jami’ li Ahkam Al Shiyam, hlm. 138).
Kedua, pendapat sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Hazm dan Imam Ibnu Taimiyyah, yang mengatakan bahwa qadha` tidak disyariatkan bagi orang tersebut. Dalilnya, hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa berbuka pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa suatu rukhsah yang diberikan Allah kepadanya maka dia tak akan dapat meng-qadha`nya dengan puasa satu tahun (lam yaqdhi ‘anhu shiyaam ad dahr).” (HR Abu Dawud, no 2396; Ibnu Majah no 1672; Ad Darimi 2/10; Ahmad, 2/376).
Dalil lainnya, pendapat sebagian shahabat seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan Abu Hurairah yang tak mewajibkan qadha` bagi orang yang sengaja berbuka tanpa udzur syar’i. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/359; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/108; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 45).
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yang mewajibkan qadha` bagi orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syar’i. Ada dua alasan; pertama, bahwa hadits Abu Hurairah RA bahwa orang yang berbuka tanpa rukhsah tak akan dapat meng-qadha` puasanya walau puasa setahun, adalah hadits yang dhaif (lemah). (Nashiruddin Al Albani, Dha’if Sunan Abi Dawud, hlm. 517).
Alasan kelemahannya, karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Muthawwas yang majhul (tak diketahui dengan jelas identitasnya). Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari, dan Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Imam Ibnu Hazm berkata,”Abu Muthawwas tidaklah terkenal sifat keadilannya (ghairu masyhur bi al ‘adalah).” (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/358; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 45).
Kedua, pendapat sebagian shahabat yang tak mewajibkan qadha’, kedudukannya hanya sebagai ijtihad yang boleh saja diikuti, namun bukan dalil syar’i. (Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Al Shiyam, hlm. 55). Ijtihad shahabat dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan istilah mazhab al shahabi, yakni mazhab seorang shahabat. Para ulama berbeda pendapat apakah mazhab al shahabi dapat menjadi hujjah (dalil syar’i) atau tidak. Namun yang rajih menurut jumhur ulama adalah bukan dalil syar’i. Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata,”Madzhab shahabat tidak termasuk dalil-dalil syar’i. [mazhab al shahabi laisa min al adillah al syar’iyyah].” (Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/417). Kesimpulannya, orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syar’i,wajib mengqadha`. Wallahu a’lam. [] M Shiddiq Al Jawi