Komandan Pasukan Khusus Pengawal Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani menegaskan bahwa penghapusan “senjata kelompok perlawanan itu adalah mimpi yang tidak akan pernah tercapai”, bahkan ia mengancam “Israel” akan membalasnya “pada waktu yang tepat” (surat kabar Al-Quds, 31/07/2014). Dalam konteks lain, Al Jazeera Net melaporkan bahwa “Iran mengkritik keterlambatan Mesir mengakses bantuan ke Gaza.”
*** *** ***
Jika kejahatan dan kekejian Yahudi yang begitu besar dan telanjang, serta pembantaian anak-anak, dan penghancuran masjid-masjid, bukan waktu yang tepat untuk membalas Yahudi, lalu kapan itu dilakukan? Jika Iran belum juga menyadari bahwa sejak berdirinya entitas Yahudi di atas tengkorak kaum Muslim dengan mengalirkan darah dan potongan-potongan tubuh telah tercatat melakukan berbagai aksi brutal dan keji terhadap rakyat Palestina, lalu kapan sadarnya?
Jika keberanian kelompok perlawanan dan kreativitasnya dalam menghadapi agresi yang Yahudi yang brutal dan keji adalah motif utama bagi mereka yang mengklaim sebagai “Komandan Pasukan Khusus” pembebasan Al-Quds untuk tidak segera bergerak, maka baginya dan rezimnya yang utama adalah berpikir tentang realitas nyata, yaitu: jika itu hanya dilakukan oleh beberapa mujahidin yang terkepung, maka apa yang bisa dilakukan militer Iran, bahkan pasukan pembebasan Al-Quds sendirian?
Sementara meratapi kurangnya akses bantuan kemanusiaan adalah sikap yang semestinya keluar dari organisasi sosial dan kemanusiaan. Sehingga, sangat tidak pantas jika sikap seperti itu keluar dari rezim “revolusioner” yang mengklaim sebagai poros penentang politik Amerika untuk pembebasan negeri-negeri Arab.
Sesungguhnya berbicara tentang waktu yang tepat untuk melakukan pembalasan adalah sama seperti yang menaungi rezim antek Suriah yang berlindung dengannya ketika pesawat-pesawat Yahudi berputar-putar di atas Damaskus. Dengan demikian, hal itu mengungkap bahwa logika “poros penentang” sebenarnya adalah “menentang” pengiriman tentara untuk melawan Yahudi dalam perang jihad untuk mencabut entitas Yahudi hingga ke akarnya.
Tidak ada keraguan bahwa Iran—dan partainya di Lebanon, di tepi Palestina—telah mengkhianati Gaza, bahkan sebelumnya telah melepaskan Palestina dan Al-Aqsa, seperti halnya sejumlah rezim boneka diktator yang mencegah tentaranya dari bergerak untuk menghentikan pertumpahan darah di Gaza. Lebih jauh lagi, Iran—dan partainya di Lebanon—telah melakukan kejahatan besar, kejahatan sebagai pengecut dan sibuk membantai anak-anak kaum Muslim di Suriah, dari pada melindungi anak-anak kaum Muslim di Gaza. Semua itu mengungkap bahwa logika militernya yang memalukan, dengan terlibat secara militer dalam melindungi kepentingan Amerika di Suriah melalui dukungnya terhadap sang penjahat, Basyar Assad. Sementara untuk Gaza ia cukup meratapi kurangnya akses bantuan kemanusiaan.
Dalam hal ini, Iran yang mengklaim sebagai rezim Islami telah mencampakkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk menolong kaum Muslim dengan keputusan hukum yang pasti: “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (TQS. Al-Anfāl [8] : 72).
Oleh karena itu, tidak mungkin bantuan kemanusiaan, meratapi kurangnya akses bantuan kemanusiaan, ancaman palsu—bahkan dukungan terhadap kelompok perlawanan—dapat memperindah wajah Iran yang jelek, atau mengubahnya dari statusnya sebagai rezim pengkhianat menjadi rezim penolong Palestina. Dan umat tidak akan mengampuni rezim Iran serta sikap palsunya yang melawan para pejuang revolusi Syam, yang telah membagi perjuangan revolusinya menuju Al-Quds (Yerusalem) setelah Damaskus. [Dr Maher Al-Ja’bari]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 3/8/214.