Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki

Oleh : Muhammadun (Aktivis HTI Riau)

Tak terasa, sudah 69 tahun lalu tepatnya 17 Agustus 1945, negeri ini merdeka dari penjajahan fisik yang dilakukan negara-negara kolonialis. Umat Islam punya andil terbesar dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Perayaan kemerdekaan tahun ini berada dalam suasana syawal, suasana hari raya idul fitri. Suasan penuh pekik takbir, tahlil dan tahmid.

Pekik takbir menjadi hal yang lazim dalam tiap peperangan mengusir para penjajah. Para pendiri bangsa ini pun mengakui secara tertulis bahwa nikmat kemerdekaan yang dinyatakan di bulan Ramadan tahun 1364 Hijriyah itu adalah ‘’atas berkat rahmat Allah’’.

Namun, sangat disayangkan, kini hukum-hukum Allah makin terpinggirkan. Para pengelola negeri ini lebih suka tunduk pada kehendak para pemegang kapital korporat asing, daripada tunduk pada Sang Pemberi nikmat sejati, Allah Swt. Akibatnya kemerdekaan hakiki makin jauh panggang dari api. Para pejuang telah mengusir penjajah Belanda, namun hukum-hukum Belanda masih eksis sampai kini.

Bahkan, menurut anggota DPR RI Eva Kusuma Sundari 76 UU yang dihasilkan pasca Reformasi, semuanya berbau pesanan asing, khususnya AS. Akibatnya, hingga  saat ini kita masih menyaksikan potret kehidupan masyarakat Indonesia yang penuh dengan beragam problematika.

Akibat penjajahan ekonomi, budaya, politik dan hukum. Sumber daya alam luluh lantak, korupsi menggurita, rakyat makin miskin papa. Ibarat pepatah Melayu, habis arang besi binasa. Utang luar negeri makin menggunung. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia per April 2014 mencapai US$ 276,6 miliar atau sekitar Rp 3.300 triliun. Utang luar negeri ini tumbuh sebesar 7,6 persen dibandingkan posisi utang luar negeri April tahun 2013 lalu.

Misi Islam
’Allah Swt memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam,’’ tegas Ruba’i lantang menjawab pertanyaan Panglima Rustum, pemimpin pasukan Persia dalam perang al-Qadhisiyah, tentang mengapa pasukan Islam masuk ke tanah Persia.

Dialog di atas terjadi menjelang perang al-Qadhisiyah. Adalah Ruba’i bin Amir, yang memang dikirim panglima tentara Islam ketika itu, Saad bin Abi Waqqash, untuk menghadap panglima tentara Persia, Rustum.

Saat itu Ruba’i bin Amir masuk tanpa menghiraukan keadaan mewah sekelilingnya. Ruba’i terus masuk dan membiarkan kaki kudanya mengotori hamparan permadani mewah itu. Segera ia menghadap panglima, dengan tetap menyandang senjata dan perisainya.

Melihat itu, para pembesar Persia segera berseru, ‘’Letakkan senjata itu!’’. Dengan tenang, Ruba’i menjawab, ‘’Aku kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang biarkan aku dalam keadaanku seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang’’.

Panglima Rustum menengahi, ‘’Biarkan ia menghadap’’. Akhirnya, Ruba’i menghadap panglima, dan terjadilah dialog seperti tersebut di atas.

Pernyataan Ruba’i itu menegaskan, dorongan pembebasan/futuhat Islam bukan bersifat material, sebagaimana yang dilakukan kaum imperialis-kolonialis dari Barat-Nasrani beberapa abad silam ketika mereka merangsek ke wilayah-wilayah jajahan di Timur Tengah, Asia Selatan atau Asia Tenggara.

Barat berusaha keras menemukan daerah baru untuk dijajah dan dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa.

Inilah semangat ekspansi demi Gold, Glory and Gospel (emas, kekuasaan dan agama). Hal itu terbukti, dengan tak satu pun daerah bekas jajahan mereka -termasuk Indonesia- sepeninggal penjajah yang berubah jadi maju, makmur dan sejahtera. Sebaliknya, yang bersisa adalah derita, duka, dan nestapa.
Berbeda dengan semua itu, Ruba’i justru memberi perspektif baru tentang dorongan futuhat Islam, yaitu tauhid.

Semangat dakwah yang berintikan seruan tauhid itulah satu-satunya dorongan ketika Islam berusaha meluaskan daerah kekuasaannya, yaitu semangat membebaskan manusia dari perbudakan pada penghambaan kepada Allah semata. Tauhid adalah iman akan wujud (keberadaan) Allah berikut asma (nama-nama) dan sifat-sifatnya.

Tauhid yang benar bukan hanya sekadar percaya pada wujud Allah, melainkan juga disertai ketundukan pada otoritas (kedaulatan) Allah dalam pengaturan kehidupan manusia di dunia, karena memang untuk demikianlah manusia diciptakan (QS Al-Dzariaat [51] ayat 56).

Tauhid itulah landasan penyebaran Islam. Benar, misi Islam sejak awal adalah menyeru manusia di seluruh dunia kepada tauhid, dengan jalan dakwah dan jihad.

Melalui dakwah berarti terdapat gerakan terus menerus untuk mengubah manusia dari pikiran, perasaan dan tingkah lakunya yang sesat dan kufur menjadi pikiran, perasaan dan perilaku yang diatur syariat Islam, serta mewujudkan pola hubungan antar manusia berdasar hukum Allah SWT.

Inilah kemerdekaan hakiki. Bebas dari penghambaan pada makhluk. Hanya tunduk pada Allah semata. Sejarah membuktikan hal ini. Setelah berjuang selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah berhasil mewujudkan masyarakat Islam yang dicita-citakan di Madinah. Rasulullah memimpin dan mengatur masyarakat Madinah dengan syariat Allah Swt, dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah di sekitarnya.

Makkah yang semula sangat memusuhinya, tak lama kemudian dapat ditaklukkan dan berbalik jadi pembelanya, kemudian Syam dan Mesir.

Dalam berdakwah, Rasul menyeru pada para pemimpin wilayah-wilayah yang jadi objek dakwah untuk masuk Islam. Misalnya, beliau menyeru pada Heraclius, ‘’Aslim taslam/berIslamlah agar kau selamat’’.

Jelas sekali, semangat penyebaran Islam berbeda sama sekali dengan yang dilakukan Barat. Islam tegak untuk rahmat atas segenap alam. Sementara, Kolonialisme Barat selamanya menyebarkan kejahiliyahan dan kerusakan.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*