Oleh: Farhan Akbar Muttaqi , Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung
“Refleksi Peringatan HUT RI 69: bekerja keras, berfikir cerdas”, demikianlah statement seorang rekan di salah satu jejaring media sosial. Pesannya jelas, bahwa 17 Agustus yang baru saja berlalu mengingatkannya dan juga orang-orang yang melihat statementnya untuk lebih bekerja keras dan bekerja cerdas dalam membangun Bangsa Indonesia yang konon telah merdeka 69 tahun yang lalu.
Apa yang dinyatakannya, sebenarnya hanya satu dari sekian banyak pesan-pesan serupa di tanggal 17 Agustus yang lalu. Berbagai pesan serupa bertebaran pula, dan disampaikan oleh seluruh pihak. Mulai dari pejabat, pengusaha, artis, tokoh masyarakat, ormas, pelajar dan lainnya. Semuanya konon tak lain merupakan wujud dari semangat persatuan untuk membangun bangsa, yang mendadak hadir di benak banyak masyarakat Indonesia di hari tersebut. Tak salah bila banyak orang menganggap bahwa hari itu adalah hari besarnya sebuah ide yang bernama Nasionalisme.
Namun, kini hari tersebut telah berlalu. Muncul sebuah pertanyaan, apakah semangat tersebut akan bertahan? Apakah Ia menjadi komitmen atau hanya menguap terlupakan? Untuk menjawabnya, cukuplah Kita mengingat ulang sejarah yang telah terjadi. Sudah berapa kali bangsa Indonesia melalui hari tanggal 17 Agustus? Apakah selama 69 kali merayakan hari jadinya, bangsa Indonesia sudah menampakkan tajinya sebagai sebuah kesatuan yang bergerak dengan komitmen bangkit bersama?
Tak dapat dipungkiri, kenyataannya komitmen untuk bangkit dapat dipastikan hanya akan kembali menjadi ritus momental. Sejak puluhan tahun menyatakan kemerdekaannya, hanya sehari dalam setahun saja atmosfer kebangkitan itu tumbuh terasa ditengah-tengah rakyat Indonesia, yakni setiap tanggal 17 Agustus. Diluar itu, yang ada hanyalah atmosfer yang lain. Siapa yang dapat menyangsikan, bahwa mereka yang korupsi, yang menjual sumber daya alam ke tangan asing, mereka yang menipu rakyat, mereka yang menzhalimi orang miskin, mereka yang melegalkan kemaksiatan, umumnya adalah mereka yang juga merayakan perayaan kemerdekaan. Spirit kebangkitan di atas pondasi Nasionalisme itu hilang setelah perayaan berlalu. Semuanya kembali pada suhu Kapitalisme yang mampu membuat pelaku perayaan itu saling sikut satu sama lain.
Menguak Nasionalisme
Bila Kita bertanya mengapa atmosfer Nasionalisme itu hanya terasa satu tahun sekali, Kita akan dapati dua kemungkinan. Apakah karena rakyat Indonesia ini terlalu bodoh dan masih perlu terus ditatar untuk mendalami Nasionalisme? Ataukah Nasionalisme itu sendiri yang ternyata merupakan ide keliru yang ‘impoten’ untuk mendorong terciptanya negeri yang bangkit?
Kemungkinan pertama jelas keliru. Hal ini karena dalam prakteknya, Negara sudah diberi kelonggaran waktu dalam upayanya menatar rakyat untuk benar-benar menjadi Nasionalis sejati. Selama puluhan tahun, rakyat sudah dijejali dengan ide Nasionalisme yang dijajakan sebagai pandangan yang wajib diyakini oleh para pemimpinnya. Bahkan, di masa orde baru, pernah ditetapkan sebuah kebijakan yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal yang harus menjadi dasar seluruh organisasi, pelajaran P4 yang dibuat khusus untuk mendorong warga menjadikan kepentingan bangsanya sebagai hal utama dalam hidupnya, dan sebagainya. Namun nyatanya, soliditas tak pernah benar-benar terwujud.
Kesatuan hanya menjadi klaim para pemimpin dan tokoh politik untuk membanggakan diri kepada warga dunia. Sementara di lapangan, tak hanya kerusakan, terjadi pula berbagai konflik dan perpecahan hingga skala yang sangat mikro. Perasaan sebangsa dan setanah air tak mampu menahan warga kampung, anggota geng motor, atau fans pendukung sepakbola untuk melenyapkan nyawa warga sebangsanya. Dalam konteks ini, tak tepat lagi dikatakan bahwa berbagai peristiwa tersebut adalah kasuistik. Dengan jumlah kejadian yang tak terhitung, lebih layak semuanya disebut sebagai kesalahan sistemik. Dimana semuanya didasari pada kekeliruan serta kegagalan konsep Nasionalisme sebagai sebuah ide yang dibuat untuk memajukan dan menjamin soliditas suatu negeri.
Dalam mengurai masalah ini, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani (2003) menuturkan, bahwa Nasionalisme, sebagai sebuah ide yang diciptakan untuk menjadi ikatan di tengah masyarakat adalah ikatan rusak (tabiatnya buruk). Satu di antara alasan yang dikemukakannya adalah karena Nasionalisme hakikatnya bersifat temporal. Kemunculannya hanya dapat terwujud dalam kondisi masyarakat yang sedang membela diri karena datangnya ancaman. Sedangkan dalam keadaan stabil, ikatan ini tidak dapat muncul.
Dengan pemaknaan dari Beliau, Kita sesungguhnya dapat menyimpulkan alasan dari perbedaan dua potret masa yang pernah dilalui Bangsa Indonesia. Yakni pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Di masa pra-kemerdekaan, Nasionalisme yang hakiki dapat tumbuh subur. Kondisi bangsa Indonesia yang saat itu dalam tekanan Belanda dan kemudian Jepang, mampu menjadi gelanggang tempat Nasionalisme tersemai ke dalam dada para pejuang pelawan penjajahan. Hingga jika sebelum abad 20 mereka yang melawan hegemoni penjajah didominasi oleh spirit jihad Islam, maka pasca abad 20, terjadi fragmentasi arah perjuangan tatkala sebagian rakyat mengambil Nasionalisme yang merupakan produk barat sebagai dasar perjuangannya.
Namun pasca Indonesia merdeka dan mendapuk Soekarno, kemudian melakukan pembersihan dari penjajahan fisik asing, secara tiba-tiba nasionalisme menjadi sulit untuk disulut. Kondisi yang nyaman dari tekanan fisik telah membuat rakyat Indonesia tak lagi sekokoh dahulu. Berbagai friksi dan huru-hara antar anggota bangsa yang terjadi, menyiratkan sebuah kesimpulan, bahwa Nasionalisme sudah tidur. Atmosfer perjuangan atas nama sebangsa dan tanah air menjadi luntur seketika. Berbagai upaya yang dilakukan untuk membangunkannya tak memberi perubahan yang begitu berarti hingga kini. Para pemimpin menjual sumber daya alam milik bangsanya keluar negeri, rakyat awam dibius sehingga tak punya pendirian dan memilih sekulerisme warisan penjajah serta derivatnya sebagai konsep hidup, hingga Kita semua tak punya jawaban tentang apa jejak yang ditinggalkan perayaan 17 Agustus yang dirayakan tiap tahunnya..
Nasionalisme mungkin hanya bersisa di kalangan segelintir orang saja. Dalam dada mereka yang mengerti bahwa Indonesia kini masih tertekan dan diserang. Bukan dengan dentuman meriam atau letusan senapan, melainkan dengan budaya dan intervensi para Kapitalis Barat yang melangkah dengan tirakat buruk dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Adapun diluar segelintir itu, hanya mengaku Nasionalis namun tak menunjukkan Nasionalismenya. Rakyat semacam itu merayakan 17 Agustus hanya sebagai momen simbolik yang tak bermakna apa-apa. Mungkin hanya untuk pencitraan, ikut-ikutan atau sekedar meramaikan. Bukan karena mereka mengerti Nasionalisme dan konsisten dalam memperjuangkannya. Lain di lisan, lain pula dalam pemikiran dan perasaan. Ini karena rekayasa dan drama yang diciptakan oleh Para Kapitalis telah membuat mayoritas rakyat sibuk dengan berbagai hal lain, dan malas berfikir banyak tentang negerinya yang hakikatnya masih dijajah.
Bahkan bagi siapa saja muslim yang berfikir cemerlang, tentu akan berkesimpulan bahwa Nasionalisme tak hanya merupakan ide yang keliru yang hanya membuat Indonesia jalan di tempat. Lebih dari itu, Nasionalisme adalah ide khusus yang digunakan untuk menyekat-nyekat kesatuan kaum Muslimin sehingga tercerai-berai satu dengan yang lainnya. Dalam sejarahnya, Nasionalisme tumbuh di Barat bersamaan dengan ide-ide semacam Sekularisme, Kapitalisme dan Demokrasi. Nasionalisme secara khusus digunakan untuk menghancurkan pertahanan dan soliditas kaum muslimin sebagai sebuah kesatuan dalam Negara Khilafah. Pada sekitar abad 18, kaum kafir Barat menyusupkan ide Nasionalisme ke berbagai negeri di penjuru Khilafah lewat sekolah-sekolah misionarisnya. Mereka menyulut api perpecahan dan membuat goyah stabilitas Negara Khilafah. Hingga singkat kisah, akhirnya Khilafah runtuh pada tahun 1924 dan membuat kaum Muslimin tercerai berai ke dalam lebih dari 50 Negara Bangsa. Tanpa persatuan, kaum Muslimin pun bagai buih di lautan. Mereka diombang-ambing oleh ‘dewa angin’ yang tak lain para Kapitalis Barat. Berbagai arah dan kebijakan Negara dipaksa untuk mengikuti kemana Ideologi Kapitalisme hendak berjalan.
Ideologi Islam Jalan Kebangkitan
Bila Nasionalisme terbukti gagal dalam menciptakan stabilitas dan kebangkitan hakiki di tengah masyarakat, lalu apa yang mesti dilakukan? Adakah solusinya? Tentu saja, bila penyakit memiliki obat, maka masalah tentu pasti memiliki solusi. Dan sebagai seorang muslim, tentu menjadi kemestian untuk selalu meyakini bahwa Islamlah solusi bagi setiap masalah; termasuk masalah yang kini membelit kaum Muslimin akibat tertanamnya ide Nasionalisme.
Sebagai sebuah ideologi, Islam tak seperti Nasionalisme yang memiliki sifat temporal. Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu mengikat masyarakat dalam satu kesatuan yang kokoh. Hingga keselarasan interaksi yang dibangun antar anggota masyarakat tak mengenal tempo dan momentum sebagaimana Nasionalisme yang membutuhkan hari kemerdekaan. Dengan ikatan Islam, masyarakat tak mesti menunggu hari kemerdekaan atau momen tertentu untuk merasakan atmosfer kebersamaan. Setiap waktu suasana semacam itu akan terasa. Mengingat menjaga ukhuwah, saling menjaga, bermurah hati, saling mengasihi, tidak menzhalimi adalah kewajiban antar anggota masyarakat muslim sepanjang waktunya. Bahkan lebih dari itu, Islam memiliki cara tersendiri untuk mengikat mereka yang masih kafir agar mampu hidup bersama melalui konsep kafir dzimmi.
Dengan ikatan Islam, stabilitas masyarakat pernah terjaga dan sampai pada taraf yang mengagumkan. Tengoklah potret Negara Khilafah yang menjadi representasi dari wujud masyarakat yang menjadikan Islam sebagai ikatannya. Negara Khilafah yang menaungi sekitar setengah dari daratan dunia, berhasil menciptakan kerukunan di tengah heterogenitas masyarakat, Berbagai kalangan dengan latar agama, suku, bangsa dan bahasa dapat hidup harmonis dalam rentang waktu berabad-abad lamanya.
Will Durrant, sejarawan barat secara jujur mengakui kemampuan Negara Khilafah dalam menjaga stabilitas msyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya menuju kebangkitan hakiki yang komprehensif. Dalam buku The Story of Civilization, Ia menulis, “Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir, bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kesusahan maupun kehidupan mereka”
Walhasil, bila memang Bangsa ini hendak bangkit, maka spirit perjuangan mau tak mau mesti didasarkan pada Ideologi Islam. Sesungguhnya, dengan segala potensinya, Indonesia memiliki modal yang besar untuk menginisiasi tegaknya kembali masyarakat Islam di bawah institusi Negara Khilafah, yang kemudian mampu menghimpun kaum Muslimin di penjuru bumi yang sudah tercerai berai hampir se-abad lamanya. []