Mesir Menjadi Negara Terbuang Karena Bertindak Brutal Terhadap Perbedaan Pendapat

korban kerusuhan rabaa al adawiyah mesir

(FILES) – Sebuah file gambar yang diambil pada tanggal 14 Agustus 2013 menunjukkan seorang pria yang sedang berduka saat melihat salah satu dari banyak mayat yang tergeletak di kamar mayat dalam kamar mayat yang dibuat seadanya setelah pasukan keamanan Mesir menyerbu dua kamp protes besar di lapangan Rabaa al-Adawiya dan Al Nahda di mana para pendukung presiden terguling Mohamed Morsi berkemah di Kairo. Setahun setelah tindakan keras dan berdarah di Kairo itu, Presiden Abdel Fattah al-Sisi telah memperketat cengkeramannya pada Mesir, dengan menghancurkan Ikhwanul Muslimin, menahan para petingginya dan mengekan kebebasan sipil, kata para kritikus. Pada tanggal 14 Agustus 2013, setelah menggulingkan presiden pertama Mesir yang dipilih secara bebas, Mohamed Morsi, tindakan keras terhadap ribuan pendukungnya di kamp-kamp protes di Kairo Rabaa al-Adawiya dan Al Nahda menewaskan ratusan orang.

 

Presiden Obama menegaskan bahwa adalah demi kepentingan AS untuk mempertahankan kemitraan strategis dengan pemerintahan baru otoriter Mesir, sementara Menteri Luar Negeri John F. Kerry terus mengklaim bahwa orang kuat Mesir, Jenderal Abdel Fatah al-Sissi, sebenarnya pemimpin demokrasi. Jadi, realitas yang diberikan oleh Human Rights Watch pada pekan ini sangat layak perhatian. Menurut penelitian yang telah dilakukan selama setahun dan dilakukan oleh kelompok HAM itu,rezim sekutu pemerintahan AS di Kairo itu dianggap bersalah atas “pembunuhan demonstran terbesar di dunia dalam sejarah yang dilakukan dalam sehari” dan rezim Mesir itu layak dituntut atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Jangan berharap bahwa Dewan HAM PBB atau Dewan HAM Eropa akan berbaris menentang Israel untuk memperhatikan hal ini, tapi pembantaian yang dipentaskan oleh pasukan keamanan Mesir pada tanggal 14 Agustus 2013, di Lapangan Rabaa Mesir, jauh melebihi hal itu, dengan menggunakan kekuatan berlebihan dalam pembantaian terhadap kaum perempuan dan anak-anak, yang juga merupakan tindakan oleh Israel selama terjadinya pertempuran baru-baru ini di Gaza. Menurut penyelidikan Human Rights Watch, setidaknya 817 orang, dan mungkin lebih dari 1.000 orang, telah tewas ketika polisi dan pasukan tentara Mesir maju ke alun-alun melewati kelima pintu masuk utama, dan didukung oleh kendaraan lapis baja, buldoser dan para penembak jitu yang berada di atap gedung-gedung.

Puluhan ribu orang, termasuk banyak wanita dan anak-anak, sedang berkemah di alun-alun protes itu dari kudeta militer tanggal 3 Juli terhadap pemerintah terpilih Mohamed Morsi. Dua belas jam kemudian daerah itu penuh dengan mayat dan masjid-masjid dan rumah sakit-rumah sakit terbakar. Selain itu, pasukan keamanan menahan lebih dari 800 orang, yang dipukuli, disiksa dan dalam beberapa kasus dieksekusi, menurut para saksi yang diwawancarai oleh Human Rights Watch.

Mungkin penemuan yang paling mengejutkan dari laporan ini adalah bahwa para pemimpin senior Mesir mengantisipasi dan merencanakan untuk melakukan pembunuhan massal. Para pejabat Kementerian Dalam Negeri mengatakan kepada para pekerja HAM sembilan hari sebelum operasi itu bahwa mereka mengharapkan lebih dari 3.500 orang tewas. Setahun kemudian, pemerintah menyangkal telah melakukan kesalahan dan tidak mengenakan tudahan terhadap seorangpun dari polisi atau perwira tentara sehubungan dengan pembantaian itu. Sebaliknya, sebuah monumen untuk merayakan pasukan keamanan telah didirikan di Lapangan Rabaa. Para pengacara Human Rights Watch percaya bahwa lebih dari selusin pejabat senior yang memerintahkan atau mengawasi operasi itu harus diselidiki atas kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk Jenderal Sissi.

Lebih banyak orang yang meninggal pada tanggal 14 Agustus di Lapangan Rabaa daripada di Lapangan Tiananmen Beijing pada tahun 1989 atau dalam pembunuhan massal para pemrotes sejak saat itu, menurut perhitungan kelompok HAM itu. Dalam 12 bulan terakhir, rezim paling represif di Mesir dalam beberapa dekade telah mendapatkan pijakan; dimana ribuan anggota kelompok oposisi Ikhwanul Muslimin telah dijatuhi hukuman mati, sementara para wartawan sekuler dan para pemimpin gerakan pro-demokrasi Mesir telah dipenjara atas tuduhan yang dibuat-buat.

Pemerintahan Obama tetap memperlakukan arsitek pembantaian itu, Jenderal Sissi, sebagai mitra yang berharga daripada memperlakukannya sebagai seorang firaun. Gedung Putih tampaknya percaya bahwa rangkulan tanpa prinsip atas rezim itu dan promosi sinis atas kebohongan lah yang akan “memulihkan demokrasi” dan memajukan kepentingan AS di Timur Tengah lebih luas. Ini adalah taruhan yang buruk. Sebagaimana yang dikatakan oleh Presiden Human Rights Kenneth Roth, “Mesir tidak akan bergerak maju hingga mereka menerima dan menghadapi noda darah pada sejarahnya.” ( Washington Post, 12/8/2014)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*