PP Nomor 61 tahun 2014 : Kesehatan Reproduksi Pro Liberalisasi
Oleh: Pratma Julia S. (Lajnah Siyasiyah DPP MHTI)
Publik Indonesia kembali kecolongan. Euforia masyarakat yang menanti calon presiden terpilih, dimanfaatkan pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pro aborsi. Secara diam-diam pada tanggal 21 Juli 2014 lalu SBY telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan itu disahkan demi melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kontroversi timbul karena pasal 31 ayat (2) PP itu mengatur kebolehan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan, sesuai materi pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan. Yang dimaksud indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Sedangkan aborsi akibat perkosaan dibolehkan dengan alasan dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.
Apapun alasannya, rasa religiusitas publik Indonesia belum bisa menerima aborsi, sekalipun terhadap korban perkosaan. Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjalankan PP itu. Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Zaenal Abidin, menyatakan, “Berdasarkan Sumpah Dokter butir 6 dan Kode Etik Kedokteran pasal 11, tindakan aborsi untuk indikasi selain medis jelas bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran. Apakah aborsi sudah menjadi solusi terbaik untuk kasus pemerkosaan? Ataukah akan menimbulkan masalah sosial dan moral baru yang lebih besar? ”
Zaenal Abidin menganggap PP itu rentan untuk disalahgunakan. Kendati tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa, namun ada beberapa kondisi yang juga dilonggarkan. Alasan tersebut bisa dimanfaatkan oleh perempuan yang stres karena kehamilan yang tidak direncanakan untuk melakukan aborsi. Di sisi lain, aturan itu bakal mempidanakan dokter yang menjalankan praktek aborsi sesuai pasal 349 KUHP karena menghilangkan nyawa orang lain.
Bahaya Legalisasi Aborsi
Keresahan dokter Zainal setidaknya telah mewakili ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk hukum Indonesia yang penerapannya seringkali menyimpang dari makna tekstualnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa perempuan yang minta diaborsi memang menjadi korban perkosaan? Dalam kasus perkosaan, keutuhan barang bukti korban perkosaan amat sulit ditemukan. Setelah kejadian yang mengerikan itu biasanya korban akan merasa jijik dan segera mencuci dirinya bersih-bersih. Sehingga aparat akan sulit membuktikan permintaan aborsi apakah dikarenakan perkosaan atau pergaulan bebas.
Apalagi realitas di Indonesia menunjukkan aborsi bukan lagi perkara tabu untuk dilakukan pelaku pergaulan bebas. Pada sebuah seminar yang dilakukan BKKBN dan Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi (PU-ATKIB), Universitas Indonesia pada 9 Agustus 2014, Direktur PU-ATKIB, Prof Biran Affandi SpOG (K), FAMM menyajikan data sekitar 2,1-2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi, 30 persen di antaranya remaja. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, dr Julianto Witjaksono SpOG, KFER, MGO juga mengungkapkan sebuah realitas yang cukup mengejutkan. Sekitar 46 persen remaja berusia 15-19 tahun belum menikah sudah berhubungan seksual. Realitas itu dikuatkan oleh penilaian Ketua PB GRI Dr Sulistyo MPd yang mengatakan, “… usia aktivitas seksual remaja makin menurun dari SMA ke SMP. Anak usia SD di beberapa daerah juga mulai ada tanda-tanda aktivitas seks.” Bahkan dari data Riskesdas 2010 disebutkan, 0,5 persen perempuan dan 0,1 persen laki-laki pertama kali berhubungan seksual di usia 8 tahun! (bkkbn, 9/8/2014).
Pemerintah memang telah melakukan kekeliruan yang sangat besar. Realitas pergaulan bebas yang merebak di kalangan kaum muda, justru disikapi dengan melegalisasi aturan yang makin memperparah keadaan. Sebenarnya penerbitan PP no 61/2014 bukan melulu tentang aborsi. Namun esensi PP ini adalah komitmen pemerintah untuk memberikan perangkat hukum terhadap kesehatan reproduksi, termasuk berkaitan dengan hak perempuan untuk menentukan kehamilan yang terjadi dirinya. Tentu saja dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan “hanya sekedar aborsi”.
Jika saat ini kaum muda Indonesia makin terbiasa dengan perilaku seks bebas, lalu muncul UU Kesehatan -dengan Peraturan Pemerintah tentang Kespro, bahkan akan diikuti dengan sekitar lima permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) untuk menguatkan operasional kebolehan aborsi-, tidakkah peraturan- peraturan tersebut akan melegalkan kebiadaban mereka? Bukankah nanti, pelaku Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi akibat pergaulan bebas akan mudah minta janinnya diaborsi dengan alasan kasus perkosaan? Begitulah realitanya. Antara kejadian di lapang, dan kewenangan pemerintah -yang seharusnya menjaga kemuliaan kehidupan- saling bertolak belakang. Pemerintah tidak lagi menjadikan aturan “Ketuhanan Yang Maha Esa” -yang menganggap pembunuhan calon manusia sekalipun- sebagai perilaku kriminal.
Kepentingan Global
Pemerintah memang berada dalam posisi ‘dipaksa’ untuk mengadopsi kepentingan global, sehingga hilang kedaulatannya untuk berkata “tidak” pada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip hidup sebagai bangsa beragama. Melalui mekanisme hubungan politik Global Governance, ‘aktor transnasional’ (negara/pemerintahan, lembaga, korporasi atau individu lintas negara) tak henti-hentinya bekerja bersama untuk mem-format Indonesia masa depan. Semua berawal dari potensi sumber daya dan geostrategis Indonesia yang sungguh luar biasa. Penjajahan gaya baru yang sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka, belum berhasil mengeksploitasi potensi Indonesia secara habis-habisan. Karena itu berbagai strategi baru harus dijalankan agar mampu menguasai seluruh potensi itu. Namun kemusliman mayoritas penduduk Indonesia masih menjadi penghalang yang cukup signifikan untuk melakukan penjajahan, terutama dalam menerima nilai-nilai universal kapitalis sekuleris. Problem ini harus ditangani secara teliti, agar tidak menjadi ancaman namun sebaliknya akan menjadi kekuatan yang akan menguntungkan program-program imperialisme.
Imperialisme politik-ekonomi makin menemukan muaranya dalam sistem demokrasi. Mengatasnamakan rakyat, berbagai regulasi disusun pemerintah dan legislator untuk mengokohkan agenda penjajahan Barat. Dalam arus inklusifitas yang menuntut keterlibatan setiap orang dalam proses pembangunan, program yang menjadikan perempuan sebagai sasaran utama masih menjadi menu andalan Barat. Sebagaimana program keadilan dan kesetaraan gender (KKG) dan pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP), program kontrol populasi menjadi strategi unggulan untuk menanamkan nilai-nilai kapitalis sekularis yang liberal.
Dalam kebijakan kontrol populasi, secara khusus pemerintah mengacu pada Programme of Action (PoA) yang diputuskan dalam International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo pada 5–13 September 1994. Konferensi yang dipandu United Nations Population Fund (UNFPA) itu memang membahas secara khusus topik perlindungan bagi perempuan dari aborsi yang tidak aman, selain masalah pengendalian kelahiran, keluarga berencana, pendidikan perempuan, dan berbagai masalah kependudukan. PoA didasari oleh gagasan bahwa perlu dilakukan upaya peningkatan status sosial, ekonomi, politik dan kesetaraan bagi perempuan, termasuk dalam hak kesehatan seksual dan reproduksi (sexual and reproductive health and rights /SRHR). Konsep SRHR dipandang sebagai salah satu kemajuan ICPD, mengingat pembahasan tentang aborsi telah menuai kritik pedas dari negara-negara muslim dan Vatikan.
Indonesia menjadi salah satu di antara 179 negara yang mengadopsi program ICPD. Komitmen Indonesia untuk melaksanakan Programme of Action (PoA) tertuang dalam Indonesia: The ICPD+20 and the Unfinished Agenda, yang dikeluarkan BKKBN dan UNFPA Indonesia tertanggal 1 April 2014. Dokumen tersebut makin menguatkan tekanan internasional agar Indonesia menuntaskan agenda yang mengaruskan isu liberalisasi hak seksual. Salah satu poin rekomendasi adalah mengharuskan pemerintah melakukan upaya untuk menghasilkan produk hukum dan kebijakan yang akan menunjang pelaksanaan UU Kesehatan tahun 2009, terutama dalam kesehatan reproduksi (kespro) remaja. Desakan kuat aktor global terhadap kespro, menunjukkan betapa krusialnya implementasi agenda itu di Indonesia. Jika tidak, tak mungkin SBY mau ‘mengorbankan’ citra dirinya di hari-hari terakhir pemerintahannya untuk mengeluarkan keputusan yang kontroversial ini.
Muatan Liberalisasi Aturan Kespro
Sungguh amat disayangkan, pemerintah amat gegabah dalam membuat komitmen bersama Barat dengan mengatasnamakan program pengendalian penduduk. Betapa tidak, rekomendasi yang diberikan UNFPA dalam program kontrol populasi, amat kental dengan muatan liberalisasi. Tak bisa dipungkiri, pengarusan ide kespro justru akan memberi kemudahan bagi kebebasan kaum muda untuk memenuhi hak seksualnya. Semangat liberalisasi itu tampak dalam klausul rekomendasi yang menyatakan ‘memastikan remaja menyadari hak-hak mereka atas kesehatan seksual dan reproduksi, sehingga mereka mampu diberdayakan untuk membuat pilihan informasi dan keputusan.”
Rekomendasi itu diterjemahkan dalam Pasal 26 Ayat (2) PP dengan penyesuaian terhadap kondisi Indonesia. Pasal itu menegaskan bahwa setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah. Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud meliputi kehidupan seksual yang: (a). Terbebas dari infeksi menular seksual; (b). Terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual; (c). Terbebas dari kekerasan fisik dan mental; (d). Mampu mengatur kehamilan; dan (e). Sesuai dengan etika dan moralitas.
Poin ‘e’ dalam pasal itu berfungsi sebagai ‘pemanis’ belaka, demi mengakomodasi kalangan konservatif dan lembaga-lembaga keagamaan. Namun siapa bisa menjamin bahwa perintah agama dan norma moralitas lebih diindahkan daripada kesenangan ragawi? Kalaupun negri ini adalah negri muslim terbesar sedunia, kemusliman mereka hanya tinggal ritual yang terpenjara dalam masjid dan momen-momen tertentu saja. Sehingga cara bergaul mereka tak lagi beda dengan remaja London ataupun New York. Kini, masyarakat kita telah menjadi masyarakat kapitalis yang secara otomatis memiliki pandangan sekuler dan liberal dalam mengarungi kehidupan, termasuk cara pandangnya dalam sistem pergaulan.
Konsep SRHR ini jelas konsep yang membahayakan, karena tidak lagi memandang salah satu parameter kemuliaan seorang manusia -terutama perempuan- bila dia mampu menjaga diri dari dalam pergaulannya, terjaga dari hubungan lewat batas, apalagi perzinahan. SRHR merupakan turunan konsep liberalisme yang lahir dari rahim ideologi sesat kapitalis, yang menjadikan HAM sebagai tuhan baru. HAM mengadopsi berbagai kebebasan, di antaranya kebebasan berperilaku -termasuk bebas memperlakukan kemaluannya tanpa rasa malu-.
Bagaimana tidak, sexual rights (hak seksual) dalam SRHR dimaknai sebagai hak dasar manusia yang diakui oleh konsensus internasional berupa bebas dari tekanan, diskriminasi, kekerasan untuk mendapatkan informasi terkait seksualitas serta memiliki kehidupan seks yang menyenangkan, sehat, dan memuaskan. Konsekuensinya, bila hak-hak seksual diakomodir, maka akan menjadikan seseorang bebas untuk memilih pasangan sesukanya (beda agama, beda atau sesama jenis), mau aktif secara seksual atau tidak (walaupun tidak menikah secara sah), mau menikah atau tidak (tapi aktif secara seksual), juga pilihan memutuskan ingin punya anak atau tidak (meski tidak memiliki suami, atau menitipkan janin pada perempuan lain/surrogate mother). Bukankah semua itu menjadi pemicu untuk makin mengakomodasi keinginan meluapkan nafsu syahwat? Apalagi dalam sistem ekonomi kapitalis yang menghalalkan segala cara, meniscayakan relasi sosial dan penemuan sarana baru yang tidak bisa terpisah dari paradigma seksualitas.
SRHR memang mengakomodasi hak atas kebebasan dan keamanan seksual dan reproduksi. Artinya tiap orang berhak untuk bebas menikmati dan mengendalikan kehidupan seksual dan reproduksi dengan juga menghargai hak orang lain. Klausul menghargai orang lain adalah kalimat klise yang sering didengungkan pemuja kebebasan. Artinya, siapapun boleh melanggar aturan agama dan norma kemasyarakatan, asal tidak menganggu privasi orang lain. Ketidakpedulian terhadap aturan Allah SWT makin menguat, karena SRHR juga menginginkan setiap orang berhak untuk bebas dari rasa takut, malu, bersalah terhadap keyakinan dan faktor psikologis lain yang menghambat dan merusak kehidupan seksual.
Sejatinya, keputusan ICPD untuk melegalisir SRHR dan mengaruskannya kepada masyarakat dunia, justru didorong oleh ketidakmampuan ‘tuhan baru’ HAM untuk mengatasi problem pergaulan bebas manusia. Lihatlah, masalah – masalah yang dihadapi generasi muda terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas menunjukkan betapa mengerikannya masalah itu. Aliansi Remaja Independen (ARI) telah menghimpun beberapa masalah pergaulan yang kerap dihadapi remaja. Yakni, tingginya angka HIV dan AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), kehamilan yang tidak direncanakan, informasi yang salah mengenai seksualitas dari film porno, anak muda yang sudah aktif berhubungan seksual namun tidak aman, aborsi yang tidak aman, kesulitan akses layanan kesehatan reproduksi dan seksual oleh anak muda, kekerasan seksual, diskriminasi terhadap anak muda LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dan rendahnya kepercayaan dan penerimaan diri anak muda LGBT.
Semua masalah itu tidak muncul secara tiba-tiba di lingkungan kita. Semua berawal sejak kapitalisme makin berjaya pada masa Orde Baru. Budaya Barat yang bersendikan perilaku bebas menjadi referensi kaum muda Indonesia. Dalam persepsi kapitalis jika muncul ketertarikan seksual, maka dorongan itu harus dipenuhi’. Kalau tidak dipenuhi, akan menimbulkan bencana sosial, yang bahkan bisa menghantarkan pada kematian. Pandangan kedaruratan itulah yang menyebabkan Barat mencari segala cara untuk memenuhi dorongan seksualitas. Jadi jika cara atau sarana itu belum bisa diterima masyarakat, mereka akan mengerahkan segenap kemampuan demi meraih tujuan itu.
Salah satu agenda yang belum usai ditangani pemerintah, adalah merevisi usia minimum perkawinan. Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan nomor 1/1974 masih mencantumkan usia minimum perkawinan untuk perempuan 16 tahun. Alasannya, pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan batas usia dewasa untuk menikah dinyatakan 18 tahun. Realitasnya, ketika remaja belasan tahun diprovokasi untuk memenuhi hak seksualnya, sementara UU yang berlaku melarang menikah di usia muda, bukankah hal ini akan membuka jalan untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan? Apakah demikian yang dikehendaki pemerintah dan pihak-pihak yang berada di belakang UU liberal itu?
Apalagi jika Kita memperhatikan rekomendasi tentang penggunaan alat kontrasepsi. Walaupun bunyi Pasal 23 Ayat (1,2) PP ini mencantumkan Setiap pasangan yang sah harus mendukung pilihan kontrasepsi sebagaimana dimaksud, dan berpartisipasi dalam penggunaan metode kontrasepsi, siapa yang bisa menjamin bahwa yang membeli alat kontarsepsi adalah pasangan sah? Apalagi dalam Indonesia: The ICPD+20 and the Unfinished Agenda juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar mulai memikirkan akses individu yang belum menikah tapi aktif secara seksual untuk mendapatkan jasa (services) pelayanan kontrasepsi. Paksaan itu terjadi karena peraturan di Indonesia tidak memungkinkan penyediaan layanan keluarga berencana bagi individu seperti itu. Karena itu PoA ICPD mengamanahkan pemerintah agar mempermudah masyarakat mendapat informasi dan akses terhadap metode kontrasepsi yang aman, efektif dan terjangkau. Belum dilegalisasi saja, penyimpangan penggunaan alat kontrasepsi saja sudah demikian luas. Liputan wartawan Tribun menyebutkan, sejumlah petugas apotik di Makassar mengaku penjualan kondom menjelang tahun baru 2014 meningkat pesat. Mirisnya, konsumen alat kontrasepsi itu mayoritas adalah pelajar SMA, mahasiswa dan pemuda (tribunnews, 30/12/2013).
Bila demikian halnya, apakah kita akan membiarkan generasi muda ini terbelenggu dengan paham-paham liberal yang menyesatkan? Dalam rekomendasi ICPD +20, Barat meminta pemerintah pusat dan daerah memperkuat komitmen dan mempromosikan partisipasi kaum muda di semua tingkat program dan pengembangan kebijakan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi kespro. Bahkan untuk menyebarluaskan ide rusak itu, kaum liberal berusaha melakukan advokasi agar para pendidik mengakomodasi pendidikan seksual yang komprehensif. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menanggapi keinginan itu dan mengatakan, kurikulum 2013 telah memuat pendidikan kesehatan reproduksi sesuai dengan tahapan pendidikan anak. Tak hanya pemerintah, Barat meminta kalangan swasta turut berperan dalam penyediaan pendidikan SRH, informasi, dan pelayanan kepada orang-orang muda. Jika semua rekomendasi itu dipenuhi pemerintah, dan segenap aktor sipil -baik korporasi, institusi, komunitas dan individu ikut mengawal pelaksanaannya, tidak mustahil bangsa ini akan menuai kerusakannya. Tak cukupkah semua kerusakan yang membawa petaka itu kita rasakan?
“Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan akibat ulah tangan manusia, agar Dia (Allah) mencicipkan mereka (untuk merasakan) sebagian dari apa yang telah mereka kerjakan, supaya mereka kembali (kepada Allah).” (TQS ar-Rum [21]: 41). Bila kita menginginkan perubahan menuju perbaikan, niscaya Kita akan tinggalkan semua paham yang merusak itu.
Khilafah Musnahkan Masalah Pergaulan Bebas
Kaum muda adalah harapan sebuah peradaban. Jika kaum muda lemah, tak ada lagi yang menyelamatkan peradaban masa depan. Pemikiran liberal yang mengagungkan syahwat, harus dilenyapkan. Apalagi masalah-masalah generasi yang terkait pergaulan seperti perkosaan yang memicu aborsi, sebenarnya berangkat dari kegagalan sistem kapitalis mengelola naluri seksual pada manusia. Pergaulan bebas terjadi akibat diterapkannya sistem pergaulan (nidzam ijtima’i) yang salah, yang merupakan turunan dari sistem kufur. Inilah pangkal mula masalah. Sehingga untuk keluar dari semua masalah itu adalah meninggalkan sistem kufur kapitalis sekuleris dan kembali kepada sistem Islam.
Dalam sistem Islam, keluarga, masyarakat dan negara Khilafah menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk melahirkan generasi berperadaban mulia. Yakni generasi yang pola pikir dan pola sikapnya sesuai tuntunan Islam. Sebagai pemerintah, Khalifah akan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, termasuk sistem pergaulan. Melalui sistem pergaulan (nizham ijtima’i), negara akan menerapkan wajibnya infishal, yaitu pemisahan komunitas laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan khusus seperti di rumah, maupun dalam kehidupan umum seperti di sekolah dan jalan raya. Hanya kondisi-kondisi tertentu saja yang dibolehkan untuk ikhtilath, seperti saat bersilaturahmi antarkerabat, berjual-beli di pasar, beribadah haji (seperti tawaf), dan sebagainya. Peraturan ini tentu akan sangat kondusif untuk melahirkan generasi islami yang salih dan salihah, karena akan menghindarkan mereka dari pergaulan bebas dan liar ala Barat seperti sekarang ini (Muqaddimah ad-Dustur, I/321).
Maka dari itu, negara akan melarang berbagai kebiasaan yang bertentangan dengan Islam yang merusak proses pembentukan generasi islami. Misalnya perkumpulan muda mudi yang justru melakukan advokasi dan pendampingan kespro di sekolah ataupun komunitas tertentu. Negara juga akan mengawasi dan menindak komunitas hobi, seperti perkumpulan musik, perkumpulan olah raga, jika aktivitasnya bertentangan dengan syariah islam. Negara juga akan melarang berbagai kafe, bar, klub, atau lokasi-lokasi wisata, seperti hotel dan pantai; juga berbagai play station, warung internet (warnet) dan sebagainya yang umumnya menjadi tempat kumpulnya anak muda jika di tempat-tempat tersebut terjadi penyimpangan syariah, seperti membolos dari sekolah, beredarnya minuman keras, adanya transaksi narkoba, aktivitas pacaran, dan semisalnya.
Negara pun akan melakukan pengaturan dan pengawasan media massa seperti koran, majalah, buku, tabloid, televisi, situs internet, termasuk juga sarana-sarana hiburan seperti film dan pertunjukan, berbagai media jaringan sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya. Tujuan pengawasan ini agar semua sarana itu tidak menjadi wahana penyebarluasan dan pembentukan opini umum yang dapat merusak pola pikir dan pola sikap generasi muda Islam (Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Wasa’il al-I’lam fi ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 6-7).
Negara Khilafah akan memberlakukan sanksi-sanksi syariah (al-‘uqubat) yang tegas sebagai upaya kuratif terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran syariah, baik sanksi itu berupa hudud, jinayat, mukhalafat maupun ta’zir. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 17-21). Penerapan sanksi-sanksi hukum oleh negara ini juga merupakan upaya kuratif untuk melahirkan generasi islami. Sebab, upaya preventif bisa jadi masih dilanggar juga. Maka dari itu, maka hukum-hukum syariah yang bersifat kuratif ini akan memainkan perannya secara efektif. Sebagai contoh, Islam telah mengharamkan zina; juga mengharamkan perbuatan-perbuatan yang dapat menghantarkan zina, seperti khalwat (berduaan dengan lain jenis). Ini hukum preventif. Namun, kalau hukum ini masih dilanggar juga, sanksi syariah sebagai hukum kuratif mau tak mau akan diterapkan. Mereka yang berzina akan dijatuhi hukuman cambuk 100 kali cambukan jika yang berzina bukan muhshan (QS an-Nur [24]: 2). Khalifah boleh menambah hukuman ini dengan hukuman pengasingan (taghrib) selama satu tahun. Adapun jika yang berzina sudah muhshan, hukumnya dirajam sampai mati, berdasar hadis-hadis Nabi saw. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 27-29). Contoh lain, Islam telah mengharamkan homoseksual. Islam juga mengharamkan dua orang laki-laki tidur di bawah satu selimut. Ini hukum preventif. Namun, kalau ada laki-laki yang tetap nekat melakukan perbuatan homoseksual, maka syariah memberikan hukuman tegas sebagai hukum kuratif, yaitu menjatuhkan hukuman mati (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 40).
Demikianlah, negara Khilafah akan menerapkan sanksi-sanksi syariah (al-‘uqubat) ini bagi siapa saja yang melanggar syariah Islam. Maka penerapan sanksi ini diyakini akan dapat turut melahirkan generasi islami yang bermoral. Sebab, di balik sanksi-sanksi yang tegas itu sebenarnya tersembunyi suatu hikmah yang baik, yaitu menimbulkan efek jera (zawajir) di kalangan masyarakat luas, sehingga individu masyarakat (termasuk kaum mudanya) tidak berani melakukan pelanggaran syariah, seperti berzina atau melakukan liwath (homoseksual).
Khatimah
Bisa jadi, dunia Islam masih tersilaukan dengan kehidupan sejahtera ala masyarakat Barat. Namun kesejahteraan yang dipotret dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia itu hanyalah kesejahteraan semu. Masyarakat Barat adalah pengidap penyakit sosial nomor satu, termasuk penyakit sosial yang muncul akibat perilaku liberal yang tidak mau mengindahkan aturan Sang Maha Pencipta. Semua itu terjadi karena sistem mereka yang rusak dan merusakkan. Jika sudah terbukti kerusakan itu, akankah kita masih membebek dan suka rela mengakomodasi kepentingan-kepentingan penjajah kapitalis? Padahal agenda-agenda mereka hanya menjerumuskan kita dalam kebinasaan.[]