Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik dan Musuh Politik Bani Umayyah

Sulaiman bin Abdul Malik menjadi khalifah pada tahun 96-99 H/715-717 M. Dia lahir di Madinah 54 H/674 M, lalu tumbuh dan berkembang di Syam. Dia lebih menyukai kawasan pedalaman, dan banyak menetap di sana. Di sana dia membangun istana untuk persinggahan. Dia khalifah yang sangat taat, adil, wara’, takut kepada Allah dan bertakwa, meski sangat suka berperang.

Ketika saudaranya menjadi khalifah, dia dijadikan pembantunya. Sulaimanlah yang mendorong saudaranya, saat menjadi khalifah, untuk membangun masjid Jamik Amawi di Damaskus. Dia diangkat menjadi wali di Palestina sampai saudaranya mangkat. Saat pengambilan baiat untuknya di Damaskus, dia masih berada di Ramallah, Palestina.

Ketika menjadi khalifah, kebijakannya yang paling menonjol adalah memberhentikan beberapa tokoh penting yang sebelumnya berjasa pada negara. Sebut saja, Muhammad bin al-Qasim, Qutaibah bin Muslim dan Musa bin Nushair. Mereka semuanya diberhentikan setelah al-Hajjaj bin Yusuf meninggal dunia, sebelum dia menjadi khalifah. Diberhentikannya tokoh-tokoh penting ini menandai era baru, setelah Khilafah Umayyah berhasil melakukan penaklukan, terciptanya stabilitas dan keamanan di dalam negeri.

Kebijakan ini juga merupakan langkah penting Khalifah untuk melakukan rekonsiliasi politik. Lawan-lawan politik yang sebelumnya telah dijadikan tahanan politik, khususnya kalangan non-Arab, yang jumlahnya mencapai ribuan, telah dibebaskan. Mereka kemudian direkrut menjadi tentara. Kompensasi yang diberikan kepada tiap invidu rakyat ditingkatkan, sehingga masing-masing mendapatkan 25 dirham/bulan. Tak pelak, kebijakan ini membuat Sulaiman bin Abdul Malik dicintai dan dielu-elukan oleh rakyatnya.

Tokoh-tokoh yang diberhentikan, seperti Musa bin Nushair, misalnya, masih diberi tempat. Tidak serta merta dibuang. Dia masih dimintai nasihat, bahkan diajak bersama-sama mengikuti rombongan haji dengan Khalifah (97 H/716 M). Musa kemudian meninggal dunia di Madinah. Ada yang mengatakan meninggal di Wadi Qura.

Di wilayah Timur, negara disibukkan untuk memadamkan gerakan yang mulai tampak di hadapannya. Seperti gerakan Khawarij, gerakan Yazid bin al-Mulhib, termasuk perselisihan di antara bangsa Arab di Khurasan. Kondisi inilah yang kemudian dieksploitasi oleh keturunan ‘Abbasiyah untuk kepentingan mereka. Mereka mulai melakukan aksi-aksi rahasia mereka.

Kondisi inilah, yang antara lain, memengaruhi aktivitas penaklukan di zamannya, yang tidak segencar era sebelumnya. Namun, Khalifah yang wara’ dan adil ini mampu mempertahankan wilayahnya. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk mengokohkan kedudukan kaum Muslim di wilayah-wilayah tersebut. Khususnya di wilayah Timur. Dengan keadilan, kewara’an, ketakwaan dan perhatiannya yang begitu besar kepada rakyatnya, serta kebijakannya yang sangat simpatik dan manusiawi kepada musuh-musuh politik Bani Umayyah sebelumnya, masalah-masalah yang dihadapi Khalifah tadi masih bisa diatasi.

Namun, tidak berarti di zamannya sama sekali tidak terjadi penaklukan. Karena penaklukan terus dilakukan ke arah Bizantium. Tahun 96 H/715 M, benteng perbatasan Bizantium dengan Khilafah Umayyah berhasil ditaklukkan. Tahun berikutnya, 97 H/716 M, benter Mar’ah juga telah berhasil ditaklukkan. Khalifah juga menyiapkan kampanye besar-besar dengan serangan laut yang dipimpin oleh Umr bin Hubairah al-Fazari.

Saat itu, dia sanggup menghimpun 180 ribu tentara dari penduduk Syam, Jazirah Arab, Mousul, ditambah 1.800 divisi maritim. Pasukan bergerak hingga ke Anatolia, lalu sampai di Amuriah, dan berhasil mengepungnya. Pasukan ini bergerak di selat Dardanela dan Laut Marmara. Jalur perdagangan yang mengarah ke Laut Hitam pun berhasil ditutup, sehingga membuat Bizantium kalang kabut.

Itulah, sepenggal kisah, kebijakan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*