Khilafah Dalam Hadits Rasulullah SAW

khilafahMenghangatnya perbincangan tentang ISIS di media akhir-akhir ini, telah dijadikan oleh sebagian kalangan yang tidak suka terhadap Islam, untuk menjauhkan masyarakat dari ide khilafah. Keburukan keburukan yang disematkan kepada ISIS seolah menjadi absah untuk disematkan pula bagi sistem khilafah dan para pejuangnya. Padahal khilafah ‘ala minhajin nubuwwah jelas berbeda dengan Khilafah abal-abal dan tidak memenuhi syarat, pilar-pilar, batasan syar’iy, sebagaimana khilafah yang diproklamirkan ISIS. Oleh karena itu, kita mesti hati-hati agar tidak terjebak dalam kesalahan, termasuk menolak perkara yang wajib bahkan melecehkannya.

Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia guna menerapkan syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah atau al-Imamah al-‘Uzhma merupakan perkara ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah (telah dimaklumi sebagai bagian penting dari ajaran Islam). Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa mendirikan kekhilafahan hukumnya wajib. Riwayat Ijma’ ini, dinyatakan oleh para ulama mu’tabar dalam mazhab-mazhab Islam.

Istilah khilafah atau khalifah sendiri merupakan dua istilah yang disebut dalam hadis-hadis Rasulullah saw., bukan semata hasil ijtihad para ulama. Terdapat banyak hadis Rasulullah Saw yang membahas seputar khilafah, baik yang secara langsung menggunakan istilah khilafah dan kholifah, ataupun lafadz-lafadz lain yang menunjuk kedua makna itu, baik secara keseluruhannya, ataupun sebagiannya. Bukan hanya membahas perintah menegakan khilafah dan perincian sistem ini, namun diantara hadis-hadis itu juga berisi tentang kabar gembira (bisyarah) kembali berdirinya daulah khilafah di masa yang akan datang. Di antara hadis-hadis itu adalah:

 

  1. Hadits-hadits yang secara langsung menggunakan lafadz Khilafah atau Khalifah

 

  1. عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ، فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ، فَقَالَ: يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي الْأُمَرَاءِ ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ، فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ، فَقَالَ حُذَيْفَةُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا ، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ ” ثُمَّ سَكَتَ. رواه أحمد

 

Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, “Saya hafal khuthbah Nabi saw.” Hudzaifah berkata, “Nabi saw bersabda, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam” (HR. Imam Ahmad)[1].

Berdasarkan hadits ini, jelaslah bahwa penyebutan sistem pemerintahan Islam sebagai sistem khilafah adalah penyebutan dengan hadits. Bukan Istilah yang dibuat oleh para ulama. Meski demikian, sebuah istilah tentu tidak harus secara langsung menggunakan lafadz dalam nash. Hadits ini juga merupakan kabar gembira akan berdirinya khilafah di masa yang akan datang.

 

  1. عن سَفِينَةُ رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:الْخِلاَفَةُ فِي أُمّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً، ثُمّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ. رواه أحمد وحسنه الأرناؤوط.

Kekhilafahan dalam umatku 30 tahun.” (HR. Ahmad)[2]

Hadis ini juga diriwayatkan oleh para Imam yang lain dengan lafadz yang sedikit berbeda, diantaranya:

 

الْخِلافَةُ بَعْدِي فِي أُمَّتِي ثَلاثُونَ سَنَةً

Kekhilafahan setelahku dalam umatku 30 tahun.” (HR. ath-Thabrani dalam

al-Mu’jam al-Kabir)

الْخِلافَةُ بَيْنَ أُمَّتِي ثَلاثُونَ سَنَةً

Kekhilafahan di antara umatku 30 tahun.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)

الخلافة ثلاثون سنة

Kekhilafahan 30 tahun.” (HR. Ibnu Hibban, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)

الخلافة ثلاثون عاما

“Kekhilafahan 30 tahun.” (HR. ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar)

الخلافة بعدي ثلاثون سنة

“Kekhilafahan setelahku 30 tahun.” (HR. Ibnu Hibban)

 

Meski lafadz hadis ini menyebutkan bahwa kekhilafahan setelah Rasulullah Saw 30 tahun, namun tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada khilafah. Dengan kata lain, hadits ini tidak berarti bahwa sistem pemerintahan kaum muslimin setelah itu bukanlah sistem khilafah. Sebab, lafadz hadis ini berbentuk lafadz yang mutlaq yang ke-mutlaq-annya di-taqyid oleh hadis hudzaifah di atas. Artinya, kehilafahan yang 30 tahun itu adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, sementara setelahnya bukanlah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, meski tetap berbentuk sistem khilafah hingga datang masa mulkan jabriyyah (para penguasa diktator yang tidak menerapkan syariah).

Kesimpulan ini juga didukung oleh hadis yang sama, dengan lafadz khilafah yang di taqyid oleh kata nubuwwah sebagaimana riwayat Abu Dawud, al-Hakim, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)

خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُونَ سَنَةً

 

Khilafah nubuwwah 30 tahun.” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)[3]

 

  1. عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” الْخِلَافَةُ فِي قُرَيْشٍ. رواه أحمد

Kehilafahan itu ada (di tangan) orang Quraisy” (HR. Ahmad)[4]

Hadits ini menjelaskan salah satu syarat afadhaliyah’ seorang khalifah. Yakni hendaknya ia orang Quraisy. Meski demikian, bukan berarti selain mereka tidak berhak atas khilafah. Dengan kata lain, syarat harus orang Quraisy bukanlah syarat in’iqad (syarat sah pengangkatan khilafah). Sebab, hadis di atas dan hadis-hadis semisal lainnya, dinyatakan dalam bentuk ikhbar yang tidak disertai dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan thalab yang jaazim (tegas). Dengan demikian perintah ini hanyalah perintah yang hukumnya sunnah. Adapun celaan dalam riwayat lain seperti disebutkan dalam al-Bukhari:

عن معاوية أنه قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ رواه البخاري

 

“Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan menelungkupkannya wajahnya ke neraka, selama mereka menegakkan agama (Islam)”. (HR. Bukhari)

Hadis ini bukanlah celaan bagi orang yang tidak mengangkat orang Quraisy sebagai pemimpin, melainkan celaan bagi orang yang memeranginya. Selain itu, hadis-hadis di atas juga dinyatakan dalam bentuk isim jamid (bukan isim sifat) sehingga tidak dapat diambil mafhumnya. Dengan kata lain tidak berarti selain kabilah Quraisy tidak sah menduduki jabatan khilafah.

Selaian itu pula, hadis riwayat Imam al-bukhari di atas dinyatakan dalam bentuk umum, yakni lafadz al-amra (urusan pemerintahan) bukan hanya jabatan khalifah. Seandainya saja dari hadis itu boleh diambil mafhumnya, yakni selain orang Quraisy tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan, niscaya Rasulullah Saw, tidak akan mengangkat Abdullah Bin Rawahah, Zaid Bin Haritsah, dan Usamah Bin Zaid dalam urusan pemerintahan, sebab para sahabat ini bukanlah dari kabilah Quraisy.

 

  1. عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حَوَالَةَ الأَزْدِىُّ أنه قال قَالَ : يَا ابْنَ حَوَالَةَ إِذَا رَأَيْتَ الْخِلاَفَةَ قَدْ نَزَلَتْ أَرْضَ الْمُقَدَّسَةِ فَقَدْ دَنَتِ الزَّلاَزِلُ وَالْبَلاَبِلُ وَالأُمُورُ الْعِظَامُ وَالسَّاعَةُ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنَ النَّاسِ مِنْ يَدِى هَذِهِ مِنْ رَأْسِكَ

Wahai putra Hawalah, jika kamu melihat khilafah sudah benar-benar turun di tanah yang suci (Palestina), maka sungguh telah dekat gempa, ujian hidup dan hal-hal besar. Kiamat di hari itu lebih dekat kepada manusia dari pada tanganku ini ke kepalamu”[5]

 

  1. عن عبد الملك ابن عمير قال : قال معاوية : ما زلت أطمع في الخلافة منذ قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” يا معاوية ! إن ملكت فأحسن “.

Abdul Malik bin Umair berkata: “Muawiyah berkata:“Aku selalu menginginkan khilafah sejak Rasululloh SAW bersabda kepadaku:“Wahai Muawiyah, apabila kamu berkuasa, maka berbuat baiklah”. (HR. Ahmad).

Hadis ini menunjukkan bahwa kata khilafah, selain disebutkan oleh hadis, juga digunakan oleh para sahabat, diantaranya Muawiyah. Selain itu, beliau juga memahami kata “malakta” dalam sabda Rasulullah, adalah khilafah.

Dalam kasus, al-Imam ath-Thabraniy meriwayatkan:

 

حَدَّثَنِي الْمُطْعِمُ بن الْمِقْدَامِ الصَّنْعَانِيُّ , قَالَ: كَتَبَ الْحَجَّاجُ بن يُوسُفَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بن عُمَرَ: بَلَغَنِي أَنَّكَ طَلَبْتَ الْخِلافَةَ

Muth’im bin Miqdam as-shon’aniy menyatakan bahwa al-Hajjaj bin Yusuf pernah menulis surat kepada ‘Abdullah bin Umar: “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau meminta jabatan khilafah(HR. at-Thabraniy dalam al-Mu’jam al-Kabir)

Al-Hajjaj dalam riwayat ini juga menggunakan lafadz khilafah, saat menyatakan bahwa Abdullah bin Umar” menginginkan kepemimpinan umum bagi kaum muslimin tersebut, meski dalam lanjutan riwayat ini ‘Abdullah bin Umar menyangkalnya.

 

  1. روى مسلم عن أبِي حازم قال: قاعدتُ أبا هريرةَ خمس سنين فسمعته يحدِّث عن النبيقال: َانَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيُّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَأَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثَرُواْ، قَالُواْ: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُواْ، بَيْعَةَ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ. رواه مسلم

“Dahulu politik Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi meninggal, maka digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi lagi sesudahku. Dan akan ada para khalifah lalu mereka menjadi banyak”. Sahabat bertanya: “Lalu apakah perintahmu kepada kami?”, beliau menjawab: “Penuhilah baiat khalifah yang pertama, lalu khalifah yang pertama, dan berikanlah hak-haknya, sesungguhnya Allag SWT akan meminta pertanggungjawaban dari mereka atas rakyatnya ”. )HR Muslim([6]

Lafadz “khulafa” dalam hadis ini adalah jamak dari kata “khalifah”. Oleh karena itu, berdasarkan hadis ini dan hadis semisal lainnya, jelaslah bahwa penyebutan khalifah untuk pemimpin tertinggi dalam pemerintahan adalah penyebutan berdasarkan hadits. bukan semata istilah yang dibuat oleh para ulama. Meski demikian, memang tidak harus selalu disebut khalifah, melainkan bisa dipanggil dengan sebutan yang lain seperti, imam, amirul mukminin, sulthan, dan sebagainya selama maknanya tidak kabur. Yakni, selama yang dimaksud dengan julukan-julukan tersebut adalah al-imam al-a’zham (pemimpin tertinggi bagi umat Islam) atau khalifah.

Hadits ini juga merupakan perintah, agar kaum muslimin senantiasa berada dalam satu kepemimpinan. Oleh karena itu, kesatuan khilafah (wahdatul khilafah) merupakan salah satu pilar pemerintahan Islam. Dengan kata lain, setelah pembai’atan seorang khalifah itu sah, maka tidak boleh ada orang lain yang dibai’at. Pembai’atan khalifah yang kedua itu batal demi hukum. Namun , perlu dicatat bahwa ketentuan ini berlaku bila khalifah yang pertama tadi telah dibai’at secara sah.

  1. عن أبِي سعيد الخدريِّ عن رسول اللهأنه قال: إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُواْ الآخِرَ مِنْهُمَا

“Jika dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir (dibai’at) dari keduanya” (HR. Muslim)[7]

Hadis ini juga mengaskan tentang kewajiban kesatuan kekhilafahan Islam. Dan hal ini pulalah yang difahami oleh para sahabat. Salah satu buktinya, tatkala dikatakan kepada Umar bin Khatab: “bagaimana bila diantara kalian diangkat seorang amir, dan diantara kami juga diangkat seorang amir?”, beliau saat itu langsung menghunus pedang, sambil berkata: “Tidak mungkin ada dua pedang dalam satu sarung”.

 

  1. Hadis-hadis khilafah yang menggunakan lafadz Imamah, Imam, Imarah, Amir, al-Amr, asy-Sya’n dan sejenisnya.

 

Lafadz Imamah, Imam, Imarah, Amir, al-Amr, asy-Sya’n dan sejenisnya yang akan dikemukakan di sini adalah khusus lafadz-lafadz tersebut yang terkait dengan urusan pemerintahan atau kepemimpinan. Sebab, secara bahasa tentu lafadz-lafadz tersebut maknanya luas. Sebagai contoh, Imam al-Lughah al-Fairus Abadi dalam Qamus al-Muhiith, saat memaknai lafadz imamah menyebutkan:

الإمامة في اللغة مصدر من الفعل ( أمَّ ) تقول : ( أمَّهم وأمَّ بهم : تقدمهم ، وهي الإمامة ، والإمام : كل ما ائتم به من رئيس أو غيره ) .

Secara bahasa imamah merupakan masdar dari kata kerja “amma”, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah taqaddamahum (yang mendahului (memimpin) mereka; yakni, imamah (kepemimpinan). Sedangkan imam adalah setiap orang yang harus diikuti baik pemimpin maupun yang lain”[8].

Al-’Allamah Muhammad Murtadlo Az-Zabidiy, dalam kitab Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, menyatakan:  

والإمام : الطريق الواسع ، وبه فُسِّر قوله تعالى :   وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79( أي : بطريق يُؤم ، أي : يقصد فيتميز قال : ( والخليفة إمام الرعية ، قال أبو بكر : يقال فلان إمام القوم معناه : هو المتقدم عليهم ، ويكون الإمام رئيسًا كقولك : إمام المسلمين ) ، قال : ( والدليل : إمام السفر ، والحادي : إمام الإبل ، وإن كان وراءها لأنه الهادي لها .. ) أ . هـ .

“Imamah adalah jalan yang lapang. Pengertian tersebut ditafsirkan dari firman-Nya Ta’ala:

وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79(

Maksudnya pada jalan yang dituju (“yu’ammu”), sehingga menjadi lebih jelas (spesifik). (Orang) berkata: Khalifah adalah imamnya rakyat. Abu Bakar berkata: (kalau) fulan dikatakan sebagai imam suatu kaum artinya ia adalah orang yang terkemuka dari kaum tersebut. Imam itu adalah raais (kepala), sebagaimana pernyataan anda: imamnya kaum Muslim. Selanjutnya (dia) berkata: buktinya adalah: imam safar; dan al-haadiy : imamnya unta meski dia di belakang unta, karena dialah yang mengarahkan unta…” [9]

 

Juga perlu difahami bahwa lafadz Imamah, Imam, Imarah, Amir, al-Amr, asy-Sya’n dan sejenisnya, yang berkonotasi urusan pemerintahan itu, pada dasarnya bermakna umum meliputi seluruh jabatan pemerintahan atau kepemimpinan, mulai khalifah hingga struktur di bawahnya. Ia tidak semata berkonotasi khilafah atau khalifah kecuali dengan qarinah yang menyertainya, seperti digandengkan dengan lafadz bai’at. Sebab, bai’at tidak dilakukan kecuali kepada seorang khalifah.

Sementara itu, tatkala lafadz-lafadz Imamah, Imam, Imarah, Amir, al-Amr, asy-Sya’n dan sejenisnya, berkonotasi pemimpin tertinggi bagi kaum muslimin, baik sebagian atau keseluruhannya, maka yang dimaksud adalah khilafah/khalifah. Yang dimaksud sebagian di sini adalah, bila lafadz-lafadz itu berbentuk umum dan tidak ada lafadz atau nash lain yang mengkhususkannya. Maka makna kepemimpinan umum (khilafah) maksud di dalamnya. Adapun yang dimaksud seluruhnya, adalah bila lafadz-lafadz tersebut disertai qarinah (indikasi) bahwa yang dimaksud tiada lain adalah khilafah, seperti bila disandingkan dengan lafadz bai’at.

Dengan kata lain, dalam kedua konteks ini, lafadz Khilafah, Imamah dan Imarah berkonotasi sama yakni kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia guna menerapkan syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Begitupun lafadz khalifah, imam dan amir, juga berkonotasi sama yakni pemimpin politik tertinggi (al-Imam al-A’zham) bagi kaum muslimin.

Syeikh Muhammad Najib Al Muthi’iy dalam takmilahnya atas Kitab Al Majmuu’ karya Imam An Nawawi menyatakan:

( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )

“Imamah,khilafah dan imaratul mukminin itu sinonim”

Dalam bagian lain beliau menyatakan:

( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )

“Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul Mukminin”.[10]

 

Al ‘Allamah Aburrahman Ibnu Khaldun menegaskan:

وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام أ . هـ

“Sebagaimana telah kami jelaskan, (imam) itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta mengurus duniawi. (jabatan) itu disebut khilafah dan imamah. Yang menempatinya adalah khalifah atau imam”.[11]

 

Di antara hadis-hadis yang memuat lafadz-lafadz itu adalah:

  1. عن أبِي هريرة عن النبيقال: وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ؛ وَيُتَّقَى بِهِ. فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدَلَ؛ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْراً. وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ

“Dan sesungguhnyalah seorang Imam itu merupakan perisai, umat akan berperang/berjihad di belakang (amanah Imaam) serta berlindung dengannya. Bila ia (Imaam) memerintahkan untuk takwa kepada Allah azza wa jalla serta bertindak adil, maka ia akan memperoleh pahala. Namun bila ia memerintah dengan selainnya, maka ia akan mendapatkan akibatnya”. [12]

Meski Lafadz Imam dalam hadis ini bersifat umum, meliputi seluruh orang yang menduduki jabatan pemerintahan, namun masuknya khalifah dalam lafadz ini termasuk kategori dhukul awaliy (paling utama), sebab khalifah adalah pemimpin tertinggi.

..

  1. روى مسلم أن النبيَّقال: وَمَنْ بَايَعَ إِمَاماً فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُواْ عُنُقَ الآخَرِ

“Siapa yang membaiat seorang imam (khalifah) dan ia telah berikan genggaman tangannya dan buah hatinya maka hendaknya ia menaati imam itu semampu dia, dan jika datang orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher orang lain itu”[13]

 

  1. وعن أبِي هريرةَ قال: قال رسول الله:ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ: رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيْقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيْلِ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَاماً لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَاهُ إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيْدُ وَفَّى لَهُ وَإِلاَّ لَمْ يَفِ لَهُ، وَرَجُلٌ يُبَايِعُ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ بِاللهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا وَلَمْ يُعْطَ بِهَا

“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga menyucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Seseorang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, namun ia mencegahnya dari ibnussabil yang membutuhkannya. Dan orang yang berjual beli dengan orang lain di waktu ‘Ashar, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia mengambilnya segini dan segini, lalu orang itu mempercayainya padahal tidak demikian keadaannya. Dan orang yang membai’at pemimpinnya karena dunia, bila ia diberi oleh pemimpin ia melaksanakan bai’atnya, dan bila tidak diberi maka ia tidak mau melaksanakan bai’atnya.”[14]

Lafadz imam dalam kedua hadis di atas tidak bermakna lain kecuali khalifah, sebab bai’at tidak dilakukan kecuali kepada seorang khalifah.

 

  1. عن عبد الرحمن بن سمرة قال : قال لي النبي صلى الله عليه و سلم: يا عبد الرحمن لا تسأل الإمارة فإنك إن أعطيتها عن مسألة وكلت إليها وإن أعطيتها عن غير مسألة أعنت عليها

 

“Ya Abdurrohman bin Samuroh janganlah engkau meminta jadi pemimpin karena apabila engkau diberinya dengan meminta maka engkau tidak akan diberi pertolongan, dan apabila engkau diberi dengan tanpa meminta maka engkau akan diberi pertolongan”[15]

 

  1. عن سعيد المقبري عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إنكم ستحرصون على الإمارة وستكون ندامة يوم القيامة

“Sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba mendapatkan kekuasaan, padahal ia hanyalah sebuah penyesalan dan kerugian di akhirat kelak.”[16]

Tentang makna imârah dalam hadis ini, Imam Ibnu Hajar menyatakan dalam fathul bârî (syarah shahih bukhari):

دَخَلَ فِيهِ الْإِمَارَة الْعُظْمَى وَهِيَ الْخِلَافَة ، وَالصُّغْرَى وَهِيَ الْوِلَايَة عَلَى بَعْض الْبِلَاد

“Makna imârah pada hadis itu, meliputi kepemimpinan terbesar (al-imâroh al-kubra) yakni khilafah dan kepemimpinan lokal (al-imâroh al-sughra) di daerah setingkat “provinsi/kabupaten”.[17]

 

  1. عن ابنِ عبَّاس عن النبيِّقال: مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْراً فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang tidak menyukai sesuatu dari pemimpinya maka hendaknya dia bersabar. Karena tidaklah seseorang keluar sejengkal dari ketaatan kepada pemimpin lalu dia mati, kecuali dia mati seperti mati jahiliyah.”[18]

Hadis senada dalam al-Bukhari dari Ibnu Abbas:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهَهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْراً فَمَاتَ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari pemimpinnya, maka hendaklah dia bersabar. Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah.”[19]

 

  1. عن يونس عن الزهري أخبرني أبو سلمة ابن عبد الرحمن أنه سمع أبا هريرة رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن أطاع أميري فقد أطاعني ومن عصى أميري فقد عصاني

“Siapa saja yang menaatiku sungguh ia sudah taat kepada Allah, siapa saja yang mendurhakaiku maka sungguh ia telah mendurhakai Allah, dan siapa saja yang menaati ‘pemimpinku’ sungguh dia sudah menaatiku, dan siapa saja yang mendurhakai ‘pemimpinku’, maka sungguh ia telah mendurhakaiku.”[20]

Lafadz amîri di atas adalah setiap pemimpin kaum muslimin yang memerintah dengan syariah yang dibawa oleh rasulullah (kullu ma yatawalla ‘alal muslimin wa ya’mal fihim bima syara’ahu rusulullah). Dengan kata lain, yang diperintahkan bukan hanya sebatas ketaatan kepada pemimpin, namun ketaatan kepada pemimpin yang menerapkan Islam. Sebaliknya, kita dilarang untuk taat kepada pemimpin dalam perkara maksiat.

  1. عن عبادة بن الصامت قال: بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِعَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُوْمَ أَوْ نَقُوْلَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ

 

“Kami membaiat Rasulullah Saw untuk mendengar dan menaati (perintahnya), baik senang maupun benci. Dan kami tidak akan merebut urusan (kekuasaan) itu dari pemiliknya; juga kami akan melakukan dan mengatakan dengan benar dan adil, serta kami tidak akan takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”[21]

 

  1. عن عرفجة قال: سَمعتُ رسولَ اللهيقول: مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ

“Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (seorang khalifah), lalu dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah ia”[22]

 

  1. وعن جُنَادَةَ بن أبي أُمَيَّةَ قال: دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيْضٌ قُلْنَا: أَصْلَحَكَ اللهُ حَدِّثْ بِحَدِيْثٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّقَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّفَبَايَعْنَاهُ. فَقَالَ: فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا [ أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأُثْرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْراً بُوَاحاً عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ ]

“Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk senantiasa mau mendengar dan taat kepada beliau dalam semua perkara, baik yang kami senangi ataupun yang kami benci, baik dalam keadaan susah atau dalam keadaan senang, dan lebih mendahulukan beliau atas diri-diri kami dan supaya kami menyerahkan setiap perkara-perkara itu kepada ahlinya. Beliau kemudian bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata dan bisa kau jadikan hujjah di hadapan Allah.’”[23]

عن يحيى بن حصين عن جدته أم الحصين قال سمعتها تقول : ( حججت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم حجة الوداع قالت فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم قولا كثيرا ثم سمعته يقول ( إن أمر عليكم عبد مجدع ( حسبتها قالت ) أسود يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا )

“Andaipun kalian dipimpin oleh seorang budak hitam, yang memimpin kalian berdasarkan kitabullah maka taatilah” [24]

 

  1. عن جابر بن سمرة قال : دخلت مع أبي على النبي صلى الله عليه و سلم فسمعته يقول إن هذا الأمر لا ينقضي حتى يمضي فيهم اثنا عشر خليفة

“Sesungguhnya urusan (kekhilafahan) ini tidak akan musnah sampai berlalu atas mereka 12 khalifah”[25]

  1. عن همام بن منبه قال هذا ما حدثنا أبو هريرة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فذكر أحاديث منها : وقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( الناس تبع لقريش في هذا الشأن(

“ Manusia akan mengikuti Quraisy dalam urusan ini (kehilafahan)”[26]

Lafadz al-amr atau asy-sya’n dalam hadis-hadis di atas semua berarti khilafah. Hal ini bukanlah perkara asing. Lafadz ini digunakan oleh sahabat untuk menunjuk makna khilafah. Sebagai contoh, dinyatakan oleh Abdurrahman Bin Auf saat beliau menjadi panitia pengangkatan khalifah setelah Umar Bin Khatab wafat.

عن الزهري أن حميد بن عبد الرحمن أخبره أن المسور بن مخرمةأخبره أن الرهط الذين ولاهم عمر اجتمعوا فتشاوروا فقال لهم عبد الرحمن لست بالذي أنافسكم على هذا الأمر ولكنكم إن شئتم اخترت لكم منكم فجعلوا ذلك إلى عبد الرحمن

“dari Az Zuhri, bahwa Humaid bin Abdurrahman mengabarinya, bahwa Miswar bin Makhramah mengabarinya; beberapa orang yang diserahi Umar untuk memegang mandat berkumpul dan bermusyawarah. Abdurrahman berkata kepada mereka; ‘aku bukan bermaksud menyaingi kalian dalam urusan ini (kekhilafahan), namun jika kalian berkenan saya akan memilih (seorang pemimpin) untuk kalian dari kalian sendiri’, maka mereka limpahkan wewenang itu kepada Abdurrahman”[27].

 

  1. Hadis-hadis lain yang menunjukkan kewajiban menegakkan khilafah dan berisi bisyarah qiyamil khilafah (kabar gembira berdirinya khilafiah), meski tidak secara langsung menggunakan lafadz-lafadz yang disebutkan sebelumnya.

 

  1. عن نافع قال : قال لي عبدالله بن عمر سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية )

Siapa saja yang melepaskan ketaatan (kepada seorang pemimpin), maka ia akan bertemu Allah Swt di hari kiamat tanpa membawa hujjah. Siapa saja yang mati sementara di pundaknya tidak ada bai’at, maka ia telah mati (seperti) dalam keadaan jahiliyah”[28]

 

Melalui hadis ini, Rasulullah Saw mewajibkan kepada kaum muslimin agar di pundaknya terdapat bai’at. Sementara itu, setelah beliau wafat, bai’at tidak dilakukan, kecuali kepada seorang khalifah. Dengan kata lain, Rasulullah memerintahkan agar di tengah-tengah kaum muslimin, senantiasa ada seorang khalifah yang dibai’at oleh mereka. Perintah ini bersifat tegas, karena disertai dengan indikasi tegas (qarinah jazimah), yakni pernyataan Rasulullah bahwa orang yang di atas pundaknya tidak terdapat bai’at seperti mati dalam keadaan jahiliyah. Dalam kaidah ilmu ushul, sebuah perintah bila dikaitkan dengan keimanan, menunjukkan bahwa perintah itu bersifat tegas. Oleh Sebab itu, berdasarkan hadis ini, mengangkat khalifah yang akan menerapkah hukum-hukum Allah Swt, hukumnya wajib, sebab hanya dengannya lah di pundak kaum muslimin terdapat bai’at[29]

 

  1. عن ثوبان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “ إن الله زَوَى لي الأرضَ فرأيتُ مشارقَها ومغاربَها وإن أمتي سيبلغُ مُلكُها ما زُوِي لي منها… “ رواه مسلم وأحمد وأبو داود والترمذي

”Sesungguhnya Allah swt telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya umatku, kekuasaannya akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku”.(HR. Imam Muslim, Tirmidziy, dan Abu Dawud)

Al-‘Allamah as-Syaikh al-Mubarakfuri, dalam Tuhfatul Ahwadziy, menyatakan:

”..Maknanya adalah, sesungguhnya bumi telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku seluruhnya secara serentak, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Kemudian, bumi akan ditaklukkan untuk umatku bagian demi bagian, hingga kekuasaan umatku meliputi seluruh bagian muka bumi”[30]

Sementara itu, kita menyaksikan saat ini, kekuasaan kaum muslimin belum meliputi seluruh bumi ini, seperti yang dinyatakan baginda Rasulullah Saw. Bahkan kekuasaan mereka saat ini dalam keadaan terampas. Maka, hadis ini menjadi bisyarah (kabar gembira) bahwa di masa yang akan datang akan kembali tegak kekhilafahan Islam yang akan mengembalikan kekuasaan itu sekaligus melakukan futuhat ke seluruh dunia.

Senada dengan hadits di atas, Imam Ahmad juga menuturkan sebuah hadits dari Tamim al-Daariy bahwasanya beliau mendengar Rasulullah saw bersabda:

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَلَا يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الْإِسْلَامَ وَذُلًّا يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْكُفْرَ“ وَكَانَ تَمِيمٌ الدَّارِيُّ يَقُولُ قَدْ عَرَفْتُ ذَلِكَ فِي أَهْلِ بَيْتِي لَقَدْ أَصَابَ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ الْخَيْرُ وَالشَّرَفُ وَالْعِزُّ وَلَقَدْ أَصَابَ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ كَافِرًا الذُّلُّ وَالصَّغَارُ وَالْجِزْيَةُ

“Urusan (agama) ini akan mencapai apa yang malam dan siang mencapainya. Dan Allah swt tidak membiarkan Bait al-Madar dan Bait al-Wabar, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam agama ini, dengan kemuliaan, atau dengan kehinaan. Kemuliaan, yang Allah akan memuliakannya dengan Islam, dan kehinaan, yang Allah akan menghinakannya dengan kekufuran”. Tamim al-Daariy berkata, “Saya melihat itu pada penduduk negeriku. Sungguh, sebagian orang yang masuk Islam mendapatkan kebaikan, kehormatan, dan kemuliaan. Sedangkan sebagian orang yang kafir, mereka mendapatkan kehinaan, kekerdilan, dan wajib membayar jizyah”.[HR. Imam Ahmad, dalam Musnah Imam Ahmad]

  1. عن ابن عمر رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول “ إذا تبايعتم بالعِينة وأخذتم أذنابَ البقر، ورضيتم بالزرعِ وتركتم الجهادَ، سلَّط الله عليكم ذُلاً لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم “ رواه أبو داود

Dari Ibnu ‘Umar r.a., dia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda”: Apabila kamu sekalian berjual-beli dengan cara ‘inah, (hanya) mengambil ekor-ekor sapi (sibuk mengurus ternak peliharaan), senang dengan tanaman (puas dengan hasil panen) dan (seraya, karena kesibukan duniawi) meninggalkan jihad (tugas keagamaan dalam rangka menegakkan agama Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasaimu, dan tidak akan pernah mencabutnya (kehinaan) hingga kamu sekalian kembali kepada agamamu. (HR Abu Dawud)

Lafadz “hatta ta’udu ilaa diiniku” (hingga kamu sekalian kembali kepada agamamu), maksudnya, hingga kalian kembali berhukum dengan hukum-hukum Allah Swt, setelah sebelumnya kalian tinggalkan. Dengan kata lain, hadis ini merupakan bisyarah bahwa umat ini akan kembali menerapkan hukum-hukum Allah Swt.

  1. عن أبي قبيل قال: كنا عند عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه وسُئل أيُّ المدينتين تُفتَح أولاً القسطنطينية أو رومية. فدعا عبد الله بصندوق له حلقٌ فأخرج منه كتاباً قال، فقال عبد الله “ بينما نحن حول رسول الله صلى الله عليه وسلم نكتب إذ سُئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أيُّ المدينتين تُفتح أولاً أقسطنطينية أو رومية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مدينة هرقل تفتح أولا _ يعني القسطنطينية “ رواه أحمد.

Dari Abu Qubail berkata: Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Rumiyah? Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah? Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu: Konstantinopel. (HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)

Sabda Rasulullah bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan lebih awal, menunjukkan bahwa kota Roma pun yang terletak di Italia saat ini, akan ditaklukkan oleh kaum muslimin, meski bukan yang pertama. Hal ini, sulit dibayangkan bisa terjadi, kecuali setelah berdirinya kembali Khilafah Islam yang melanjutkan kembali futuhat ke seluruh penjuru dunia. Dengan kata lain, hadis ini merupakan kabar gembira berdirinya kembali Khilafah di masa yang akan datang.

Hadits-hadits yang dikemukakan di atas, hanyalah sebagian hadits yang membahas tentang khilafah. Amatlah jelas, bahwa persoalan khilafah merupakan perkara yang terang benderang dibahas dan dinyatakan dalam hadits. Oleh sebab itu, pantaslah bila para fuqaha memandang masalah ini sebagai perkara yang telah maklumun min ad-dîn bi ad-dhorûroh. Sebaliknya, sungguh aneh bila ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah mendirikan negara atau tidak membahasnya. Sebagaimana sangat aneh bila ada yang menyatakan bahwa tidak ada kata khilafah dalam nash, yang ada adalah kata kholifah yang artinya pemimpin, kemudian berkesimpulan bahwa kaum muslimin tidak wajib menegakan khilafah jika mereka telah memiliki pemimpin. Padahal seandainya kata khilafah itu tidak ada dalam nash, tidak berarti pula bahwa khilafah menjadi tidak wajib. Sebab, sebuah istilah memang tidak harus selalu berdasarkan nash. Alhasil, penolakan terhadap khilafah adalah penolakan terhadap hukum Allah SWT dan pengingkaran pada sabda-sabda Rasul-Nya yang tidak mungkin dilakukan kecuali karena jahl (ketidaktahuan) atau mukabarah (kesombongan dan kelancangan).

Memang hadits-hadits yang dikemukakan di atas, tidak secara terperinci menjelaskan konsep khilafah, sebab ia hanya sebagian hadis saja yang berkaitan dengan khilafah, namun secara khusus berkaitan dengan lafadz-lafadz hadits yang memuat Istilah khilafah atau yang semakna dengannya, sekaligus menunjukkan bahwa menegakan khilafah adalah sebuah kewajiban dan berdirinya khilafah di masa yang akan datang merupakan perkara yang dijanjikan bagi kaum muslimin. Selebihnya, para fuqaha qadîman wa hadîsan telah membahasnya secara terperinci dalam kitab-kitab mereka. Wallahu A’lam

Catatan kaki:

[1] Musnad Imam Ahmad, hadits no.17680, juga musnad al Bazzar (no. 2796). Riwayat ini termasuk haditsmarfu’ (bersambung hingga sampai Rasulullah saw). Al-Hafidzh Al-Iraqi (wafat 806 H), guru dari Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy (wafat 852 H), di dalam kitabnya Mahajjatul-Qarb ila Mahabbatil-Arab (II/17), mengatakan :”Status hadits ini shahih”, Syu’aib Arna’uth menyatakan : sanadnya baik (isnâduhu hasan), Al Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id (5/341) menyatakan perowi-perowinya terpercaya. Adapun komentar Imam Bukhori tentang Habib bin Salim, tidak serta merta menjadikan hadits ini lemah. Pernyataan beliau hanya menujukan bahwa ketsiqahannya perlu diteliti. Penelitian para ahli hadits di atas, menunjukan bahwa keberadaan Habib bin Salim tidak melemahkan hadits ini. Imam Muslim sendiri juga meriwayatkan hadits dari Habib Bin Salim semisal hadits: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca surat Al A’la dan surat Al Ghasyiah dalam shalat dua hari raya dan shalat Jum’at. Bila shalat Id bertepatan dengan hari Jum’at, beliau juga membaca kedua surat tersebut dalam kedua shalat itu.” (HR. Muslim, No 878, 2/598)

[2] Musnad Imam Ahmad, hadits no. 21928. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nasa-i dalam

as-Sunan al-Kubra, ath-Thayalisi, al-Bayhaqi dalam Dalaail an-Nubuwwah, Ibn Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah. Syu’aib Arna’uth menyatakan : sanadnya baik (isnâduhu hasan)

[3] Sunan Abi Dawud, no 4648, 4/342, al-Mustadrok ‘Ala Shohihain, no 4438, 3/75, al-Mu’jam al-Kabir no. 6330, 6/194. al-Albaniy menilai hadis ini hasan-shahih.

[4]Musnad Imam Ahmad, no. 17653, 29/200

[5]Musad Ahmad no. 22540, Sunan Abi Dawud No 2535, al-mustadrok no. 8309, Sunan al-Baihaqi no. 18333, dan at-Tarikh lil Bukhari No. 3615

[6]Shahih Muslim, Kitab: wujubul wafa bibai’atil khalifah al-awwal fal awwal, no. 1842. Shahih al-Bukhari, Bab: maa dzukiro ‘an bani israil, no. 3268.

[7]Shahih Muslim, Kitab: Idza Buyi’a Likhalifataini, no. 1842.

[8] al-Fairuz Abadi, al-Qaamus al-Muhith, 4/ 78

[9]Muhammad Murtadlo Az-zubaidi, Tajul Arus min Jawahir Al-qamus, 8/ 193

[10] Syeikhul Islam Imam Al Hafidz Yahya bin Syaraf An Nawawi, Raudhah Ath Thalibin wa Umdah Al Muftiin, 10/49; Syeikh Khatib Asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, 4/132.

[11]Abdurrahman Ibn Khaldun, Al Muqaddimah, hal 190.

[12]Shahih Bukhari, Kitab: al-Jihad, Bab: Yuqatal min Warail Imam, no. 2957. Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: al-Imam Junnah, no. 1841.

[13]Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub al-awafa bi bai’at al-khalifah al-awwal, no: 1844.

[14]Shahih Bukhari, Kitab: al-Ahkam , Bab: Man baya’a rajulan li ad-dunya, no. 7212; Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, no: 108

[15]Shahih Bukhari, Kitab: al-Ahkam , Bab: Man lam yasalil imarah a’anahullah ‘alaiha, no. 6727; Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: an-Nahyi ‘an thalabil imarah wal hirsh ‘alaiha, no: 1652

[16]Shahih Bukhari, Kitab: al-Ahkam , Bab: Maa yukrah minl hirsh ‘alal imarah, no. 6729

[17] Imam Ibnu Hajar, Fathul bari, 20/167

[18]Shahih Muslim, Kitab: Wujub mulazamati jama’atil muslimin, no: 1849

[19]Shahih Bukhari, Kitab: al-fitan, no: 7054,

[20]Shahih Bukhari, Bab: Qaulullah ta’ala ati’ullaha wa ati’urrasul wa ulil amri minkum, no: 6718; Shahihi Muslim, Bab: Wujub tha’atil umara fi ghairi ma’shiyah, no: 1835

[21]Shahih Bukhari, Kitab: al-Ahkam , Bab: Kaifa yubaya’ al-imamu an-nas, no. 7199; Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub tha’atil umara, no: 1709

[22]Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah,, Bab: man hukmu man kharaqa, no. 1852;

[23]Shahih Bukhari, Kitab: al-fitan , Bab: Qaul an-nabiyi shalallahu ‘alaihi wa sallam (satarauna ba’di umuraon tunkirunaha), no. 6647; Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub tha’atil umara, no: 1709

[24]Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub tha’atil umara, no: 1838

[25]Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: an-Nas tabi’un liquraisy wal khilafatu fi quraisy, no: 1821

[26] Shahih Muslim, Kitab: al-Imarah, Bab: an-Nas tabi’un liquraisy wal khilafatu fi quraisy, no: 1818

[27]Shahih Bukhari, Kitab: al-Ahkam , Bab: Kaifa yubaya’ al-imamu an-nas, no. 6781

[28]Shahih Muslim, Kitab: Wujub mulazamati jama’atil muslimin, no: 1851

[29]Lihat Ajhizatu Daulatil Khilafah fil Hukmi wal Idarah, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, hal 11

[30] Imam al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy bi Syarh Sunan al-Tirmidziy, juz 4/468

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*