Meski mafia migas RI sudah menegara, menurut pengamat ekonomi Muhammad Ishak, tidak sulit melacak dan menghentikan praktek kotor oleh pelaku-pelaku kriminal di sektor basah tersebut.
“Cuma yang jadi masalah adalah berbagai laporan baik yang berasal dari BPK maupun yang berasal dari publik yang diungkap kepada penegak hukum tidak ditindaklanjuti secara serius!” tegasnya kepada mediaumat.com, Rabu (10/9) melalui surat elektronik.
Lebih dari itu, menurut peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia tersebut, sanksi bagi mereka yang terbukti bersalah di pengadilan belum memberikan efek jera bagi pelaku dan efek yang membuat ciut nyali manusia.
Jika melihat praktek pengelolaan migas di negara ini, menurut Ishak, sebenarnya negara tidak hanya dirugikan oleh keberadaan praktek-praktek kotor seperti suap dan mark-up dalam pengelolaan migas. Namun juga peraturan yang memberikan hak kelola kepada perusahaan swasta termasuk pihak asing. Dana yang mengalir ke kontraktor nilainya sangat besar. Angka tersebut tentu belum ditambah dengan kebocoran yang dimanipulasi sedemikian rupa.
Walhasil, tidak hanya praktek mafia migas yang harus diberantas namun juga penguasaan kekayaan publik kepada pihak swasta termasuk asing harus dihentikan. “Dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah Islam, yang merupakan kewajiban umat Islam, maka masalah tersebut akan diselesaikan,” ungkap anggota Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut.
Karena, lanjutnya, Islam mewajibkan pengelolaan sumber daya alam harus dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Belum lagi, sistem peradilan Islam juga akan memberikan sanksi yang tegas, bahkan hingga hukuman mati, kepada pihak-pihak yang terbukti melanggar ketentuan syariah termasuk di dalamnya orang-orang yang terbukti mengambil harta dengan cara yang dzalim. (mediaumat.com, 12/9/2014)