HTI Press, Jakarta. Ada enam bentuk penerapan syariah Islam dalam negara khilafah. Hal itu terungkap dalam pemaparan makalah Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia KH Hafidz Abdurrahman dalam Dirasah Syahriah Ammah (DSA): Khilafah Islam yang Mengikuti Metode Kenabian, Sabtu (13/9) di Kantor DPP HTI, Crown Palace, Soepomo, Jaksel.
“Pertama, menerapkan seluruh hukum syara’ kepada kaum Muslim, tanpa kecuali,” ungkapnya di hadapan sekitar seratus pimpinan ponpes dan ustadz se-Jakarta dan Depok.
Kedua, non Muslim dibiarkan memeluk apa yang mereka yakini dan mereka sembah sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku.
Ketiga, orang murtad diberlakukan kepadanya hukum murtad, jika mereka murtad. Namun, anak orang Murtad, dan dilahirkan non Muslim, diperlakukan sebagai non Muslim, berdasarkan agama orang tuanya, apakah musyrik atau ahli kitab.
Keempat, non Muslim, dalam urusan makanan, pakaian diperlakukan menurut agamanya, sesuai dengan ketentuan yang dibolehkan oleh syariah.
Kelima, urusan pernikahan di antara mereka diselesaikan menurut agama mereka. Sedangkan pernikahan antara mereka dengan Muslim diselesaikan dengan hukum Islam.
Keenam, negara menerapkan hukum syara’ yang lain, dan seluruh perkara syar’i, seperti mu’amalah, sanksi hukum, pembuktian, sistem pemerintahan, ekonomi dan sebagainya, kepada seluruh warga negara. Penerapannya kepada kaum Muslim dan non Muslim sama. Juga diberlakukan kepada mu’ahad (warga negara kufur yang berkunjung ke negara Islam), musta’min (orang yang mendapatkan suaka), dan semua orang yang berada di wilayah kekuasaan negara, sebagaimana individu rakyat.
“Kecuali duta, konsul, dan sejenisnya. Karena mereka mempunyai kekebalan diplomatik,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo. Foto: Sigit Nur Setiyawan