Merdeka untuk Berkarya

Al-Khawarizmi, perintis algebra dan algorithma dalam sebuah perangko Uni Soviet.

Al-Khawarizmi, perintis algebra dan algorithma dalam sebuah perangko Uni Soviet.

Dr. Fahmi Amhar

Merdeka itu untuk apa? Setiap tahun, peringatan hari 17 Agustus di Indonesia menjadi rutinitas untuk dua hal: pertama untuk mengibarkan bendera & upacara bendera; dan kedua untuk berbagai lomba, dan yang paling top adalah makan kerupuk, balap karung dan panjat pinang!

Ritual pertama tentu saja boleh diperdebatkan. Di banyak negara maju, ritual semacam itu tidak ada, atau sudah lama tak ada lagi. Kalaupun ada, yang melakukan tinggal dinas kemiliteran saja. Tapi di negeri ini, dengan alasan menjaga nasionalisme, ritual itu seakan-akan manjur, walaupun fakta membuktikan, makin banyak industri dan sumberdaya alam kita beralih ke asing, dan makin banyak produk asing yang mendominasi pasar negeri ini.

Adapun ritual kedua diyakini sebagai arena untuk bersuka ria mensyukuri kemerdekaan, sekaligus mempererat persaudaraan dan mengingat perjuangan, karena semua perlombaan itu memerlukan perjuangan. Namun tentu saja wajar bila ada anak bangsa yang bertanya-tanya, mengapa wujud mensyukuri kemerdekaan itu dari dulu selalu itu-itu saja? Apakah kita ini merdeka memang untuk sekadar makan kerupuk dan balap karung?

Tentu saja, di setiap peringatan kemerdekaan, negeri ini juga menunjukkan perhatiannya pada anak-anak bangsa yang dianggap berjasa. Sederet tokoh nasional dianugerahi bintang tanda jasa. Demikian juga ratusan guru teladan, dokter teladan, penyuluh teladan, dan lain-lain diundang ke istana ikut mensyukuri kemerdekaan bersama presiden. Namun di masyarakat kita sekarang, perhatian kepada para teladan ini nyaris tak ada. Padahal merekalah sebenarnya yang memberikan kontribusi nyata di tengah masyarakat, bukan pemenang makan kerupuk atau juara balap karung.

Sebenarnya banyak ilmuwan dan technopreneur di negeri ini yang membuat karya-karya besar yang dirasakan masyarakat secara langsung maupun tak langsung dan bahkan diakui oleh dunia internasional. Tetapi karya mereka jarang disorot media massa. Masyarakat jadi tak kenal, sehingga tak merasa bangga sebagai anak bangsa. Dan pemerintah juga tidak memberi penghargaan yang pantas. Walhasil, sekarang ini, peneliti yang paling senior pun, profesor doktor yang sekolahnya susah di luar negeri, gaji dan tunjangannya masih lebih rendah daripada artis atau politisi.

Padahal di dunia Islam, kita lama pernah sangat percaya diri sebagai sebuah bangsa. Itu pada zaman ketika belum ada arena pertandingan antar bangsa atau olimpiade ala Yunani kuno belum dihidupkan lagi.

Kunci dari rasa bangga sebagai bangsa dan percaya diri itu muncul semata-mata karena karya. Ada suatu masa di dunia ini ketika tidak ada kemajuan kecuali ada kontribusi kaum Muslim dan negara Islam di dalamnya. Mereka bangga dengan karya kolektifnya, bangga karena ada jejak amal shalihnya.

Bagaimana tidak, saat itu apa saja yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dipelopori, ditemukan atau dimutakhirkan oleh para ilmuwan Islam. Mulai dari sabun untuk mandi, piring porselin untuk makan, tekstil untuk menutup auratnya, mesin-mesin pembangkit energi, teknologi konstruksi untuk membangun gedung-gedung, kapal untuk berlayar, aljabar untuk menghitung, ilmu pengobatan, musik untuk terapi kejiwaan, hingga geografi untuk merencanakan apa yang ada di bumi dan astronomi untuk bernavigasi dengan apa yang tampak di langit.

Semua kontribusi para ilmuwan itu dinikmati umat manusia selamanya, bahkan tidak hanya di negeri itu saja. Bandingkan dengan prestasi atlet di arena olahraga atau artis di ajang bakat, yang mungkin dua tahun lagi sudah dilupakan, karena akan tertutup oleh yang lebih muda.

Tetapi kontribusi karya yang lebih besar itu tidak mungkin tanpa sinergi banyak pihak. Seorang ilmuwan besar lebih mudah dimunculkan pada masyarakat yang merdeka, gemar belajar dan menghargai ilmu. Dan masyarakat yang seperti itu lebih mudah dikondisikan oleh media massa yang menyebarkan opini yang konstruktif. Seorang ilmuwan besar juga lebih mudah dimunculkan jika ada kemauan politik dari penguasa negara yang diikuti langkah nyata. Misalnya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk aktivitas pendidikan dan riset, serta membuat aturan yang ramah terhadap hasil riset agar lebih mudah diterapkan dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Dan itu semua dikerjakan selama masa yang panjang di era Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah. Khalifah secara sistematis menggerakkan mesin pendidikan. Rakyat dimudahkan untuk belajar. Negara membayar guru-guru hingga berkecukupan dan mengadakan perpustakaan, di mana rakyat bebas membaca buku-bukunya sepuasnya.

Negara mensponsori riset-riset awal dan perjalanan ilmiah yang menjelajahi dunia baru. Inilah yang membuat seorang Al-Khawarizmi (780-850 M) bisa leluasa menulis bukunya yang mengubah cara dunia dalam berhitung, yaitu Kitab Aljabar wa al-Muqobalah. Banyak hal dalam kitab itu yang baru terasa manfaatnya setelah ratusan tahun! Tetapi itulah, negara khilafah tidak melihat keuntungan jangka pendek dari sebuah karya ilmiah. Demikian juga dengan penemuan fisika optika (camera obsicular) dari Ibn al-Haitsam, yang barangkali di saat hidupnya belum memiliki aplikasi praktis. Atau catatan perjalanan sang geografer penjelajah, Ibnu Batuthah.

Kehebatan sebagian dari ilmuwan-ilmuwan itu ada yang sempat dikenali semasa hidupnya, sehingga khalifah atau para sulthan (gubernur) menghadiahi mereka emas seberat buku yang ditulisnya. Tetapi sebagian yang lain terhargai dengan sendirinya ketika setiap ilmu yang mereka wariskan digunakan oleh orang-orang sesudahnya. Mereka mendapatkan pahala yang tak putus-putusnya.

Dan umat Islam juga bangga dengan karya-karya mereka. Bagaimana tidak bila orang-orang asing berduyun-duyun sekolah di universitas di dunia Islam, termasuk Sylvester II yang kemudian menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M dan memperkenalkan “angka” Arab di Eropa, ternyata juga alumni universitas Islam di Cordoba.

Mensyukuri merdeka dengan karya ini lebih mendasar, “lebih sesuatu”, tidak sekadar upacara atau pengibaran bendera. Itulah yang membuat rakyat khilafah dengan percaya diri berdakwah ke seluruh penjuru dunia. Dan berbagai negeri menerima dakwah Islam karena takjub pada sebuah negara dan masyarakatnya yang luar biasa. Para pangeran dari negara paling hebat di Nusantara yaitu Majapahit saja memandang takjub para pedagang yang datang dari dunia Islam, sehingga mereka kemudian masuk Islam, menyebarkan Islam dan mengganti negara Majapahit yang mereka warisi menjadi negara Islam juga.

Mereka mensyukuri kemerdekaan dengan beriman dan beramal shalih (berkarya), untuk dunia yang lebih baik.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*