Liberalisme Marak Akibat Demokrasi

Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Setelah berhasil meliberalkan sektor minyak dan gas (migas), sumber daya alam (SDA) dan politik, para liberalis – antek penjajah—pun berusaha meliberalkan pondasi rumah tangga, salah satunya dengan berupaya melegalkan nikah beda agama dengan me-judicial review UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Mengapa itu semua bisa terjadi? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Hafidz Abdurrahman. Berikut petikannya.

Bagaimana sikap Ustadz tentang upaya pelegalan nikah beda agama dengan melakukan judicial review UU Perkawinan ke MK?

Sikap saya tegas, tolak!

Mengapa?

Pertama, yang digugat adalah keabsahan pernikahan menurut ketentuan agama, sebagaimana diatur pada UU No 1/1974, pasal 2 ayat 1. Karena, pernikahan beda agama, misalnya pria Muslim dengan wanita musyrikah, seperti penganut Hindu, Budha, Konghucu, aliran kepercayaan, dan sejenisnya jelas batil. Jika pernikahan seperti ini terjadi, maka status akadnya tidak sah. Karena itu, pasangan tersebut menurut Islam dinyatakan pasangan zina.

Begitu juga, jika terjadi antara pria Muslim dengan wanita ahli kitab, seperti penganut Yahudi dan Nasrani, kalaupun ada ulama yang menyatakan sah, syaratnya wanita ahli kitab tersebut harus yaitu menjaga kesucian (mushanat), bukan pezina (ghaira musafihat), bukan wanita yang mau menjadi simpanan(ghaira muttakhidzati akhdan). Begitu syarat yang ditetapkan dalam Alquran Surat AlMaidah ayat 5.

Belum lagi, tidak ada jaminan, bahwa anak yang lahir dari pasangan Muslim dan ahli kitab tersebut bisa dijaga agamanya, sehingga tidak mengikuti ibunya. Karena itu, pernikahan seperti ini tidak boleh.

Terlebih, jika wanitanya Muslimah, sementara pasangan prianya nonMuslim, baik ahli kitab maupun musyrik, sama-sama tidak boleh. Pernikahan mereka juga batil. Jika ini terjadi, maka status hubungan mereka adalah zina. Inilah konsekuensi pertama, jika gugatan tersebut dikabulkan MK.

Kedua, jika pernikahan ini menurut Islam batil, lalu dinyatakan legal, sehingga orang merasa sah, konsekuensinya akan lahir anak-anak yang nasab-nya terputus dengan bapak biologisnya. Jika nasabnya terputus, bapak biologisnya tidak bisa menjadi wali bagi anak biologisnya.

Namun, karena menurut hukum negara legal, dia pun merasa sah sebagai wali. Jika ini terjadi, pernikahan anak biologisnya dengan pria lain, dengan wali bapak biologis ini juga dianggap tidak sah. Akibatnya, terjadi perzinaan turunan.

Ketiga, bahaya lain adalah menjadi pintu pemurtadan, karena pria atau wanita yang beda agama akan mengajak pasangannya mengikuti agama lain. Ini diingatkan oleh Allah dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 221, “Ula’ika yad’una ila an-nar (Mereka itu mengajak ke neraka [murtad]).”

Bagaimana dengan alasan mereka yang menyatakan nikah beda agama juga dibolehkan dalam Islam?

Dalam kasus ahli kitab, hanya ada satu pintu, ketika prianya Muslim, sementara wanitanya ahli kitab. Itu pun dengan syarat yang telah dijelaskan di atas. Harus muhshanat, ghaira musafihat, wa la muttakhidzati akhdan. Dengan jaminan, anaknya tidak terpengaruh dengan agama ibunya. Karena status asal agama anak hingga dia baligh mengikuti agama bapaknya.

Pentolan liberal Abdul Muqsid Ghazali mengatakan perempuan Muslimah juga boleh menikah dengan lelaki non Muslim dengan argumen pernikahannya Zainab binti Muhammad SAW dengan lelaki non Muslim Abu Al ‘Ash. Mereka dipisahkan Rasul hanya karena Abu Al ‘Ash bersekongkol melawan Islam bukan karena beda agama. Buktinya setelah Abu Al ‘Ash masuk Islam mereka disatukan kembali tanpa akad nikah ulang. Pendapat Anda?

Dalam melihat kasus ini, kita harus tahu, kapan Zainab putri Nabi SWA menikah dengan Abu Al ‘Ash bin ar-Rabi’. Beliau dinikahkan oleh Nabi sebelum genap usia 10 tahun. Ketika itu, Nabi belum menjadi Nabi dan Rasul. Setelah ayahandanya diutus menjadi Nabi, Zainab masuk Islam, sedangkan suaminya tidak.

Nabi memang tidak memisahkan mereka seketika, tetapi ketika Nabi hijrah, Abu al-‘Ash diminta Nabi melepaskan istrinya agar menetap di Madinah. Setelah Abu Al ‘Ash masuk Islam tahun ke-7, ada yang mengatakan tahun ke-6, maka Nabi mengembalikan Zainab kepadanya. Di sini ada dua riwayat, ada yang mengatakan mereka dinikahkan ulang oleh Nabi. Riwayat lain tidak.

Kalaulah pernikahannya tidak diulang setelah masuk Islam, ini sebagaimana para sahabat yang menikah dengan pasangannya sebelum masuk Islam, maka setelah mereka memeluk Islam, tidak diperintahkan untuk melakukan akad nikah lagi.

Selain itu, ayat-ayat yang mengharamkan nikah beda agama, seperti Al Baqarah ayat 221 dan Al Maidah ayat 5, semuanya turun di Madinah setelah hijrah. Sedangkan Zainab bersama Abu Al-‘Ash hidup sebagai suami-istri sebelum turunnya ayat-ayat ini. Namun, mereka dipisahkan oleh Nabi, ketika Nabi hijrah. Sejak saat itu, mereka tidak lagi berhubungan sebagai suami-istri, sampai akhirnya Abu Al‘Ash masuk Islam. Baru setelah itu hubungan dinormalisasi oleh Nabi.

Karena itu, kasus Zainab dan Abu al-‘Ash ini tidak bisa dijadikan hujah untuk melegalkan pernikahan beda agama.

Bukan kali ini saja pengusung liberalisme berupaya menghancurkan sendi-sendi Islam, salah satunya dengana judicial review. Adakah indikasi bahwa mereka pun akan berupaya melegalkan pernikahan homo?

Iya. Kalau ini berhasil, karena alasan HAM, maka alasan yang sama bisa menjadi jurisprudensi untuk melegalkan pernikahan sejenis, atau yang lain, dengan alasan HAM. Pada level “fatwa” sudah ada, sebagaimana yang selama ini digembar-gemborkan oleh Musdah.

Mengapa para pengusung liberalisme begitu leluasa memperjuangkan kesesatannya?

Karena mereka hidup di negara liberal. Kalau ada yang menyangkal, bukankah ini negara Pancasila, bukan negara liberal? Benar, tetapi nyatanya liberalisasi sektor Migas, SDA, termasuk liberalisasi politik dan agama, semuanya menggunakan dalih Pancasila dan UUD 45.

Coba bayangkan, manusia diatur dengan hukum Islam yang dalil-dalilnya lengkap dan sempurna saja masih menyimpang, apalagi kalau dalil dan nashnya sangat terbatas. Belum lagi, ketika agama dipisahkan dari kehidupan, maka liberalisasi pasti merajalela. Sebab, ketika hidup tidak diatur dengan Islam, pasti diatur pakai akal. Akal tidak akan bisa membuat aturan, kalau tidak ada kebebasan (freedom). Kebebasan tidak ada, kalau tidak ada demokrasi. Begitu tesis mereka.

Jadi, ya beginilah akibatnya. Karena itu, liberalisasi marak di negeri ini, karena ini adalah negara sekuler, negara liberal dan negara yang diatur pakai akal, bukan Islam. Apapun namanya.

Bagaimana cara menumpas liberalisme sampai ke akar-akarnya?

Kembali kepada Islam. Dengan Islam, akal manusia diatur, sehingga bisa digunakan dalam kehidupan. Dengan Islam, ruang akal jelas dan harus digunakan secara proporsional.

Mengapa harus syariah dan khilafah?

Karena syariah adalah sistem yang diturunkan oleh Allah. Sistem ini sangat detail, baik dari aspek hukum, maupun dalilnya. Selain detail, sistem ini juga komprehensif, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Karena itu, tidak ada ruang kosong dari jangkauan Islam. Namun, ini tidak bisa diwujudkan, tanpa syariah Islam lainnya di bidang pemerintahan yakni khilafah. Karena itu, menurut Imam al-Ghazali, Islam dan khilafah, adalah dua saudara kembar.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*