Oleh: Adnan Khan (Aktifis Hizbut Tahrir Inggris)
Presiden AS Barack Obama meletakkan strategi pemerintahnya yang ditunggu banyak orang dalam pidato di televisi yang disiarkan secara nasional pada Rabu 10 September. Sementara diasumsikan pemerintahannya tidak memiliki strategi, strategi Amerika telah terbentuk dalam melawan ISIS selama beberapa waktu. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Obama hanya memindahkan pasukan AS ketika ISIS berada hanya 40 Kilometer dari ibukota Kurdi, Arbil, di Irak Utara.
Para pembuat kebijakan AS menyimpulkan dengan menyerahnya pemerintah pusat Irak untuk merebut kembali wilayah mereka yang telah direbut ISIS dan dengan kekuatan pasukan Kurdi yang diambang menyerah, maka diperlukan serangan udara. Dengan publik yang lelah perang, Obama dianggap telah membuat gagal negara di bidang kebijakan luar negeri seperti yang dilakukannya atas Suriah.
Pidatonya pada kenyataannya adalah pencitraan menjelang pertengahan pemilu AS pada November mendatang. Sementara pidato Obama sebenarnya ditujukan pada pemilih dalam negeri, strategi pemerintahannya atas krisis ISIS di Irak, dan Suriah berkisar pada empat bidang utama.
Pertama, pemerintah AS yang didukung oleh medianya dan setiap pemangsa dalam Kongres yang telah mengambil setiap kesempatan untuk membersihkan konsep Islam ‘Khilafah’ dan merusaknya dalam pikiran umat Islam dan non-Muslim.
Setiap pembunuhan, insiden, kecelakaan dan pembantaian dianggap kesalahan ISIS, bahkan sebelum faktanya dapat diverifikasi. Para politisi AS telah berusaha keras untuk menciptakan histeria yang membuat ISIS adalah ancaman terbesar bagi umat manusia, yang menyebar di wilayah tersebut dan merencanakan serangan di wilayah barat, meskipun para pejabat urusan teror menyatakan sebaliknya.
Pertempuran ideologis di wilayah tersebut dan di seluruh dunia menjadi semakin meninggi saat para pejabat AS mengutuk pemenggalan dua wartawan AS dan kekerasan yang dilakukan terhadap non-Muslim di Irak. Meskipun terdapat tanda tanya serius atas sifat pemerintahan ISIS, media global berbaris untuk menunjukkan ISIS sebagai kelompok militan, yang penuh kekerasan dan memerlukan invasi lain oleh Barat di wilayah tersebut.
Pertempuran ideologis terhadap Muslim, mencari perubahan yang nyata di wilayah tersebut dan merupakan kelanjutan dari upaya AS untuk mempertahankan penjajahannya di wilayah itu dan membenarkan kehadiran jangka panjang mereka.
Kedua, setelah perang satu dekade dan dengan pasukan AS yang menderita kelelahan perang, AS untuk saat ini mengerahkan pasukan operasi khusus (SOFs) dan para staf CIA untuk mempersenjatai dan mengarahkan para pejuang Irak dan Kurdi untuk melawan ISIS.
Kedubes AS di zona hijau Baghdad diarahkan untuk melakukan serangan terhadap Haditha dan bendungan strategis di Sungai Efrat. Operasi pasukan pemerintah Irak yang sukses melawan ISIS telah dipelopori oleh dua pasukan bentukan AS yang sangat terlatih. Pasukan operasi khusus Irak, Golden Brigade, yang menerima pelatihan di AS dan Yordania memimpin serangan ganas di kilang minyak Beiji dan mempelopori usaha yang berhasil untuk merebut kembali Dam Mosul sebelum menyerahkan kendali kekuasaan kepada pasukan Kurdi Peshmerga.
Di Utara Irak, Pasukan Khusus Komando AS telah melakukan pertempuran di darat, meskipun Obama mengatakan tidak ada pasukan yang akan diturunkan. Wilayah Kurdi berbagi perbatasan dengan wilayah Sunni yang merentang hingga 600 mil di Irak dan pasukan khusus AS ini memainkan peran sentral dalam melakukan serangan balik terhadap ISIS di Arbil. Pasukan Khusus ini juga telah mencek dan memberikan senjata kepada para pejuang Kurdi yang menghindari pusat pemerintah Bagdad.
Para pejabat AS kini menyoroti pembentukan unit Garda Nasional yang akan direkrut secara lokal dan diberikan tanggung jawab utama atas keamanan di wilayah asal mereka, yang mirip dengan Shahwah – yakni Dewan Kebangkitan Sunni yang mendorong terbentuknya al-Qaeda di tahun 2005.
Ketiga, kekuatan udara AS telah memainkan peran penting dalam memperkuat baik pasukan darat Irak maupun Kurdi. Dengan berkedok usaha kemanusiaan, pesawat-pesawat militer AS mulai melakukan serangan udara yang diarahkan pada ISIS di Irak utara.
Pesawat angkut Angkatan Udara AS menurunkan bantuan bagi kelompok Yazidi yang terkepung di Gunung Sinjar dan didominasi oleh Syiah di kota Amerli. Jet-jet AS juga telah mengangkut amunisi dan peralatan untuk pasukan Kurdi. Di samping melakukan transportasi dan serangan dengan pesawat pembom berat, AS telah melakukan serangan terhadap artileri ISIS, konvoi-konvoi dan pos-pos komando.
Dalam kedua operasi baik di bendungan Mosul maupun Haditha, pesawat-pesawat AS menyediakan perlindungan udara kepada pasukan darat Irak, yang mengambil kembali wilayah yang telah direbut ISIS. Drone-drone AS juga telah melakukan pengintaian dalam mengumpulkan data intelijen penting mengenai posisi ISIS. Strategi ini membantu memecah konsentrasi pasukan ISIS.
Setelah pidato Obama dari Gedung Putih Pentagon mengatakan bahwa pesawat-pesawat tempur AS akan segera mulai terbang keluar dari pangkalan di Arbil, ibukota otonom Kurdi di Irak utara, sebagai bagian untuk memperluas serangan udara terhadap ISIS.
Kekuatan udara kemungkinan akan tetap menjadi komponen penting dalam eskalasi serangan AS baik di Irak maupun Suriah, dengan memberikan dukungan udara kepada pasukan darat Irak dan Kurdi sehingga akan membantu serangan yang mendorong ISIS keluar dari wilayah yang mereka kontrol.
Keempat, komponen yang paling penting dari strategi ini adalah Iran, yang telah menerima sangat sedikit perhatian dari media global. Kedua negara, meskipun dalam pernyataan terbuka saling bertentangan, mereka mengulangi sejarah hubungan kerja sama.
Sementara pemimpin tertinggi Iran baru- baru ini membuat pernyataan yang menyetujui kerjasama dengan AS yang memberikan otorisasi kepada komandan tertingginya untuk mengkoordinasikan operasi militer dengan pasukan AS, Irak dan Kurdi, tapi baik Iran dan AS mulai bekerja sama segera setelah ISIS mengambil alih Mosul.
Hossein AmirAbdollahian (wakil menteri luar negeri Iran untuk urusan Arab dan Afrika) dan Jake Sullivan (penasihat Wakil Presiden AS Joe Biden) terlibat dalam mendukung saluran diplomasi di Oman setelah militer Irak runtuh ketika menghadapi serangan ISIS pada bulan Juli 2014.
AS dan Iran bekerja di belakang layar untuk menggantikan peran mantan Perdana Menteri Irak Nouri alMaliki, yang dianggap oleh Washington dan Teheran bertanggung jawab atas krisis politik di Irak. Namun, dalam pertempuran di Amerli kerjasama AS-Iran terlihat perbedaan taktis.
Tingkat keterlibatan Iran terungkap dalam foto Mayor Jendral Qasim Suleimani, Kepala Korps Pasukan Elite Pengawal Revolusi Al Quds, di medan perang Irak di kota Amerli menyusul keberhasilan dalam upaya mematahkan pengepungan oleh ISIS terhadap kota itu. Suleimani memainkan peran mengarahkan operasi langsung dari medan perang.
Pasukan keamanan Irak, milisi Syiah dan Iran saling membantu melawan ISIS di medan perang sementara kekuatan udara AS mengeluarkan ISIS dengan serangan udara. Sejalan dengan pemulihan hubungan antara kedua negara itu, juru bicara Pentagon Kolonel Steve Warren menegaskan: “Kami percaya semua negara, terlepas dari perbedaan yang ada, harus bekerja dengan tujuan melemahkan dan akhirnya mengalahkan ISIS.”
Strategi Amerika telah dilakukan dengan perlahan dan ini telah ditafsirkan oleh sebagian orang sebagai kurang memiliki strategi. Meski yakin baik pasukan Irak dan Kurdi akan mampu menghentikan laju pasukan ISIS untuk wilayah masing- masing, tetapi AS tetap campur tangan, untukbertempur menghadapi mobilitas dan taktik yang agresif dari ISIS.
Amerika menyukai Bashar al Assad di Suriah tetap berdiri saat ISIS menghancurkan para pejuang yang bersatu untuk menjauhkan rezim baik di Irak dan Suriah, dalam kasus Suriah al Assad bahkan berhenti menyerang ISIS yang menaklukan kota-kota karena hal ini menguntungkan posisinya di Suriah.
Setelah dinyatakan sebagai Khilafah di wilayah utara Suriah yang meluas hingga ke Irak, ISIS sekarang merupakan ancaman bagi bangunan yang didirikan AS di wilayah tersebut. Pidato Obama di depan publik memperjelas bahwa AS akan meminta bantuan banyak negara untuk memukul mundur ISIS dan mempertahankan dominasinya di wilayah tersebut.
Pada akhirnya, baik kekuatan udara AS atau pasukan operasi khusus Irak akan memukul mundur ISIS, dan AS membutuhkan penduduk Sunni Irak yang berbalik melawan ISIS seperti yang berhasil dilakukan pada 2005 melalui dewan-dewan kebangkitan. Dengan demikian, solusi nyata adalah solusi politik dan bukan militer.[]