Oleh: Hafidz Abdurrahman
Selain Madinah Rasul ini merupakan tanah haram Rasulullah, dengan berbagai keistimewaannya, Madinah pernah menjadi ibukota Negara Islam pertama yang didirikan oleh Nabi saw. Dari sanalah, kemudian Islam berdaulat dan menjadi qiyâdah fikriyyah (kepemimpinan berpikir) bagi umat manusia di seluruh dunia. Masjid Nabawi kala itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pemerintahan di zaman Rasulullah saw.
Bukti-bukti bahwa Masjid Nabawi ini menjadi pusat pemerintahan, hingga kini tempat-tempat bersejarah yang digunakan oleh Nabi menerima delegasi (wufûd) masih ada. Tepatnya, di tempat yang kini berdiri kokoh Ustuwânah Wufûd (tiang delegasi). Di sinilah Rasulullah saw. di masa lalu menerima tamu, dari mana pun mereka berasal, jika mereka menemui baginda saw. Posisinya paling ujung dari sudut Mihrab Tahajjud, di antara tiga tiang yang berjajar di sebelahnya. Termasuk tamu-tamu kenegaraan juga diterima di sini.
Setelah tiang ini, ada tiang lain yang berdiri di samping kanan dari hadapan kita, jika kita menghadap ke tiang tersebut. Di tempat inilah, ‘Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus pengawal Nabi saw. ditugaskan untuk berjaga, menyampaikan pesan kepada Nabi dari para tamu yang hendak bertemu, atau menyampaikan sesuatu kepada Nabi. Demikian juga sebaliknya. Di tempat ‘Ali bin Abi Thalib berjaga ini kemudian diabadikan, dengan dibangun sebuah tiang bernama Ustuwânah Haris (tiang penjaga). Posisi di tengah di antara tiga tiang yang berjajar di dinding rumah Nabi.
Paling ujung, berdekatan Makam Nabi, yang dahulunya adalah rumah ‘Aisyah, terdapat tiang untuk mengabadikan posisi Nabi, ketika melakukan i’tikaf di Masjid Nabawi. Di situ Nabi duduk beri’tikaf. Ada yang mengatakan, Nabi saw. juga membawa alas tidurnya di situ. Karena itu, tiang itu pun diberi nama Ustuwânah Sarîr (tiang tempat tidur). Lihat Gambar 2.
Kedua tiang (Ustuwânah), yaitu Ustuwânah Hâris dan Wufûd ini membuktikan, bahwa Masjid Nabawi bukan hanya tempat Nabi dan para sahabat melakukan ibadah mahdhah, tetapi juga tempat untuk melayani umat dan mengurus urusan mereka. Dengan kata lain, Masjid Nabawi juga menjadi pusat kegiatan politik Nabi dan para sabahat, ketika ibukota Negara Islam ini berada di Madinah al-Munawwarah.
Ketiga Ustuwânah melekat di dinding ram besi yang mengelilingi rumah ‘Aisyah dan Fatimah. Dinding ram besi yang mengelilingi rumah ‘Aisyah dan Fatimah ini disebut Maqshûrah. Dengan panjang kali lebar, 100 x 5 m. Di sinilah tempat tinggal ‘Aisyah bersama Rasulullah berada. Di kamar inilah Rasulullah saw. dimakamkan, bersama kedua sahabatnya, Abu Bakar dan ‘Umar. Masih ada satu tempat yang tersisa, yang kelak akan digunakan untuk menguburkan Nabi ‘Isa as setelah turun kembali ke bumi.
Sebelum Nabi, Abu Bakar dan ‘Umar wafat dan dimakamkan di rumahnya, ‘Aisyah pernah bermimpi. “Aku telah bermimpi melihat tiga rembulan jatuh di kamarku. Maka, kuceritakan kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra (ayahku).” Setelah Rasulullah saw wafat, dan dikuburkan di rumah ‘Aisyah, Abu Bakar berkata kepadanya, “Inilah salah satu rembulanmu. Dan inilah yang terbaik.”
Sedangkan dari Malik dikisahkan, bahwa Rasulullah wafat pada hari Senin, dikuburkan hari Selasa, dan orang mensholati jenazah baginda saw. sendiri-sendiri. Tidak ada seorang pun yang berani menjadi imam. Kemudian ada yang mengatakan, “Kuburkan saja di mimbar’’. Yang lain menimpali, “Kuburkan saja di Baqi’’’. Setelah Abu Bakar datang, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah pernah bersabda, “Tidak ada seorang Nabi pun yang dikuburkan, kecuali di tempat di mana ia wafat”. Lalu, digalilah tempat itu (dimana Nabi wafat, yaitu di kamar Aisyah). Ketika sedang dimandikan, orang-orang hendak membuka baju Nabi saw., tiba-tiba mereka mendengar suara yang mengatakan, “Jangan kalian lepas baju itu.”, maka baju Rasul pun tidak dilepas hingga selesai dimandikan.[1]
Ketika Abu Bakar wafat, beliau juga dimakamkan di kamar ‘Aisyah di samping Rasulullah, sebagaimana wasiatnya sendiri. Maka, dialah rembulan kedua dalam mimpi ‘Aisyah. Sebelum ‘Umar bin al-Khatthab wafat, beliau mengutus putranya, yang juga sahabat Nabi saw., ‘Abdullah bin ‘Umar untuk menghadap Ummul Mu’minin, ‘Aisyah. Dia menyampaikan pesan ayahandanya, ‘Umar seraya berkata, “Umar menyampaikan salam kepadamu dan memohon, agar bisa dikuburkan bersama kedua sahabatnya.” ‘Aisyah pun menjawab, “Sebenarnya aku menginginkanya untuk diriku sendiri dan hari ini aku tidak menginginkanya lagi.”
Ketika (‘Abdullah bin ‘Umar) kembali, dia berkata, “(‘Aisyah) telah mengizinkannya untukmu, wahai Amirul Mu’minin.” Umar menimpali, “Tidak ada sesuatu yang lebih penting bagiku daripada tempat peristirahatan itu.”[2]
‘Abdullah bin Salam mengatakan, bahwa dalam kitab Taurat tertulis sifat Muhammad saw. dan ‘Isa bin Maryam akan dimakamkan di tempat yang sama. Menurut Abu Maudud, bahwa di kamar ‘Aisyah masih cukup untuk satu tempat pemakaman lagi.[3] Sedangkan Ummul Mukminin, ‘Aisyah ra dimakamkan di Makam Baqi’ al-Gharqad bersama Ummul Mukminin yang lainnya. Kecuali Sayyidinah Maimunah dan Khadijah yang dimakamkan di Makkah.
Sebelah selatan makam terdapat pintu keluar yang bernama Bâb al-Baqî’, karena menghadap ke Makam Baqî’ al-Gharqad. Persis di dinding sebelah pintu tersebut ada jendela yang ditutup, bersebelahan dengan Bâb Jibrîl. Posisinya terletak di rumah ‘Aisyah. Di situlah, biasanya Malaikat Jibril menemui Nabi saw. untuk menyampaikan wahyu dari Allah SWT. Lihat Gambar 4.
Sedangkan area sebelah utara Maqshurah sampai ke mimbar Nabi saw. dengan karpet berwarna hijau muda itulah yang disebut Raudhah Syarîfah. Nabi bersabda:
«ماَ بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ، وَمِنْبَرِيْ عَلَى حَوْضِيْ».
“Antara rumahku dan mimbarku terdapat taman (Raudhah) di antara taman-taman surga. Mimbarku di atas telagaku.” [4]
Sebagian ulama’ salaf menjelaskan makna hadits tersebut secara harfiah, sehingga konotasi taman-taman yang dimaksud di sini menyerupai taman-taman surga. Ada yang menafsirkan, bahwa Raudhah ini kelak akan dipindahkan oleh Allah ke surga. Namun, ada yang menafsirkan lagi, bahwa maksudnya adalah orang yang berdoa dan memohon kepada Allah di tempat ini sama seperti penghuni surga ketika memohon kepada Allah. Permohonan dan doanya mustajab.[5]
Bukan hanya Raudhah, yang memiliki keistimewaan, tetapi juga mimbar dan tiang-tiang mimbar Nabi saw. Baginda bersabda:
«إنَّ مِنْبَرِيْ عَلَى تُرْعَةٍ مِنْ تُرَعِ الْجَنَّةِ».
“Sesungguhnya mimbarku ini berada di atas sebuah pintu dari pintu-pintu surga.” [6]Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya tiang-tiang mimbarku ini (menjadi) pahala kelak di surga.”[7] Lihat Gambar 5.
Di sana ada Mihrab yang digunakan oleh Nabi saat menjadi imam shalat. Di sebelah kanannya ada mimbar. Mihrah ini pertama kali dibangun oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz untuk mengabadikan tempat Nabi saw. Di sudut kanan depan Mihrab ini terdapat tiang yang menempel. Tiang ini dahulunya tempat sebatang pohon kurma, yang sering digunakan oleh Nabi saw untuk khutbah dan shalat. Sampai ada seorang sahabat yang mengajukan izin kepada Nabi untuk membuatkan mimbar, agar bisa digunakan untuk khutbah, supaya tampak oleh jamaah di belakang. Setelah Nabi mengizinkan, sahabat itu pun membuatkan mimbar untuk Nabi setinggi 3 tingkat.
Setelah mimbar itu jadi, diletakkan di tempat Nabi saw. berdiri. Ketika akan menuju mimbar tersebut, baginda saw melewati batang pohon kurma tersebut. Saat melintasi batang tersebut, batang pohon ini menjerit, hingga terbelah.[8] Saat jeritan itu terdengar, Nabi saw. pun turun dari mimbarnya, dan mengusap batang pohon tersebut hingga diam, lalu kembali lagi ke mimbar. Bila mengerjakan shalat, Nabi pun shalat di tempat batang pohon itu.
Imam al-Hasan al-Bashri ketika menuturkan kisah ini tak kuasa menahan air mata, seraya berkata, “Wahai manusia, mestinya kalian lebih merindukan perjumpaan dengan Rasulullah saw. Batang kurma saja merintih, dan merindukan Rasulullah, lalu memohon baginda saw. kembali ke tempatnya.”[9]
Di tempat bekas bongkahan batang kayu ini, kemudian didirikan tiang, yang disebut Ustuwânah Mukhallaqah. Tiang ini juga disebut Ustuwânah ‘Aisyah, karena ‘Aisyah-lah yang menunjukkan rahasia tempat tersebut. ‘Aisyah menuturkan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Ada sebongkah tanah di samping tiang (Mukhallaqah) di Masjid Nabawi itu. Andai orang-orang tahu, maka mereka pasti mengundi untuk berebut mendapat tempat itu untuk shalat.” Karena itu, tiang ini disebut Ustuwânah Mukhallaqah (tiang undian).[10]
Selain Ustuwânah Mukhallaqah ini ada tiang lain, yang disebut Ustuwânah Abu Lubabah. Ustuwânah Abu Lubabah, karena di tiang inilah dahulu Abu Lubabah mengikatkan dirinya untuk bertaubat, menebus kesalahannya, setelah berkhianat kepada Rasulullah. Sampai taubatnya diterima oleh Allah, dan ikatan yang membelit tubuhnya dengan tiang tersebut dilepas sendiri oleh tangan Rasulullah saw.
Abu Lubabah bertaubat dengan mengikatkan dirinya pada tiang itu setelah membeberkan rahasia kepada kaum Yahudi Bani Quraidhah. Bani Quraidhah ini meminta kepada Nabi agar mengirimkan Abu Lubabah untuk diajak bernegosiasi, dan mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah kami akan tunduk pada kekuasaan Muhammad.” Abu Lubabah memberikan isyarat, jika keputusan Rasulullah yang mereka pilih, mereka pasti dihukum mati. Maka, mereka pun minta diadili oleh Sa’ad bin Mu’adz.
Ketika dia sadar, bahwa dirinya mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dia bersumpah tidak akan melakukan apa-apa sampai menemui ajalnya, atau Allah memberikan ampunan, dia pergi ke Masjid dan mengikatkan dirinya pada sebatang tiang selama 9 hari sampai jatuh pingsan. Kemudian Allah menurunkan ayat kepada Rasulullah, bahwa taubatnya diterima oleh Allah. Orang-orang pun menyampaikannya kepada Abu Lubabah perihal itu, dan ingin melepas ikatannya. Namun, dia bersumpah, bahwa talinya tidak akan dilepas, sebelum Rasulullah sendiri yang melepaskannya. Akhirnya, Nabi saw pun melepaskan ikatannya itu sendiri. Setelah lepas, dia berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, saya telah bernadzar untuk mensedekahkan hartaku.” Nabi pun menjawab, “Sepertiganya saja engkau sedekahkan sudah mendapat pahala.”
Sejarah Masjid Nabawi ini dimulai ketika Rasulullah saw. menginjakkan kaki pertama kali di Madinah. Tepatnya di perkampungan Bani Najjar pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awwal 1 Hijriah, bertepatan dengan 27 September 622 M. Awalnya baginda saw. turun di bidang tanah, di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari. Di tempat itu baginda saw. bersabda, “Insya Allah di sinilah tempatku.” Kemudian baginda memasuki rumah Abu Ayyub ra.
Langkah pertama yang ditempuh Rasulullah saw. sesampainya di Madinah adalah membangun masjid, yaitu Masjid Nabawi. Lokasi yang baginda pilih untuk dibagun masjid adalah tempat berhentinya unta baginda saw. pertama kali di Madinah. Kemudian baginda saw. membeli tanah tersebut dari pemiliknya, dua anak yatim. Dalam pembangunan masjid ini, baginda saw. sendiri ikut memindahkan batu bata seraya melantunkan syair:
Ya Allah, ya Tuhanku, tiada kehidupan selain kehidupan akhirat
Ampunilah dosa-dosa orang Anshar dan Muhajirin
Batu bata yang dibawa ini sangat berbeda dengan kismis atau kurma Khaibar
Ia lebih suci dan lebih kekal di hadapan Rabb kita Yang Mahabesar
Maksud syair ini sebenarnya untuk memacu semangat para sahabat dalam bekerja, sehingga salah seorang dari mereka ada yang membalas syair Nabi saw:
Seandainya kami hanya duduk, sedangkan nabi bekerja
Tentu kami menjadi orang yang sesat tak berguna
Di lokasi pembangunan masjid ini ketika itu masih terdapat kuburan kaum Musyrik. Selain itu, di tempat ini juga masih ada sisa puing-puing bangunan, pohon kurma, dan pohon Gharqad (sejenis pohon berduri). Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan agar kuburan tersebut dibongkar, puing-puingnya diratakan, sedangkan pohon kurma dan pohon Gharqad ditebang, lalu disusun di arah kiblat masjid. Pada saat itu kiblat masjid masih menghadap ke Baitul Maqdis, Palestina. Rangka pintunya terbuat dari batu, sedangkan tiang-tiangnya terbuat dari batang pohon kurma. Lantainya adalah pasir dan kerikil yang terhampar.
Masjid ini dibuat dengan tiga pintu. Panjang masjid dari mihrab sampai ke bagian paling belakang mencapai 100 hasta (dzirâ’), sedangkan lebarnya sekitar 100 hasta (dzirâ’). Sementara kedalaman pondasi masjid kira-kira sekitar 3 hasta (dzirâ’).
Di sisi masjid, dibangun beberapa ruangan dari bebatuan dan batu bata. Atapnya terbuat dari pelepah kurma dan tiangnya dari batang kurma. Ruangan ini merupakan rumah-rumah untuk istri-istri Rasululllah saw. Selama pembangunan masjid dan komplek tersebut, Nabi menetap di rumah Abu Ayyub al-Anshar ra. Setelah selesai, dan ruangan-ruangan ini juga sudah siap, Rasulullah saw. pun pindah dari rumah Abu Ayyub ra.
Keberadaan Masjid Nabawi tidak hanya dimanfaatkan untuk shalat, tetapi juga sebagai tempat menimba ilmu bagi kaum Muslimin. Masjid Nabawi juga menjadi tempat pertemuan berbagai kabilah yang pada masa jahiliyah kerap berseteru. Masjid ini juga dijadikan pusat pemerintahan dan aktivitas dakwah, sekaligus sebagai tempat musyawarah antara Nabi dan anggota Majelis Syûrâ. Masjid juga menjadi tempat berteduh orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin, yang dikenal dengan sebutan Ahlu as-Shuffah. Mereka tidak memiliki rumah, harta, istri dan anak. Lihat Gambar 7.
Pada permulaan hijrah, yang pertama kali disyariatkan adalah seruan adzan. Seruan ini berdasarkan mimpi ‘Abdullah bin Zaid bin Abdu Rabbihi yang diajari tentang bacaan adzan. Mengetahui mimpi ‘Abdullah itu, Rasulullah menetapkan disyariatkannya adzan. Ternyata, mimpi yang serupa juga dialami ‘Umar bin al-Khatthab, dan Rasulullah kembali menetapkannya.
[1] Lihat, Malik, al-Muwattha’, Bab Ma Ja’a fi Dafn al–Mayyit, Juz XVI/27. [2] H.r. Bukhari, hadits no. 1392. [3] At-Tirmdzi, Jami’ at-Tirmidzi, hadits no. 3696. [4] H.r. Bukhari, hadits no 1888. [5] Lihat, Ibn Najjâr, Akhbâr Madînati ar-Rasûl, hal. 389. [6] Lihat, al-Haitsami, Majma’ Zawaid, Juz IV/9. [7] H.r. an-Nasa’i. [8] H.r. Ibn Majah, hadits no. 1414; Bukhari, hadits no. 3583. Imam Bukhari menuturkan, bahwa suara jeritan batang pohon itu seperti suara rintihan unta yang sedang bunting 10 bulan. [9] Lihat, al-Mullâ al-Qâri, Syarah as-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, Juz III/63. [10] Lihat, al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid, Juz IV/10.