Kritik perda syariat di Aceh, Sindrom #SyariahPhobia juga landa lembaga Amnesty Internasional
Aturan pidana Islam yang baru diterapkan oleh pemerintah daerah Aceh – dikenal dengan nama Qanun Jinayat – merupakan kemunduran bagi penegakan hak asasi manusia, kata Amnesty International, 27 September lalu.
Qanun Jinayat mengatur sejumlah larangan dan sanksi yang sesuai dengan syariah Islam, termasuk larangan aktivitas seksual sesama jenis, hubungan seksual di luar nikah, dan berduaan dengan sesama jenis yang bukan suami atau istrinya (khalwat).
Semua orang yang bersalah akan menghadapi hukuman cambuk, penjara, atau denda. “Hukum yang mengkriminalisasi hubungan seksual di luar nikah telah melanggar hak pribadi. Praktiknya banyak disalahgunakan untuk menghukum pilihan perempuan,” kata Richard Bennett, Direktur Amnesty International Asia Pasifik. (sumber : bbc.co.id http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/09/140925_amnesty_qanun_aceh)
Komentar :
Propaganda lebay dan over exposed Barat terhadap perda Syariat di Aceh, baik yang dilakukan oleh elemen medianya ataupun institusi politiknya – sebenarnya mencerminkan bentuk paranoid mereka terhadap Syariat Islam dan kebangkitan umat Islam. Jelas sekali, mereka menderita Syariah Phobia. Mereka terus berusaha untuk mengecam dan mencari-cari kesalahan pihak-pihak yang masih berpegang terhadap kemuliaan Syariat Islam dan yang tidak setuju dengan nilai-nilai cacat sekuler liberal. Barat takut kalau umat Islam kembali menerapkan syariah Islam yang menjadi kunci kemenangan, kemuliaan, dan keamanan bagi kaum Muslimin bahkan bagi dunia secara keseluruhan. Syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang diterapkan secara menyeluruh dan adil akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan umat manusia.
Rabun Dekat Kronis. Syariah phobia Barat rupanya memiliki buntut panjang, karena membuat mereka mengalami gejala rabun kronis yang membutakan mereka terhadap kanker yang ada dalam masyarakatnya sendiri. Ibarat pepatah kuman di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata tidak terlihat, Barat perlu berkaca dahulu sebelum menunjuk muka umat Islam di Aceh.
Baru-baru ini sebuah survei Inggris telah mengungkap bahwa serangan terhadap umat Islam di Inggris meningkat tajam, dengan rata-rata dua kejahatan Islamofobia dilaporkan setiap hari. Selain itu, data menunjukkan bahwa 54 persen dari korban Islamophobia adalah perempuan, karena mereka mengenakan busana muslimah. Survey ini disusun oleh para akademisi di Teesside University yang merangkum sebanyak 734 insiden, hanya dalam kurun waktu Mei lalu hingga 28 Februari 2014. Dirilisnya survei ini hanya beberapa hari setelah Nahid Almanea, seorang mahasiswa asal Arab Saudi, ditikam sampai mati di Essex, sebelah timur laut dari London.
Ironisnya bukan hanya kaum Muslimah saja yang menjadi korban terampasnya hak dan kehormatan mereka, perempuan dari kaum mereka sendiri pun menjadi korban pelanggaran HAM. Tercatat Di Inggris, Home Office mengungkapkan data statistik seorang perempuan diperkosa setiap 6 menit sekali. Demikian juga di AS, menurut data statistic dari RAINN (www.rainn.org) pelecehan seksual terjadi setiap 2 menit sekali. Dan di Eropa 1 dari 4 perempuan mereka telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Fenomena ini adalah bukti nyata bahwa HAM dan Demokrasi adalah sekedar dagangan politik mereka untuk mengontrol negeri-negeri Muslim tapi tidak untuk negeri mereka sendiri, dan akan selalu menjadi komoditas politik Barat untuk menyudutkan Syariah Islam. Jadi pertanyaannya adalah siapa sebenarnya yang melanggar hak asasi dan mendiskriminasikan kaum perempuan?
Rabun dekat kronis, ya bisa dibilang demikian, karena pelanggaran HAM dan diskriminasi kaum Muslimah di Barat selalu dianggap hanya sebagai kasus minor dan media hanya menyalahkan “individu”, namun jika kejadian itu menimpa negeri Muslim (apalagi yang menerapkan Syariat Islam secara lokal) mereka akan berlomba memojokkan secara kolektif “Sistem” Syariat dan umat Islam.
Inilah teater opini murahan kaum barat dan jaringan media liberalnya, mereka lebih peduli pada terampasnya hak segelintir perempuan mengendarai mobil di Saudi, tapi mendiamkan diskriminasi dan kriminalisasi massal pada perempuan Muslim di negerinya. Mereka juga lebih tertarik pada hak pendidikan Malala di Afghanistan, namun menutup mata pada ratusan korban anak-anak Muslim Afghanistan akibat serangan pesawat Drone NATO.
Dan mereka lebih tergiur untuk terus mengkampanyekan bahwa perda Syariah mendiskriminasi perempuan Aceh, dibandingkan memikirkan solusi untuk JUTAAN perempuan Indonesia teramputasi haknya untuk mendapat sesuap nasi hingga tereksploitasi menjadi jutaan TKW di negeri orang. Munafik.
(Fika Komara – Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir untuk Asia Tenggara)