Akar Permasalahan Umat
Sesungguhnya akar permasalahan umat ini bermuara pada tiga hal.
(1) Sistem yang tidak menerapkan syariah Islam.
Negara Indonesia sejatinya merupakan negara sekular, yakni negara yang tidak menjadikan agama (baca: Islam) sebagai dasar negara. Negara sekular tidak melarang agama untuk hidup, tetapi mematikan syariah Islam untuk diterapkan. Negara sekular membiarkan Islam yang dilaksanakan sebatas ritual, tetapi tidak memberikan ruang bagi Islam untuk diterapkan dalam tataran politik dan ideologis. Karena itu, di negara sekular mustahil syariah Islam diterapkan secara kaffah (totalitas). Inilah yang menjadi sebab utama munculnya berbagai permasalahan umat.
Sebagai contoh: Di Indonesia minuman keras/miras (khamr) tidak dilarang alias bebas diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi. Walaupun ada perda miras di beberapa daerah, isinya tidak melarang total, hanya membatasi peredaran saja. Apa akibatnya? Selain akan merusak akal para peminumnya, konsumsi khamr juga akan memicu maraknya kriminalitas dan kejahatan. Tidak aneh jika di Indonesia angka kriminalitas dan kejahatan makin meningkat; bahkan diperkirakan mencapai 65-70% tindak kriminalitas umum akibat mabuk minuman keras (Kompas.com, 21/1/2011). Karena itu sistem yang tidak menerapkan syariah Islamlah yang memunculkan berbagai macam permasalahan.
(2) Penerapan sistem Kapitalisme.
Sistem ekonomi yang kompatibel dengan sistem politik demokrasi adalah sistem kapitalisme. Negara Indonesia, walaupun tidak mengakui sebagai negara kapitalis, realitanya merupakan kapitalis sejati.
Kapitalisme adalah sistem yang “memanjakan” para kapitalis alias para pemilik modal. Dalam negara kapitalis, yang memegang kekuasaan tertinggi sejatinya para pengusaha, bukan presiden apalagi rakyat. Para pengusaha bahkan bisa menentukan arah kebijakan negara, program pemerintah hingga pasal dalam undang-undang yang akan diberlakukan.
Antara pengusaha dan penguasa dalam sistem kapitalis ada semacam “simbiosis mutualisme” alias saling menguntungkan dan saling memanfaatkan. Orang yang ingin menjadi pejabat atau wakil rakyat pasti membutuhkan uang yang banyak. Uang itu “sumbernya” ada pada para konglomerat. Sebaliknya, para pengusaha dan konglomerat membutuhkan kebijakan negara, termasuk proyek pemerintah, untuk mengembangkan kerajaan bisnisnya. Karena itu sangat lazim dalam sistem kapitalisme yang disejahterakan hanya segelintir orang saja, yakni para pengusaha. Adapun sebagian besar rakyat tetap hidup dalam kemiskinan. Sistem kapitalisme adalah sistem yang membuka lebar jurang antara orang kaya dan orang miskin. Sebagai bukti, menurut ekonom Indef, Enny Sri Hartati, 20% dari penduduk Indonesia menguasai 48% PDB; sedangkan mayoritas yaitu 80% dari penduduk Indonesia hanya menguasai 52% PDB.
(3) Bercokolnya penguasa yang menjadi boneka Barat.
Penguasa boneka adalah penguasa yang menjadi kepanjangan tangan negara Barat. Untuk menjamin agar kepentingannya di berbagai negara berjalan mulus, mereka harus memastikan bahwa pemerintah yang berkuasa adalah bonekanya alias penguasa yang dapat disetir dan mendukung mereka secara penuh.
Penguasa boneka adalah penguasa yang selalu mengikuti kebijakan asing. Sebagai contoh, pada tahun 1989 terdapat kesepakatan antara AS, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang dikenal dengan The Washington Concensus. Di dalamnya terdapat kebijakan liberalisasi perdagangan, privatisasi dan pencabutan subsidi. Penguasa yang membebek kepada AS menerapkan kebijakan tersebut. Perusahaan-perusahaan negara (BUMN) dijual kepada asing. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut. Indonesia “dipaksa” mengikuti pasar bebas sekalipun masyarakatnya tidak siap.
Evaluasi Perjuangan Umat
Kita sudah mengetahui bahwa akar masalah umat ini terjadi karena tiga hal: (1) sistem yang tidak menerapkan syariah Islam; (2) penerapan sistem kapitalisme; (3) bercokolnya penguasa yang menjadi boneka Barat. Ketiga hal itulah yang menyebabkan berbagai persoalan umat Islam begitu menyeruak dan tak kunjung selesai. Ketiga hal di atas terjadi karena satu hal: tidak adanya lagi sistem Khilafah. Khilafah adalah sistem Pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, membebaskan negeri-negeri Muslim dari penjajahan negara kafir imperialis, menghilangkan sekat-sekat nasionalisme serta menyatukannya dalam dalam satu wadah negara: “Daulah Khilafah”.
Karena itu seluruh elemen umat Islam, mulai dari tokoh, gerakan Islam, ormas dan parpol Islam seharusnya fokus memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam.
Mengapa Khilafah belum juga berhasil ditegakkan? Hal itu setidaknya disebabkan oleh dua hal:
- Perjuangan penegakkan Khilafah tidak dijadikan sebagai fokus dan agenda bersama (common sense).
Jika seluruh elemen umat fokus berjuang untuk menegakkan Khilafah dan menjadikan perjuangan ini sebagai agenda utama mereka, maka tak mustahil Khilafah akan tegak lebih cepat dari yang kita prediksikan. Namun sayang, saat ini perjuangan penegakkan Khilafah belum menjadi fokus para tokoh, ormas, gerakan dan parpol Islam. Masing-masing mengusung agenda sendiri yang sering tidak berhubungan langsung dengan perjuangan penegakkan Khilafah.
Sebagai contoh, ada gerakan dakwah yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan seperti: membagikan sembako; mendirikan sekolah; membangun rumah sakit, membantu fakir miskin, anak-anak yatim dan jompo; dan yang sejenis dengan itu. Mereka mnjadikan kegiatan sosial itu sebagai “metode dakwah”-nya. Aktivitas tersebut memang sangat dianjurkan oleh Islam kepada kaum Muslim. Namun, aktivitas semacam itu tidak berhubungan langsung dengan masalah utama kaum Muslim dan tidak mungkin mencapai target yang seharusnya diwujudkan kaum Muslim, yakni menegakkan sistem Khilafah dan mengembalikan penerapan syariah.
Maka dari itu, perkara mendesak yang seharusnya dijadikan sebagai fokus perhatian dan agenda utama umat Islam saat ini adalah perjuangan penegakkan Khilafah. Bahkan perjuangan tersebut harus dijadikan sebagai agenda jangka pendek, bukan agenda jangka panjang.
- Tokoh umat masih percaya pada jalan demokrasi.
Jalan demokrasi memang menggiurkan. Siapa yang tak ingin “berjuang” dengan menjadi anggota dewan; menjadi bupati, jadi gubernur, hingga presiden; menjadi pejabat publik yang dihormati banyak orang, mendapatkan gaji yang wah dan berbagai fasilitas mewah. Karena itu lalu berbondong-bondong tokoh umat memilih jalan ini. Alasannya klasik, kalau kita tidak mewarnai sistem ini dengan menempatkan orang-orang baik, bagaimana mungkin sistem ini bisa berubah? Padahal jalan demokrasi ini memiliki jebakan dan beberapa bahaya.
Pertama: Bahaya ideologis. Sistem demokrasi adalah sistem kufur karena menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat yang direpresentasikan oleh “wakil rakyat” memiliki hak membuat undang-undang. Padahal dalam Islam, hak membuat hukum dan perundangan hanya ada pada Allah SWT. Orang yang terlibat dalam sistem demokrasi, walaupun secara i’tiqadi masih meyakini Islam sebagai solusi, ketika mereka melakukan legislasi (membuat perundang-undangan, apalagi UU yang dibuat tidak sejalan dengan Islam), jelas telah melakukan keharaman.
Kedua: Bahaya pragmatisme. Masuk ke dalam sistem demokrasi yang tidak menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan bertindak akan membuat siapapun bebas mengeluarkan ide dan gagasan yang bahkan jauh bertentangan dengan Islam. Di sisi lain ada pihak yang masih menginginkan nilai-nilai Islam. Agar tercapai titik temu, mau tidak mau, masing-masing pihak harus melakukan kompromi politik. Dengan adanya kompromi politik, alih-alih bicara idealisme, yang sering terjadi aktivis Muslim terjebak pragmatisme.
Ketiga: Menjauhkan umat dari perjuangan penegakkan Khilafah. Tujuan awalnya ingin agar Islam diterapkan melalui jalan demokrasi dan hanya menjadikan demokrasi sebagai jalan, bukan tujuan. Namun, saat menghadapi situasi dan kondisi politik sekular yang melenakan, akhirnya syariah Islam disembunyikan. Gagasan Khilafah Islam pun dibuang. Kini teriakannya tak jauh berbeda dengan politisi sekular: “demokratisasi”, bukan “islamisasi”. Alasannya, kalau bicara Islam, takut dituduh sektarian. Kalau memperjuang-kan syariah Islam takut tak mendapatkan dukungan. Akhirnya, alih-alih berjuang untuk Islam, yang terjadi malah menjauhkan gagasan syariah dan Khilafah Islam dari benak umat Islam. Alih-alih berjuang untuk tegaknya Khilafah, yang terjadi malah terseret sistem korup, menjadi pesakitan karena kasus korupsi atau risywah.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
(1) Menjadikan perjuangan penegakkan Khilafah sebagai agenda bersama.
Mengapa perjuangan penegakkan khilafah harus dijadikan sebagai agenda bersama umat Islam? Pertama: Penegakkan Khilafah merupakan kewajiban, bahkan disebut sebagai mahkotanya kewajiban (taj al-furudh); artinya merupakan kewajiban yang utama dan teramat penting karena dengan tegaknya Khilafah, seluruh syariah Islam bisa diterapkan.
Dalil kewajibannya banyak disebutkan oleh para ulama berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Ibnu Hajar al-Haytami al-Makki asy-Syafii (wafat 974 H), misalnya, dalam kitabnya, Ash-Shawa’iq al-Muhriqah (1/25), menulis: “Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para Sahabat r.a telah berijmak bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban. Bahkan mereka menjadikan hal itu sebagai kewajiban yang terpenting.”
Imam an-Nawawi (wafat 676 H), dalam Syarh Shahih Muslim (12/205) juga menulis: “Mereka (kaum Muslim) sepakat bahwa wajib bagi kaum Muslim mengangkat khalifah. Kewajiban (mengangkat khalifah) ini ditetapkan dengan syariah bukan dengan akal.”
Kedua: Rahmat untuk semesta akan terwujud dalam naungan Khilafah. Secara i’tiqadi (keyakinan) Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa rahmat. Nabi Muhammad saw. diutus untuk membawa Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmat[an] li al-’alamin). Sejarah pun membuktikan hal itu. Kejayaan Islam pada masa lalu diraih ketika kehidupan Islam—yang di dalamnya diterapkan syariah dalam institusi Khilafah—terwujud serta umat Islam bersatu dan bekeria keras di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Maka dari itu, kejayaan yang sama akan diraih kembali pada masa yang akan datang melalui jalan serupa.
Kejayaan Islam di bawah naungan Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur. Di antaranya. Will Durant, dalam The Story of Civilization (vol. XIII) menulis:
Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra. Filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.
(2) Konsisten mengikuti metode dakwah Rasulullah saw.
Metode penegakkan Khilafah bukan dengan cara kudeta dan mengangkat senjata; bukan pula dengan jalan demokrasi, melainkan mengikuti metode Rasulullah saw. dalam dakwah, yakni melalui jalan umat (‘an-thariq al-ummah) dan thalab an-nushrah.
“Jalan umat” adalah metode dakwah yang dilakukan agar umat meyakini dan menerima sistem Islam baik sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum maupun politik luar negerinya. Sebab, kekuatan negara dan pemerintahan terletak pada umat. Faktanya, negara adalah entitas teknis yang mengimplementasikan seluruh konsepsi, standarisasi dan keyakinan yang diterima oleh umat. Karena itu, penerimaan umat terhadap konsepsi, standarisasi dan keyakinan Islam tersebut merupakan pilar dasar bagi tegaknya sistem Islam. Begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, jelas sekali, yang dimaksud dengan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat) bukanlah people power atau revolusi rakyat, melainkan upaya sungguh-sungguh dan sistematik membangun sistem yang dibangun berdasarkan kekuatan umat melalui keyakinan, dukungan dan implementasi mereka terhadap sistem tersebut.
Adapun proses perubahannya dari sistem kufur ke sistem Islam hanya dilakukan melalui thalab an-nushrah. Thalab an-nushrah adalah aktivitas mencari perlindungan dan kekuasaan yang dilakukan gerakan dakwah atau partai politik Islam pada penghujung tahapan kedua dakwah, yaitu tahapan berinteraksi dengan umat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Dalam perjuangannya, Rasulullah saw. mencari perlindungan dan kekuasaan dari para kepala kabilah (suku). Rasulullah saw. melakukan thalab an-nushrah kepada banyak kabilah, baik di kampung mereka maupun di tempat-tempat mereka saat musim haji di Makkah. Kepada setiap kabilah, Rasulullah saw. mengajak mereka untuk beriman dan memberi nushrah (dukungan/pertolongan) kepada beliau untuk memberikan kekuasaan demi tegaknya agama Allah.
Akhirnya, Allah mendatangkan kepada beliau masyarakat Yatsrib (Madinah) dengan masuk Islamnya sebagian besar dari mereka. Mereka tidak memerangi dakwah sebagaimana yang terjadi di Mekkah. Bahkan para pemimpin dan pembesar dua kabilah, yaitu Kabilah Aus dan Khazraj, masuk Islam. Begitu juga sebagian besar anggota kabilah tersebut. Lalu Rasulullah saw. meminta pertolongan mereka untuk mendirikan negara Islam di Madinah. Ketika mereka setuju, Nabi saw. berakad dengan mereka dengan Baiat Aqabah II, yaitu baiat perang, baiat pendirian Negara Islam. Kemudian beliau berhijrah ke Madinah. Dengan kedatangan beliau, berdirilah Negara Islam. [Luthfi Afandi, S.H., M.H.; Humas HTI Jabar]