AS membangun koalisi 40 negara untuk memerangi radikalisme. Sambutan pun mulai merebak. Presiden SBY langsung mengadakan pertemuan tentang hal tersebut. Dua koran terdepan di Indonesia memuat tulisan terkait masalah yang sama. Republika (15/9/2014) memuat tulisan kolumnisnya, Ikhwanul Kiram. “Karena itu, akan lebih baik bila koalisi yang sekarang dibentuk adalah untuk memerangi semua kelompok garis keras yang mengancam keamanan dunia. Solusi militer hanya salah satunya. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana mencegah ideologi radikal berkembang-biak di masyarakat,” tulisnya.
Dia pun memprovokasi para ulama dengan melanjutkan, “Dan, ini adalah tugas para ulama dan tokoh agama. Para ulama dari berbagai negara juga perlu membentuk koalisi untuk mencegal ideologi radikal menjalar di masyarakat.”
Sekalipun Kiram memaknai kelompok-kelompok radikal sebagai kelompok yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, penggunaan kata ‘radikal’ bisa ditarik ke sana ke mari. Elastik seperti karet, sesuai kepentingan.
Kompas, pertengahan September 2014, menurunkan tulisan Masdar Hilmy, pengajar di UIN Sunan Ampel yang beberapa waktu lalu dihebohkan dengan tema ospek, ‘Tuhan Membusuk’. Inti tulisan itu mengarah pada pencegahan dan pelarangan apa yang mereka sebut paham radikal, termasuk di dalamnya gerakan yang mengusung khilafah secara damai. Makna ‘radikal’ telah dibiarkan berkelana sendiri tanpa ada batasan yang jelas. “Tak jarang gagasan khilafah mampu menawan sejumlah ilmuwan dari akademisi kampus hingga mereka menjadi pendukung dan pengusung gagasan khilafah,” tulisnya.
Namun, pengakuan tersebut tak mampu melahirkan pertanyaan mengapa ilmuwan dan akademisi itu mendukung khilafah? Kebaikan apa yang terdapat di dalam khilafah? Solusi apa yang diberikan khilafah terhadap problem multidimensi di negeri Muslim terbesar ini? Bagaimana ajaran Islam terkait khilafah?
Alih-alih melahirkan pemikiran positif seperti itu, justru tulisan itu hendak mendorong pihak-pihak untuk mencegah dan melarang paham yang dia sebut radikal. Hal ini menambah deretan fakta bahwa kebebasan berpendapat yang digembar-gemborkan dalam demokrasi tidak berlaku untuk Islam.
Apa yang terjadi itu memberikan gambaran bahwa tengah berlangsung proses untuk mengkriminalkan gagasan Khilafah dengan memanfaatkan isu ISIS. Benar kata Zahir Khan, “Umat Islam di Indonesia menjadi obyek utama bagi AS dan Yahudi untuk dipecah-belah. Ini mirip penjajah Belanda dulu. Umat diadu-domba. Saat ini umat terpecah-belah dengan Pilpres.”
Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini segera menambahkan, “Malah ada yang memanfaatkan isu ISIS untuk memojokkan kelompok Islam tertentu.”
Ketua Perti, Amin Lubis, mengungkapkan kerugian umat jika ada tokoh yang memojokkan tokoh lain terkait isu Khilafah. “Jika tokoh sudah ikut memecah-belah umat dan memojokkan tokoh lain maka yang rugi adalah Islam dan umatnya. Kita banyak masalah dan semakin banyak masalah jika tokoh umat saling memojokkan,” tegas Amin.
Kewaspadaan itu penting. “Kita harus mewaspadai musuh Islam yang akan memecah-belah umat dan mengkriminalisasi simbol Islam. Jangan sampai tokoh umat mau diadu-domba. Misalnya, umat dibuat ngeri dengan bendera bertuliskan: La ilaha illalLah Muhammadu rasululLah,” ungkap Ismail Yusanto.
“Begitu juga umat menjadi benci dengan istilah jihad. Padahal tidak mungkin Indonesia merdeka tanpa jihad. Bahkan, Syaikh Hasyim As’ary mengeluarkan Resolusi Jihad kala itu. Lalu sekarang ada kriminalisasi Khilafah. Padahal Khilafah itu ajaran Rasulullah saw. dan bertebaran di dalam kitab para ulama. Maka kita harus segera mengantisipasi kriminalisasi terhadap Islam yang makin lebih jauh,” tambah Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tersebut.
Ahmad Michdan bercerita kepada saya bahwa beliau pernah diundang oleh Badan Legislasi DPR. Saat ini sedang ada penjaringan masukan untuk meningkatkan Peraturan Pemerintah tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi Undang-Undang. Bila ini terjadi, UU ini dapat merembet ke mana-mana; laksana membunuh nyamuk dengan bom atom. “Saya menyampaikan penolakan tentang hal tersebut di hadapan Badan Legislasi DPR. Hal ini akan menimbulkan bahaya. Saya sudah lebih 14 tahun menangani masalah teroris, dan saya katakan tidak ada teroris kecuali dibuat-buat. Dulu tidak ada ‘teroris’ di negara ini. Ketika dibuat Perpu, ada belasan ditangkap. Saat muncul UU Antiterorisme dan Densus 88 orang yang ditangkap meningkat menjadi ratusan. Lalu makin tambah banyak lagi menjadi ribuan ketika ada BNPT. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan peraturan dan UU,” tegas Pembina Tim Pembela Muslim (TPM) itu.
Tidak mengherankan ada sebagian tokoh umat yang menengarai bahwa salah satu arah pencegahan dan penanggulangan gerakan ‘radikal’ sebagaimana yang mereka maknai adalah terbentuknya UU BNPT ini. Ketua Korps Mubaligh Jakarta (KMJ) Edi Mulyadi mengingatkan bahwa isu ISIS bisa dijadikan pintu masuk membuat payung hukum untuk memusuhi Islam. “Monsterisasi Islam terus bergulir dan serius. Mereka serius membuat payung hukum. ISIS itu pintu gerbang untuk memformulasikan dalam bentuk UU,” ungkap Edi.
Pihak-pihak yang tidak rela Islam dan umatnya jaya di alam ini terus mengahalang-halangi, bahkan menakut-nakuti. Realitas ini mengingatkan kita kepada kejadian zaman Rasulullah saw. Kaum kafir Quraisy dan kaum munafik menakut-nakuti Rasulullah dan para sahabatnya, bahwa mereka telah dikepung oleh musuh. Tak akan dapat melawan. Takutlah kepada mereka! Namun, justru kaum beriman semakin tambah keimanannya, makin kokoh dalam perjuangannya. Hal ini diabadikan oleh Allah SWT dalam al-Quran (yang artinya): Orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (TQS Ali ‘Imran [3]:173).
Apa pun skenario yang dibuat untuk memadamkan cahaya agama Allah SWT akan sirna. Allah SWT berfirman (yang artinya): Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci (TQS ash-Shaff [61]: 8).
Jelas, hanya ada satu sikap: Tetap kokohlah dalam perjuangan! WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]