Soal:
Benarkah Islam melegalkan pernikahan beda agama? Pasalnya, bukankah Nabi saw. pernah membiarkan pernikahan Abu al-‘Ash bin Rabi’ dengan putrinya, Zainab binti Muhammad, padahal Abu al-‘Ash musyrik, sementara Zainab telah memeluk Islam?
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dan didudukkan dengan cermat. Pertama: tentang definisi pernikahan, dan bagaimana fakta pernikahan pada zaman Jahiliah dan Islam. Kedua: kehidupan Zainab, Abu al-‘Ash bin Rabi’ dan pernikahan mereka. Ketiga: hukum pernikahan sebelum dan setelah Hijrah ke Madinah. Keempat: tindakan Nabi saw. terhadap pernikahan mereka.
Secara harfiah, nikah berarti wath’i (bersetubuh), jam’i (berkumpul) dan dhamm (bergabung). Adapun secara istilah, para fuqaha’ berbeda dalam membuat definisi.1 Namun, definisi yang paling rajih (kuat), sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu mazhab Syafii:
النِّكَاحُ هُوَ عَقْدٌ عَلَى اِسْتِبَاحَةِ مَنَافِعِ الزَّوْجَيْنِ وَلاَ تَمَلُّكِهَا وَتَمْلِيْكِهَا
Nikah adalah akad untuk mendapatkan kemubahan manfaat (jasa) suami-istri, bukan memiliki dan memindahkan manfaat (jasa) itu.2
Realitas pernikahan pada zaman Jahiliah memang menunjukkan dua aspek ini, yaitu aspek tamalluk al-manafi’ (memiliki jasa) dan istibahatu al-manafi’ (izin memanfaatkan jasa). Dalam hadis ‘Aisyah dituturkan:
Pernikahan pada zaman Jahiliah ada empat macam. Di antaranya pernikahan orang seperti sekarang ini. Seorang pria melamar kepada pria lain anak perempuan yang berada di bawah kewaliannya (waliyyah) dan anak perempuannya, lalu dia memberikan mahar kemudian menikahi perempuan tersebut. Pernikahan lain adalah seorang pria mengatakan kepada istrinya, ketika dia telah suci dari haidnya, “Datanglah kamu kepada Fulan. Mintalah keturunan darinya.” Suaminya lalu menjauhi (tidak meniduri) dia, tidak menyentuh dia hingga saat tampak telah hamil dari pria yang dimintai keturunannya itu. Ketika kehamilannya tampak jelas, perempuan tersebut akan dinilai melakukan hal yang benar oleh suaminya jika suaminya menginginkan hal demikian. Dia melakukan itu karena ingin mendapatkan bibit unggul. Pernikahan seperti ini disebut nikah istibdha’. Pernikahan lain adalah, sekelompok pria berkumpul, jumlahnya kurang dari sepuluh. Mereka menyetubuhi seorang perempuan. Semuanya mendapatkan bagian dari perempuan tersebut. Jika dia hamil, dan melahirkan, kemudian berlalu beberapa malam setelah melahirkan, maka dia mengirimkan surat kepada pria-pria tersebut. Tak seorang pun di antara mereka bisa mengelak hingga semuanya berkumpul di dekat perempuan tersebut. Dia lalu berkata kepada mereka, “Kalian sudah tahu hasil perbuatan kalian. Sekarang saya sudah melahirkan. “ Lalu dia akan menunjuk pria yang diinginkan dengan mengatakan, “Ini anakmu, wahai Fulan.” Anak ini pun dinisbatkan kepada dia. Tak seorang pun di antaramereka bisa mengelak. Pernikahan keempat, ketika banyak orang berkumpul, lalu mereka meniduri seorang perempuan, dan perempuan ini tidak bisa menolak siapun yang datang kepada dia. Perempuan-perempuan ini adalah pelacur. Mereka telah memasang bendera di pintu-pintu mereka sebagai pertanda. Siapa saja yang menginginkan wanita itu, dia bisa masuk dan meniduri dirinya. Jika salah seorang di antaranya hamil, lalu melahirkan anaknya, para pria itu dikumpulkan, mereka pun diundi. Anak perempuan tadi kemudian dinisbatkan kepada pria yang mereka sepakati. Ketika Muhammad saw. diutus dengan membawa kebenaran, semua pernikahan Jahiliyah itu dihancurkan, kecuali pernikahan orang saat ini (HR al-Bukhari).3
Berdasarkan hadis di atas, satu-satunya bentuk pernikahan yang pernah dipraktikkan pada zaman Jahiliah, dan dinyatakan legal adalah pernikahan yang ada saat ini. Bentuk pernikahan lainnya telah dibatalkan oleh Islam. Karena itu, banyak Sahabat Nabi, termasuk Rasulullah saw. sendiri, ketika menikah dengan istri mereka sebelum Islam, maka ketika Islam datang, mereka tidak mengulangi akad pernikahan mereka. Kondisi ini juga terjadi pada pernikahan Abu al-‘Ash bin Rabi’ dengan Zainab putri Rasulullah saw.
Zainab putri Rasulullah saw. adalah anak pertama pasangan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah binti Khuwailid. Pasangan ini menikah 15 tahun sebelum Nabi saw. diutus oleh Allah SWT. Zainab sendiri lahir sebelum bi’tsah. Ada yang mengatakan lahir 10 tahun sebelum bi’tsah. Zainab dinikahkan oleh Nabi dengan Abu al-‘Ash bin Rabi’, yang tak lain masih saudara sepupu Zainab sendiri, putra saudara Khadijah, Halah binti Khuwailid.4 Pernikahan ini terjadi sebelum bi’tsah.5 Meski sebelum bi’tsah, pernikahan mereka merupakan bentuk pernikahan sebagaimana yang kemudian dilegalkan oleh Islam.
Setelah Nabi saw. diutus oleh Allah, seluruh keluarga beliau memeluk Islam, tak terkecuali Zainab. Namun, Abu al-‘Ash, yang merupakan tokoh Makkah, yang dikenal kaya, amanah dan pebisnis itu tidak mau memeluk Islam.6 Mereka tetap menjadi suami-istri, hingga Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Ketika Nabi saw. berangkat hijrah ke Madinah, Zainab ikut, namun suaminya, Abu al-‘Ash, tidak. Dia tetap di Makkah dan tetap memeluk agama kaumnya.
Ketika Perang Badar tahun ke-2 H, Abu al-‘Ash ikut berperang melawan kaum Muslim, dan dia berhasil dijadikan tawanan perang. Ketika mendengar “suami”-nya menjadi tawanan, Zainab mengirimkan kalung warisan Khadijah sebagai tebusan. Karena kalung itu begitu sarat kenangan dalam hati Nabi, Nabi saw. meminta agar Abu al-‘Ash dibebaskan tanpa tebusan. Dalam riwayat Ibn Ishaq, Rasulullah saw. menetapkan syarat, agar Abu al-‘Ash mengirimkan Zainab kepada Nabi saw. di Madinah. Setelah dia memenuhi syarat ini, dia pun bebas, dan kembali ke Makkah.7
Pada tahun 6 H, sebelum Perjanjian Damai Hudaibiyah, Abu al-‘Ash melakukan perjalanan dari Makkah ke Syam. Saat mendekati Madinah, sebagian kaum Muslim ingin menghadang dia, mengambil hartanya dan membunuh dirinya. Rencana itu sampai ke telinga Zainab. Zainab pun bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, bukankah akad dan janji kaum Muslim itu satu?” Nabi menjawab, “Benar.” Zainab berkata, “Saksikanlah, bahwa aku memberikan perlindungan kepada Abu al-‘Ash.”
Ketika hal itu sampai ke telinga para Sahabat Nabi saw, mereka keluar menemui Abu al-‘Ash tanpa membawa senjata. Mereka berkata kepada Abu al-‘Ash, “Wahai Abu al-‘Ash, kamu adalah termasuk orang terpandang kaum Quraisy, dan anak paman Rasulullah saw, sekaligus menantunya. Apakah kamu mau masuk Islam sehingga kamu bisa menjadikan ghanimah harta penduduk Makkah yang kamu bawa?” Dia menjawab, “Betapa buruk apa yang kalian perintahkan kepadaku, aku akan mengganti agamaku dengan pengkhianatan.”
Dia pun meninggalkan tempat itu dan kembali ke Makkah. Dia mengembalikan harta dan amanah kepada yang berhak, lalu berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Makkah, apakah tanggunganku sudah ditunaikan?” Mereka menjawab, “Benar.” Lalu dia berkata, “Aku bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Dia tiba di Madinah sebagai orang yang berhijrah. Nabi saw. pun mengembalikan istrinya kepada dia dengan nikah yang pertama.8 Namun, dalam riwayat lain, Nabi saw. mengembalikan dia dengan akad nikah baru.9 Peristiwa ini menurut al-Hakim terjadi lima bulan sebelum Perjanjian Hudaibiyah.10
Adapun larangan menikah dengan orang musyrik dinyatakan oleh Allah SWT:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Janganlah kalian menikah dengan perempuan kafir musyrik sebelum mereka beriman (memeluk ugama Islam). Sesungguhnya seorang hamba perempuan yang beriman itu lebih baik daripada perempuan kafir musyrik sekalipun menarik hati kamu. Janganlah kalian (menikahkan perempuan Islam) dengan lelaki kafir musyrik sebelum mereka beriman (memeluk agama Islam). Sesungguhnya seorang hamba lelaki yang beriman lebih baik daripada seorang lelaki musyrik sekalipun menarik hati kalian (Yang demikian ialah) karena orang-orang kafir itu mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan memberi keampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah [2]: 221).
Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang diturunkan setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah. Demikian juga ayat berikut:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada masa ini dihalalkan bagi kalian (memakan makanan) yang lezat-lezat dan baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu adalah halal bagi kalian. Makanan (sembelihan) kalian pun halal bagi mereka (tidak salah kalian memberi makan kepada mereka). (Dihalalkan kalian menikah) dengan perempuan yang menjaga kehormatan-nya di antara perempuan yang beriman, juga perempuan-perempuan yang menjaga kehor-matannya dari kalangan orang-orang yang diberikan Kitab lebih dulu daripada kalian jika kalian memberi mereka maskawinnya, sedang-kan kalian (dengan cara yang demikian) menikah, bukan berzina, dan bukan pula kalian mengambil mereka menjadi perempuan simpanan (QS al-Maidah [5]: 5).
Kedua ayat ini merupakan ayat Madaniyah. QS al-Baqarah [2]: 221 menyatakan keharaman pria Muslim menikahi wanita musyrik, juga wanita Muslimah menikah dengan pria musyrik. Dengan turunnya ayat ini, apa yang belum diatur sebelumnya, termasuk kasus pernikahan Zainab dengan Abu al-‘Ash, jelas tidak berlaku. Karena itu riwayat yang menyatakan, bahwa Zainab dikembalikan kepada Abu al-‘Ash tanpa akad baru bisa dianggap bertentangan dengan ayat ini. Dengan begitu, kalaulah sahih, maka secara dirayah harus ditolak.
Adapun QS al-Maidah [5]: 5, yang menyatakan kebolehan perempuan Ahli Kitab dinikahi oleh pria Muslim, tetapi tidak sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk melegalkan kasus “pernikahan Abu al-‘Ash dengan Zainab” setelah turunnya QS 2: 221. Pasalnya, posisi QS al-Maidah [5]: 5 ini men-takhshis QS al-Baqarah [02]: 221. Dengan demikian keharaman menikah dengan orang musyrik hanya berlaku untuk orang musyrik, bukan untuk Ahli Kitab, dengan ketentuan yang telah diatur dalam QS 5: 5, antara lain: harus memenuhi kriteria muhshanat (menjaga kesucian), bukan diajak berzina (ghayra musafihat) dan menjadi simpanan (wa la muttakhidzat akhd[an]).
Mengenai diamnya Nabi saw. terhadap pernikahan Abu al-‘Ash dan Zainab saat di Makkah, juga tidak bisa dijadikan dalil, bahwa status pernikahan seperti sah hingga sekarang. Diamnya Nabi saw. memang merupakan bagian dari sunnah. Namun, peristiwa ini terjadi sebelum QS 2: 221 dan QS 5: 5 diturunkan. Setelah kedua ayat ini diturunkan, hukum tersebut telah dihapus. Ini dikuatkan dengan riwayat yang menyatakan, bahwa mereka dinikahkan ulang oleh Nabi dengan akad dan mahar baru. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Perbedaan definisi tersebut berkisar antara memiliki (tamalluk) atau izin menggunakan manfaat (istibahah). Ada yang mengatakan, pernikahan itu tamalluk al-manfaat (memiliki manfaat). Ada yang mengatakan istibahah al-manafi’ (izin mendapatkan manfaat). Untuk membedakan jasa (manfaat) dalam akad nikah dengan akad ijarah. Meski sama-sama dilakukan terhadap jasa, jasa yang didapatkan dalam akad nikah bukan dimiliki, tetapi untuk digunakan sendiri. Adapun jasa dalam akad ijarah untuk dimiliki sehingga boleh dinikmati sendiri, boleh dijualbelikan dan dipindahtangankan. Lihat: Al-Jaza’iri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, IV/10-11.
2 Al-Khathib as-Syarbini menyatakan, bahwa ada dua pendapat di kalangan mazhab Syafii, apakah pernikahan itu identik dengan memiliki atau hanya sekadar kebolehan untuk memanfaatkan? Beliau menegaskan, pendapat yang paling kuat adalah yang kedua, yaitu ibahah (kebolehan untuk memanfaatkan), bukan milk (memiliki). Lihat: as-Syarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadh Abi Syuja’, Dar al-Khair, Beirut, cet. I, 1996, II/561; Al-Jaza’iri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, IV/10-11.
3 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, 1981 M/1401 H, VI/132.
4 Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1995 M/1415 H, VIII/151.
5 Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/207.
6 Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/207.
7 HR Ibn Ishaq. Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/208.
8 HR al-Hakim dengan sanad yang sahih. Riwayat ini didukung oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majjah melalui jalur Dawud bin al-Hushain, dari ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas. Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/207.
9 HR at-Tirmidzi dan Ibn Majjah melalui jalur Hajjaj bin Artha’ah dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya. Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/209.
10 Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/208.