Oleh: Farhan Akbar Muttaqi, Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung
Pemilihan Presiden 2014 akhirnya telah mengukuhkan Jokowi (Joko Widodo) ke tampuk kekuasaan Republik Indonesia. Melalui persaingan yang relatif ketat, Jokowi yang disokong oleh Koalisi Indonesia Hebat, berhasil mengalahkan Prabowo Subianto yang disokong oleh Koalisi Merah Putih yang. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, menang tipis 53,15 % berbanding 47,85 %. Dengan hasil tersebut, 20 Oktober mendatang, Jokowi akan resmi dilantik oleh MPR.
Kemenangan Jokowi ini sesungguhnya sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Jokowi yang semula hanya merupakan Walikota dari sebuah kota kecil bernama Solo, dalam waktu sekitar tiga tahun saja, mampu meroket ketenarannya melampaui tokoh-tokoh yang sudah lebih dahulu wara-wiri dalam panggung politik nasional. Sokongan modal yang besar dan dukungan jaringan Kapitalis Global yang kuat, dituding menjadikan Jokowi mudah saja untuk meraih RI 1.
Melalui jaringan Kapitalis pemilik media massa-nya, Jokowi berhasil melabeli dirinya sebagai pemimpin merakyat. Aktivitas blusukannya dari satu kampung ke kampung yang lain, tak pernah luput dari sorotan lensa media. Demikian halnya dengan mulutnya yang kerap melontarkan janji-janji. Meskipun sebagian rakyat bersikap skeptis terhadap Jokowi yang dituding hanya melakukan pencitraan, namun lebih banyak rakyat yang terhipnotis dengan lakon Jokowi yang sedang memainkan perannya sebagai Calon Presiden kala itu.
Tentu saja, dengan segala janji dan citra yang dimunculkannya dimasa kampanye, sebagian rakyat menanti dan menaruh harapan pada pemimpin baru mereka. Maklum, rongrongan masalah dan laku lampah yang dilakukan para pemimpin mereka sebelumnya hampir selalu membuat kecewa. Seruan perubahan dan kebangkitan yang bermunculan di sana-sini, adalah wujud kebutuhan mendesak yang muncul dari nalar logis dan hati nurani rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Lalu, akankah Jokowi memenuhi hasrat tersebut?
Memahami Jokowi
Dalam dunia media massa, dikenal istilah labelling (penjulukan). Labelling disini merujuk pada penyematan identitas atau kesan pada individu atau kelompok tertentu yang dilakukan oleh media massa. Dalam konteks Jokowi, media pendukung Jokowi, selama masa kampanye, diakui atau tidak, berhasil melabeli Jokowi dengan berbagai identitas dan kesan yang ‘baik’. Bila diperdengarkan kata Jokowi, banyak orang yang terprogram untuk mengaitkan Jokowi sebagai orang yang merakyat, wong cilik, sederhana, islami, dan yang lainnya.
Namun, labelling ini sesungguhnya tak selalu mencerminkan hakikat. Kadangkala, upaya itu dilakukan untuk menutup bahkan mendistorsi hakikat. Hal ini persis dengan apa yang dilakukan media terhadap individu dengan ciri berjubah, janggut tebal, dan dahi hitam. Dimana individu tersebut diberi label menakutkan, semisal teroris atau islam garis keras. Padahal, hakikatnya jelas tak selalu seperti itu. Dengan fenomena seperti ini, maka tak cukup untuk mengenali sosok seseorang hanya dengan memahami label yang disematkan oleh media. Dan hal ini, berlaku tatkala Kita hendak mengetahui hakikat dari sosok Jokowi sebagai Pemimpin terpilih.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, secara brilian memberikan formula dalam menilai hakikat kepribadian seorang individu. Ia menuturkan, bahwa kepribadian dapat ditakar melalui dua aspek. Yakni pola pikir dan pola sikap. Seseorang dikatakan berkepribadian islam apabila pola pikir dan pola sikapnya berlandaskan islam.
Namun, untuk memahami hakikat Jokowi, tentunya tak dapat dibatasi dalam kerangka individual belaka. Artinya, ketika Ia terlihat sholat, berkurban atau umrah, maka Ia belum dapat disebut pemimpin berkepribadian Islam yang akan membangkitkan Negeri ini dengan menjadikan Islam sebagai pegangan politiknya. Akan tetapi, dengan statusnya sebagai kepala negara, yang dapat menjadi takaran keberpihakannya terhadap Islam adalah sikap politik yang dimainkannya tatkala memimpin dan mengarahkan rakyatnya. Hal tersebut dapat dibaca dari seruan, pidato, pernyataan, maupun kebijakannya. Dan berdasarkan rekam jejaknya, Kita akan mendapati bahwa di masa kepemimpinannya, umat Islam dapat diprediksi akan tetap menjadi mayoritas yang tertindas dan dibelenggu berbagai sikap politik yang bertentangan dengan Islam. Kesimpulan ini dapat ditarik dari tiga hal:
Pertama: Komitmen terhadap Sistem Demokrasi.
Tak dapat dipungkiri, secara konseptual maupun historis, demokrasi telah terbukti menjadi sistem yang gagal. Demokrasi yang berpijak pada jargon “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, secara alamiah meniscayakan dirinya bertransformasi menjadi sistem politik yang dikuasai oleh segelintir Kapitalis . Dalam bahasa lain, Aristoteles menyebut bahwa Demokrasi berpotensi menjadi sistem tirani para Demagog yang pandai menarik hati rakyat banyak dengan bualannya.
Lebih dari itu, Demokrasi juga bertentangan dengan konsep Islam mengenai kedaulatan yang mutlak di tangan syara’. Melalui konsep kedaulatan rakyatnya, Demokrasi di berbagai Negeri muslim berhasil menjadi mesin pencetak aturan yang bertentangan dengan Islam. Demokrasi malah melegalkan banyak hal yang haram dalam Islam. Semisal khamr, riba, dan zina. Padahal, Allah SWT mengancam umat Islam apabila mereka melakukan berbagai hal tersebut. Sebaliknya, berapa banyak hukum yang terkait dengan masalah muamalah dan uqubat yang pada akhirnya tak bisa dilegalkan karena terjegal konsep kedaulatan rakyat yang diusung sistem Demokrasi?
Namun sangat disayangkan, dalam berbagai statement, Jokowi menunjukkan komitmennya untuk tetap mempertahankan sistem Demokrasi. Slogan Indonesia hebat yang diusungnya, akan diimplementasikan melalui sistem Demokrasi. Hal ini terlihat dari apa yang tertuang di dalam visi, misi dan program kerjanya tatkala mendaftarkan dirinya sebagai capres. Sebaliknya, tak sedikitpun muncul komitmen Jokowi untuk menerapkan Syariat Islam dalam kepemimpinannya. Hal ini seolah menegaskan sikap Jokowi beberapa tahun lalu, yang mengaminkan pernyataan wakilnya saat menjadi Gubernur, yakni Basuki Tjahya Purnama (Ahok) yang dengan tegas menyatakan bahwa hukum agama tak layak jadi peraturan Negara (tribunnews.com, 21/6/12)
Kemusykilan Syariat Islam akan diterapkan Jokowi-pun dikuatkan oleh fakta, bahwa partai-partai yang menyokongnya saat kampanye, terutama PDI-P, adalah Partai yang jelas anti Syariat Islam. Bahkan sebaliknya, sikap politiknya kerap menunjukkan sikap yang liberal. Wajar bila banyak ditemukan, bahwa tokoh-tokoh liberal-pun menyatakan dukungannya pada Jokowi.
Kedua: Menjalin Persahabatan dengan Negara Kafir Penjajah.
Pesimisme untuk melihat perubahan di masa kepemimpinan Jokowi, dikuatkan juga oleh berbagai fakta mengenai persahabatannya dengan Negara Kafir penjajah yang memusuhi umat Islam. Sebelum pemilu dimulai, Jokowi sempat ditemukan mengadakan pertemuan dengan Dubes Amerika dan Dubes Vatikan di rumah salah satu Konglomerat besar, Jacob Soetoyo. Bahkan, setelah diumumkan menang, presiden AS, Barrack Obama langsung memberikan ucapan selamat kepada Jokowi. Begitu pula dengan Tony Abott, PM Australia.
Dalam sejarah negeri ini, persahabatan dengan Negara Kafir Penjajah semisal AS, dapat menjadi indikasi yang menandakan tetap langgengnya dominasi mereka. Dan siapa yang dapat memungkiri, bahwa Negara yang didominasi oleh Negara Kafir Penjajah tak pernah hidup dalam kebaikan. Hal ini karena, dengan politik luar Negeri yang berpijak pada asas Kapitalismenya, mereka selalu bersikap picik dan rakus dalam melahap berbagai sumber daya di Negara jajahannya. Banyak Negara yang menjadi bukti akan berbahayanya campur tangan mereka. Bahkan Kita juga tak bisa menutup mata, bahwa keterpurukan Negeri ini sejak dulu salah satunya diakibatkan oleh penjajahan non-fisik yang dilakukan oleh mereka. Maka menjadi sesuatu yang aneh tatkala ada yang masih meyakini bahwa rezim mendatang akan menjadi rezim yang mampu membangkitkan Negeri ini.
Belum lama, hal ini terbukti dengan wacana kenaikan BBM yang memanas selepas Jokowi terpilih. Padahal jelas, kebijakan kenaikan BBM adalah keinginan Negara Negara Kafir penjajah yang hendak menghisap darah rakyat dengan memuluskan liberalisasi minyak di sektor hilir. Bank Dunia, sejak tahun 2001 sudah berupaya menekan Indonesia untuk mencabut subsidi BBM. Bahkan sebelum Pilpres dimulai, Bank Dunia menyatakan tak peduli dengan siapa pemenang pemilu. Mereka hanya menggarisbawahi, bahwa presiden terpilih mestilah yang berani menaikan harga BBM.
Ketiga: Didukung oleh Modal Kapitalis.
Prediksi bahwa Indonesia akan tetap terpuruk di masa Jokowi, dapat pula berangkat dari fakta kongkrit mengenai besarnya pengaruh Konglomerat Kapitalis dalam proses pemenangannya. Bahkan dengan lugas, M Sembodo, penulis buku “Pater Beek, Freemason dan CIA” menyebutkan fakta bahwa Jokowi ibarat Bunraku. Dalam budaya Jepang, Bunraku adalah sebutan bagi boneka yang yang dipertunjukkan dalam Sandiwara Jepang untuk menghibur para bangsawan (tikusmerah.com,16/4/14).
Para Kapitalis yang ada di belakang Jokowi dan memodalinya, diantaranya adalah Jacob Soetoyo, yang selain dikenal pengusaha, juga merupakan bagian dari CSIS (Central for Strategic and International Studies). CSIS adalah lembaga yang menjadi think-thank rezim Orde Baru sehingga bersikap anti-Islam. Selain itu, adapula James Riady, pemilik jaringan Lippo Group, Rusdi Kirana Bos Lion Air, Jusuf Wanandi Ketua Apindo, Dahlan Iskan, dan banyak lagi (tempo.co, 21/6/14)
“No Free Lunch”, dalam praktiknya, Para Kapitalis tak mengenal istilah gratis tatkala memberi modal bagi politisi yang hendak berkuasa. Timbal balik menjadi sebuah kemestian sebagai jaminan atas dana dan dukungan yang mereka gelontorkan. Karenanya, intervensi kepentingan dari para pemodal dibalik kemenangan Jokowi adalah niscaya. Dan melihat background para pemodal Jokowi, tak ditemukan satupun yang berkepentingan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang menerapkan aturan Islam. Alih alih demikian, para pemodal Jokowi justru dikenal sebagai pihak anti-Islam. Mashadi, mantan Anggota DPR RI menuturkan bahwa pihak yang berada di belakang Jokowi tersebut berasal dari tiga golongan, pertama, kafir musyrik; kedua, konglomerat hitam dan cina anti islam; ketiga, kebatilan (mediaumat, ed.134)
Bersatu Tegakkan Khilafah
Selepas pemilu legislatif usai, ada kegairahan di sebagian umat islam. Hal tersebut berangkat dari suara partai ‘islam’ yang menanjak. Kalkulasi politik menunjukkan, bahwa bila semua partai ‘islam’ kala itu bersatu untuk mengusung pemimpin, maka kemenangan adalah perkara yang sangat memungkinkan. Namun, tarik ulur kepentingan diantara partai-partai tersebut, memupuskan kegairahan umat. Alih alih bersatu dan mengusung syariah islam, mereka justru tercerai berai dan menunjukkan sikap pragmatisnya. PKB, memilih Jokowi dan Koalisi Indonesia Hebatnyta. Sementara PAN, PKS, PPP dan PBB memilih Koalisi Merah Putih yang dipimpin Partai Gerindra dengan Prabowo-nya.
Kekecewaan terhadap partai Islam tentunya semakin tinggi melihat kiprahnya dalam gonjang-ganjing politik yang terjadi belakangan ini. Dalam praktek pemilihan DPR dan MPR, partai ‘Islam’ semakin tak memiliki kejelasan sikap. Mereka hanya menjadi pengekor dari partai partai sekuler tulen. Terakhir, dengan alasan tak diberi jatah wakil pimpinan MPR, PPP meninggalkan Koalisi Merah Putih dan memilih Koalisi Indonesia Hebat. Kepentingan akan kekuasaan nampak jelas telah menjadi platform yang melekat pada mereka. Tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan menerapkan Syariat Islam. Jangankan menerapkan Syariat Islam, kata Islam-pun rasa rasanya hilang dari aktivitas politik mereka dalam ruang Demokrasi.
Fakta ini, semakin menunjukkan bahwa Demokrasi bukanlah jalan kebangkitan bagi umat Islam. Demokrasi lebih tepat disebut kuburan bagi umat Islam. Hal ini karena bukan hanya melenyapkan kemungkinan bagi tegaknya Syariat Islam, Demokrasi juga telah membunuh identitas partai politik yang sempat menjadi harapan umat Islam. Hingga tak bersisa sama sekali jejak Islam dalam kekuasaan. Padahal, kekuasaan (baca: khilafah), dalam Islam adalah metode yang akan menerapkan, menjaga, dan menyebarkan Islam sebagai sebuah ideologi.
Belum lagi, tak ada indikasi, bahwa sebagai partai politik, partai partai ‘islam’ tersebut akan menjegal berbagai kebijakan Kapitalistik dan anti-Islam yang akan diterapkan oleh rezim Jokowi yang menguasai Eksekutif. Dalam konteks ini, bergabungnya beberapa partai Islam dalam Koalisi Merah Putih yang menguasai panggung legislatif, tak ada pengaruhnya apa-apa. Mengingat apa yang diusung KMP-pun jauh dari Islam. Bahkan, sebagaimana dalam wawancaranya bersama Metro TV, Ikrar Nusa Bakti, salah seorang pengamat politik, menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh KMP lebih karena hasrat berkuasa yang akan menjadikan parlemen Indonesia lebih buruk dibandingkan era-Orde Baru.
Dengan demikian, upaya untuk bangkit dan melepaskan diri dari rezim sekuler-kapitalistik sesungguhnya kini semakin jelas hanya dapat dilakukan di luar panggung parlemen. Rakyat, sebagai penguasa hakiki dari bangunan kenegaraan, mesti bersatu dalam satu mainstream yang sama, yakni menumbangkan sistem yang kini tegak, untuk kemudian menggantinya dengan sistem yang baru, yakni sistem Khilafah Islam. Karena di titik ini Kita mesti sepakat, bahwa Khilafah adalah satu satunya metode untuk mewujudkan konsepsi islam secara utuh.
Namun, proses ini tak bisa berjalan dengan otomatis. Diperlukan adanya aktivitas yang lebih maksimal dari partai islam ideologis yang memiliki kemurnian dalam fikrah dan thariqah-nya. Aktivitas pembentukan sel-sel yang meyakini islam sebagai ideologi pembangkit, disertai upaya pembentukan opini dan kesadaran umum, mesti lebih digiatkan. Demikian halnya dengan penggalangan dukungan dari para ahlul quwwah. Insya Allah, pada gilirannya, janji Allah Swt akan segera terwujud. Wallahu’alam. []