Perkosaan Merupakan Dampak dari Kerusakan Sistem Sosial dan Tata Pergaulan yang Kacau, Aborsi Bukan Solusi
HTI Press. Sleman. Jum’at, 26/09/2014. Pada tanggal 21 Juli 2014 lalu telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. PP ini terdiri dari 52 pasal dan 8 bab. Pada bab keempat tentang indikasi kedaruratan medis dan perkosaan diatur pengecualian atas larangan aborsi. Bab tersebut terdiri dari 9 pasal yang semuanya merupakan turunan dari undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 75 ayat (1), (2), dan (3). Berikut bunyi pasal 31 ayat (1) PP no. 61/2014, “Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan.” Tak pelak, pasal tersebut membuat sebagian masyarakat resah, jikalau PP ini disalahgunakan. Dalam rangka mendiskusikan hal ini, Muslimah HTI DPD II Sleman berkesempatan melakukan audiensi ke kantor Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Sleman, DIY.
Kunjungan ini disambut baik oleh Dra. Kumala R.B, M.Si yang di dampingi oleh Is Cahyati selaku Kepala Subbid Pemberdayaan Perempuan. Dari MHTI sendiri diwakili oleh Hidayah, Ramdhani, Zahratun Fitriyah, dan Dwi. Dalam audiensi ini Hidayah menyampaikan bahwasanya perkosaan merupakan kejahatan seksual yang layak menjadi musuh bersama dan korban perkosaan harusnya mendapat perhatian yang besar dari negara, masyarakat, dan keluarga untuk bisa keluar dari traumanya. Adapun solusi yang diberikan oleh pemerintah melalui salah satu pasal dari PP ini terkait legalisasi aborsi bagi korban perkosaan berdampak terhadap penghilangan nyawa dari janin yang dikandung. Ini artinya tidak adanya perlindungan terhadap hak asasi janin untuk hidup.
Hidayah juga menambahkan bahwa pasal dalam PP ini berpeluang membuka jalan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan aborsi ini untuk kepentingan mereka, seperti kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) akibat free seks, dan lain-lain, bisa saja mengaku sebagai korban perkosaan. Apalagi fakta berbicara angka seks bebas dan aborsi di kalangan masyarakat dari hari ke hari semakin meningkat. PP ini juga membuka pintu adanya liberalisasi seks atas nama HAM. Perkosaan hanya merupakan dampak dari kerusakan sistem sosial dan tata pergaulan yang kacau saat ini. Liberalisme telah melahirkan tuntutan berbagai kebebasan. Sehingga untuk menyelesaikan masalah perkosaan ini bukan sekedar menolong korban perkosaan.
“Ini menjadi tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan, dan dengan pendekatan sistem, yaitu pemerintah mengeluarkan peraturan yang menutup pintu perkosaan dan kemaksiatan lainnya, yaitu: menerapkan sistem pergaulan yang kondusif antara laki-laki dan perempuan, antara lain: pengaturan interaksi di ruang publik, melarang fasilitas kemaksiatan termasuk diantaranya larangan membuka aurat dan ikhtilath (campur-baur pria dan wanita) dan melarang hal-hal yang membangkitkan nafsu seksual,” tambah Ibu Hidayah memberi solusi.
Menanggapi dari apa yang disampaikan oleh Muslimah HTI tersebut Dra. Kumala R.B, M.Si mengatakan bahwa, “Ini semua sebenarnya tidak lepas dari masyarakat yang tidak paham, dan juga canggihnya teknologi informasi yang membuat banyak orang terutama remaja hilang kontrol”. Sebenarnya kami telah melakukan upaya dengan mensosialisasikan program perlindungan keluarga dari kriminalitas lewat PKK Kabupaten hingga dasawisma, dan melalui media radio. Kami juga melakukan pendampingan terhadap korban kriminalitas dengan menyediakan psikolog serta kerjasama dengan kepolisian, DEPAG, MUI, dan Lembaga Rifka Annisa.”
Di akhir forum Dra. Kumala R.B, M.Si mengajak Muslimah HTI untuk sama-sama melakukan tindakan preventif dan promotif agar masyarakat paham dan tidak melakukan tindakan yang melanggar aturan. [Ennik]