Kolaborasi PT. Total E&P Indonesie dan PenguasaUntuk Kuasai Blok Mahakam
Oleh: Maiyesni Kusiar (Lajnah Mashlahiyah MHTI)
Sejak 1967, PT Total E&P Indonesie mengelola Blok gas Mahakam di Kalimantan Timur. Hampir 50 tahun lamanya mengelola blok migas asal Prancis ini masih berat melepas blok yang kontraknya habis 31 Desember 2017 nanti.PT Total E&P Indonesie seperti menemukan harta karun yang tidak ternilai. Demi memenuhi syahwatnya , semakin dekat berakhirnya masa kontrak semakin besar dana yang digelontorkan agar pengurasan terhadap ladang migas tersebut semakin cepat. Tiap tahun, Total mengeluarkan investasi US$ 2,5 miliar, agar produksi Blok Mahakam tidak turun. Tidak sampai di situ berbagai isu pun dikembangkan tentang Blok Mahakam seperti cadangan migasnya sudah kecil sehingga tidak lagi bernilai ekonomis jika dikelola perusahaan lain.
Seiring dengan keinginan mayoritas rakyat Indonesia yang tidak mau pemerintah memperpanjang kontrak blok Mahakam dengan PT Total E&P Indonesie dan meminta menyerahkan kepada PT Pertamina , rupanya pemimpin tertinggi PT Total E&P Indonesie tidak kehabisan akal untuk mencari-cari alasan agar mereka tetap berkuasa di ladang migas terbesar di Indonesia tersebut. Jean-Marie Guillermou, Total E&P President for Asia-Pacific Total, mengusulkan, meski kontrak tidak diperpanjang agar setelah kontrak berakhir 2017, ada masa transisi selama 5 tahun dimulai 1 Januari 2018. Dia beralasan agar ada transfer ilmu, pengalaman, data teknis di Blok Migas yang terletak di Kalimantan Timurini. Tidak hanya rayuan maut ‘intimidasi’pun dilancarkan agar pemerintah dan rakyat Indonesia nyalinya ciut. Menurutnya, jika Blok Mahakam langsung ditinggal, produksinya langsung turun drastis sehingga pendapatan negara akan menurun. Apalagi ada kontrak penjualan gas ke luar negeri yang harus dipenuhi serta nasib tenaga kerja yang mencapai 27.000, 97% merupakan orang Indonesia yang akan menderita.
Benar saja dalam Sistem Kapitalis tidak ada makan siang yang gratis. Gembar-gembor Pemerintah selama ini menyerahkan pengelolaan ladang-ladang migas potensial kepada pihak asing agar terjadi transfer ilmu dan teknologi adalah bohong belaka. Fakta yang terjadi di blok Mahakam yang pengelolaannya dilakukan PT Total E&P Indonesie merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Hampir 50 tahun dibiarkan menguras migas milik rakyat Indonesia harapan bangsa dapat mandiri dalam pengelolaan migas karena bantuan alih ilmu dan teknologi tidak terjadi sama sekali.
Dengan alasan transfer ilmu dan teknologi juga PT Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara justru dianaktirikan dan dipandang sebelah mata karena dianggap tidak mampu oleh pemerintah sendiri. Di sektor hilir pemerintah menetapkan cost and fee kepada Pertamina. Artinya, Pertamina hanya menjadi penyedia jasa pengolahan minyak dan pendistribusian BBM. Disektor hulu Pertamina tidak diperkenankan mengambil risiko eksplorasi pencarian migas dan hanya boleh mengelola produksi yang sudah ada dan menua. Itulah sebabnya saat ini produksi migas masih dikuasai asing. Menurut pengakuan Direktur Finance Pertamina EP, Lukitaningsih, kepemilikan ladang terluas memang masih dikuasai pertamina, namun sumber-sumbernya kurang produktif, misal karena sumur tua maupun karena memang resource-nya kecil. Sementara sumber-sumber produktif dikelola asing seperti Chevron, Total dan lain-lain.
Sebaliknya PT Pertamina justru mampu membuktikan diri sebagai World Class Company, berhasil menembus peringkat 122 di daftar Fortune 500 . Hal ini disebabkan keberhasilan PT Pertamina mengelola migas tidak hanya dalam negeri bahkan di luar negeri pun menunjukkan kiprahnya. Di dalam negeri misalnya menurut Karen terjadi peningkatan produksi wilayah kerja yang dikelola Pertamina pada Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang diambil alih dari perusahaan migas asal Inggris, British Petroleum (Bp) pada 2009. Saat dikelola BP, lapangan yang berada di lepas pantai Laut Jawa tersebut hanya mampu memproduksi 24 ribu barel per hari (bph). Sedangkan setelah diambil alih Pertamina lapangan itu mampu menghasilkan minyak 40 ribu bph . Bahkan di luar negeri PT Pertamina kembali berhasil mengakuisisi ladang minyak di Afrika milik ConocoPhilips Algeria Ltd.
Kondisi yang paradok tersebut tentu tidak terlepas dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang dipaksakan oleh barat terhadap negeri-negeri muslim menggunakan tangan penguasa untuk menjajah suatu bangsa dan menguasai sumber daya alamnya. Dengan alasan Good Governance, suatu negara dipangkas fungsinya, yang seharusnya sebagai pelaksana dan pelayan umat menjadi hanya sekedar sebagai fasilitator dan regulator saja. Ide ini akhirnya melahirkan kebijakan bahwa semua kepemilikan umum wajib dikelola dalam kerangka mekanisme pasar . Artinya, sumber-sumber penting yang menguasai hajad hidup orang banyak seperti migas dikelola oleh perusahaan yang paling unggul dalam hal SDM, teknologi maupun dana. Tentu saja yang paling memenuhi persyaratan tersebut adalah negara-negara pengusung sistem demokrasi dan kapitalisme karena pada faktanya memang merekalah yang lebih unggul. Ide ini telah sukses diperdagangkan di seluruh dunia khususnya di Indonesia. Akibatnya hampir 90% sumber migas Indonesia mereka kuasai.
Sungguh telah tampak nyata kemudaratan pada sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalis buatan manusia ini. Sudah saatnya dan selakyaknya kita hanya percaya dan mengambil sistem yang berasal dari Allah SWT yang menciptakan manusia yaitu Sistem Islam.. Dalam pandangan Islam sumber migas yang melimpah tersebut pada hakekatnya milik seluruh rakyat, maka negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk mengekploitasinya. Negara wajib secara langsung mengekploitasi tambang migas tersebut sebagai wakil kaum Muslim kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan mereka. Karena harta milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh rakyat dan mereka berserikat di dalamnya, maka berarti setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya.
Dalam kondisi negara belum mampu dalam pengelolaan tambang migas tersebut , baik dari sisi SDM, teknologi maupun sumber dana yang terbatas maka negara sebagai pemegang mandat pengelolaan harta milik umum akan memulai dari harta milik umum yang pengelolaannya lebih mudah dan tidak membutuhkan investasi yang besar seperti pengelolaan tambang emas. Pengelolaan tambang emas tidak membutuhkan teknologi tinggi dan investasi yang besar namun memberikan hasil yang sangat besar.
Selanjutnya dari hasil pengelolaan tersebut bisa digunakan untuk pengembangan riset dan SDM untuk dipersiapkan dalam pengelolaan barang tambang yang memerlukan teknologi tinggi, SDM yang cakap dan investasi besar seperti tambang migas. Namun jika dana yang tersedia di Baitul Mal sebagai lembaga keuangan negara belum cukup sementara pengelolaan tambang tersebut sangat dibutuhkan oleh rakyat yang jika ketiadaannya menimbulkan dahrar (bahaya) bagi rakyat maka dalam kondisi ini negara dibolehkan menggalang dana dari masyarakat. Dana tersebut dapat berupa sumbangan sukarela atau pajak yang dipungut dari kaum muslim yang kaya saja sampai terpenuhi dana yang dibutuhkan. Atau negara juga dibolehkan berhutang dengan hutang yang tidak membahayakan kedaulatan negara dan bebas riba.
Selanjutnya hal yang tak kalah penting adalah penguasa dalam Sistem Islam tidak akan menipu dan membohongi rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah “ Pemimpin yang benar tidak akan pernah berbohong dan menipu rakyat”.
Alhasil hanya dengan pengelolaan migas mengikuti Sistem Islam ini saja Indonesia mampu memiliki teknologi tinggi dan SDM yang mumpuni serta seluruh rakyat dapat menikmati hasil pengelolaan migas tersebut.
Wallahu a’lam bishawab