Kapitalisme Sekuler Menyebarkan Populasi “Masyarakat Sakit” di Barat dan Timur
Isu tentang resiko punahnya populasi Korea Selatan yang muncul sejak awal September lalu, terdengar cukup fantastis di telinga kita yang awam. Pertanyaan pertama yang muncul di benak adalah kenapa masyarakat dengan kondisi perekonomian maju, tingkat kesejahteraan tinggi dan laju modernisasi yang cepat justru menghadapi resiko kepunahan populasi? Pertanyaan ini butuh jawaban.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian Nasional Korsel (NARS) yang dirilis akhir Agustus lalu, menjadi alarm bahwa populasi penduduk Korea Selatan berpotensi mengalami kepunahan lantaran angka kelahiran yang merosot drastis ke angka terendah yakni pada poin 1,19 tiap perempuan. Simulasi penelitian menunjukkan populasi penduduk akan menyusut dari 50 juta pada saat ini menjadi 40 juta pada 2056 dan 10 juta saja pada 2136. Kemudian orang Korsel terakhir yang tersisa bakal hidup sampai 2750. Hingga akhirnya bangsa Korsel bakal punah.
Problem kependudukan di Korea Selatan sesungguhnya mengingatkan kita pada isu yang sama yang juga menimpa Jepang dan negara-negara macan Asia beberapa dekade terakhir ini. The Diplomat bahkan mengatakan jika perkiraan terbaru ini akurat maka kawasan ini –bukan hanya Korea Selatan- menghadapi ancaman demografis yang lebih besar yakni : kepunahan. Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Singapura tengah berjuang keras membiayai beban tunjangan sosial buat penduduk usia senja mereka yang jumlahnya kian banyak. Hampir sama seperti Korea Selatan, sekitar 39.6 persen penduduk Jepang akan pensiun pada 2050. Menurut sebuah studi yang dirilis Universitas Tohoku, Jepang pada 2012, penduduk Negeri Sakura juga akan punah seribu tahun mendatang, dengan anak terakhir yang lahir pada 3011. Sebuah ironi dan paradoks, negara-negara yang dijuluki sebagai “keajaiban Asia Timur” karena keberhasilannya menjelma menjadi kawasan-kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, kini menghadapi resiko kepunahan rasnya sendiri sebagai sebuah bangsa.
Sindrom Chicago : Masyarakat yang Sakit dan Krisis Populasi
Fenomena aging population yang sedang melanda negara-negara Asia Timur ini tidak bisa dilepaskan dari pelopornya yakni negeri-negeri kapitalis Barat yang sudah mengalaminya terlebih dahulu. Asia Timur yang sukses bertransformasi dari sekedar bagian pasif kapitalisme global selama era ekspansi kolonialisme Barat lalu menjelma menjadi pelaku aktif globalisasi sistem Kapitalisme – tidak membutuhkan waktu lama untuk mengalami sindrom yang sama dengan para pionirnya di Barat seperti Perancis, Italia dan lainnya. Hanya sekitar tiga dekade penerapan Kapitalisme di negeri-negeri mereka, kerusakan segera melanda kehidupan masyarakat di Asia Timur.
Sindrom Budaya Chicago, begitu seorang profesor Malaysia menyebutnya. Profesor Ulung Institut Antarabangsa Tamadun dan Pemikiran Islam (Istac), Prof. Dr. Mohd. Kamal Hassan mengenali gejala-gejala dari kehidupan kota – kota Besar di Amerika Serikat dan negara Barat lainnya yang “mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban” dan ini merupakan karakter dari negara-negara maju hari ini. Pembangunan pesat senantiasa diiringi dengan krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, meluasnya kriminalitas, kekerasan terhadap perempuan dan anak, tingginya angka bunuh diri, hingga anjoknya angka kelahiran dan pernikahan akibat massifnya pelibatan perempuan sebagai angkatan kerja. Korea Selatan menghadapi problem serius pada tingkat bunuh diri penduduk lansia yang sangat tinggi, 4000 lebih lansia bunuh diri per tahunnya. Begitupun di Jepang, sekitar 30.000 orang mati bunuh diri setiap tahun atau sekitar 80-100 orang Jepang mati bunuh diri per harinya yang justru kebanyakan dari usia produktif dan berpenghasilan cukup. Kekerasan terhadap anak juga menjadi masalah besar di negara-negara kapitalis Asia Timur. Di Korea Selatan jumlah kasus pelecehan anak naik menjadi 6.700 pada tahun 2013 dari 2.100 pada tahun 2001, dan kemudian naik 36% tahun ini (2014) menjadi 10.240 kasus. Jepang bahkan lebih buruk dalam hal ini, total 73.765 kasus kekerasan terhadap anak di 2013- tingkat tertinggi dan untuk pertama kalinya kasus kekerasan anak melampaui 70.000 kasus.
Masyarakat Barat yang bercirikan 3 hal: sekular, pragmatis dan hedonis – sebagaimana yang dikemukakan oleh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) dalam Nizham al-Islam– segera menularkan ciri yang sama pada kehidupan masyarakat di negara-negara maju Asia Timur, lengkap dengan konsekuensi kerusakan yang menjalar pada kehidupan masyarakatnya. Ketika Barat terus berupaya menyebarkan nilai-nilai dan ideologi mereka kepada dunia dengan cara yang sangat arogan dan memfitnah peradaban Islam, maka sebenarnya mereka telah mencoba untuk menyembunyikan keputusasaan yang mereka ciptakan pada masyarakat mereka sendiri dan juga di kawasan seperti Asia Timur. Sekarang Barat tidak lagi mampu menyembunyikan kemunduran dan kerusakan peradabannya.
Kemajuan dan modernitas yang ditawarkan Kapitalisme justru menjadi resep manjur bagi arus massal dehumanisasi bagi umat manusia, karena membuat masyarakatnya lebih menghargai materi dan kesenangan fisik daripada bangunan masyarakatnya, ide kebebasan telah membuat mereka abai terhadap kemanusiaan dan pelestarian ras manusia itu sendiri. Paham individualistik akut telah melahirkan generasi yang rusak mentalnya, kosong secara spiritual, gagal mendefinisikan realitas kehidupan, tidak memiliki tujuan hidup dan terobsesi pada tokoh-tokoh superhero imajinatif dan inhuman dari industri hiburan kapitalistik yang mereka ciptakan sendiri.
Mereka akhirnya terbentuk menjadi generasi yang tidak manusiawi (inhuman generations), karena terobsesi pada kesuksesan materi dan gaya hidup hedonis yang menggadaikan kebahagiaan manusiawi dalam berkeluarga, tidak percaya pada komitmen pernikahan, menunda memiliki anak atau bahkan memandang anak sebagai beban karena tidak memiliki keyakinan akan sang Pencipta yang menjamin rizqi setiap anak manusia. Ditambah kebijakan womenomics ala kapitalisme yang menciptakan gelombang massal pekerja perempuan, yang juga memaksakan standar nilai bahwa perempuan akan mendapat status social yang lebih terhormat jika memiliki pekerjaan, sehingga kaum perempuan semakin kehilangan gairah untuk menjalani peran domestiknya sebagai ibu dan istri di rumah.
Inilah mengapa angka kelahiran dan tingkat pernikahan di negara-negara maju menjadi sangat rendah, karena generasi mudanya semakin tidak menghargai pernikahan dan bangunan keluarga, sehingga perlahan tapi pasti -secara simultan- arus dehumanisasi modern ini mengantarkan pada krisis populasi bahkan punahnya populasi manusia! Inilah kemajuan beracun yang ditawarkan ideologi sekulerisme, dikatakan beracun sebab di tengah keberlimpahan ilmu pengetahuan, di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa, sangat banyak manusia gagal dalam mengatur kehidupan pribadinya dan gagal dalam membangun peradaban.
Visi Peradaban Islam yang Luhur
“Jika Amerika menghabiskan ratusan juta dolar untuk penelitian dalam mengatasi problem sosial di masyarakatnya, maka Islam melenyapkan kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat jahiliah hanya dengan beberapa lembar ayat Quran.” – Sayyid Quthb
Kutipan di atas adalah benar adanya. Islam memiliki solusi mengakar untuk menciptakan masyarakat yang sehat jiwanya. Islam dengan seluruh risalahnya yang luhur telah menjaga bangunan masyarakat dengan penjagaan yang sempurna. Masyarakat Madinah adalah model terbaik dari masyarakat yang sehat dan berperadaban luhur. Islam, sejak kelahirannya di Jazirah Arab, telah menorehkan prestasi yang luar biasa dalam membawa masyarakatnya pada keluhuran martabat. Dalam naungan wahyu Allah SWT, Islam juga berhasil melebur pemikiran dan perasaan masyarakatnya dalam kemurnian akidah Islam serta keharmonian hukum-hukumnya. Tidak aneh jika keutamaan kota Madinah diilustrasikan oleh Rasulullah saw. seperti alat peniup tungku pandai besi yang mampu menyingkirkan karat besi. Rasulullah saw. bersabda: “Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).
Akidah dan hukum-hukum Islam memiliki maqashid syariah yang akan menjaga 5 (lima) hal yang ada dalam masyarakat, yakni: (1) memelihara agama; (2) memelihara jiwa; (3) memelihara akal; (4) memelihara keturunan; (5) memelihara harta benda. Visi Islam ini memastikan bahwa modernitas dan kemajuan tidak akan menyebabkan gangguan dan kerusakan sosial di masyarakat; sehingga kemajuan teknologi dalam Islam tidak membutuhkan biaya sosial. Hal ini karena Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu pengetahuan dan iman sebagaimana peradaban Barat. Doktrin gereja di abad kegelapan Eropa sering bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sehingga memaksa lahirnya sekularisme yang menjadi hari ini menjadi biangkerok dari kerusakan sosial masyarakat meskipun mereka mencapai kemakmuran dan kemajuan teknologi
Rasulullah saw. juga mengibaratkan kehidupan masyarakat Islam seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan dengan kapal yang merefleksikan bahwa sebuah masyarakat memiliki tanggungjawab kolektif untuk mencegah kemungkaran,
مثل المدهن في حدود الله والواقع فيها مثل قوم استهموا سفينة فصار بعضهم في أسفلها وصار بعضهم في أعلاها فكان الذي في أسفلها يمرون بالماء على الذين في أعلاها فتأذوا به فأخذ فأسا فجعل ينقر أسفل السفينة فأتوه فقالوا ما لك قال تأذيتم بي ولا بد لي من الماء فإن أخذوا على يديه أنجوه ونجوا أنفسهم وإن تركوه أهلكوه وأهلكوا أنفسهم
“Perumpamaan orang yang teguh menjalankan hukum-hukum Allah dan orang yang melanggarnya bagaikan sekelompok orang yang berada di sebuah kapal. Sebagian berada di atas dan sebagian lagi di bawah. Adapun mereka yang berada di bawah, bila memerlukan air minum, harus naik ke melewati orang-orang yang berada di atas, sehingga mereka berkata, “Lebih baik kita lubangi saja kapal ini agar tidak mengganggu saudara-saudara kita yang berada di atas.” Bila mereka yang berada di atas membiarkan niat orang-orang yang berada di bawah, niscaya binasalah mereka semua. Akan tetapi, bila mereka mencegahnya maka akan selamatlah mereka semua.” (HR al-Bukhari).
Analogi kapal ini menekankan pentingnya tanggung jawab kolektif dalam masyarakat yang berfungsi sebagai pelindung efektif kesejahteraan rakyat. Islam sangat menggarisbawahi prinsip ini, dan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar yang dibebankan pada setiap orang beriman, akan berfungsi sebagai sistem kekebalan yang kuat dalam masyarakat untuk mencegah penyebaran penyakit sosial.
Muslimah sebagai Penjaga Peradaban
Sebagai anggota masyarakat, perempuan berada di pusat perang budaya di banyak negara Muslim sekarang ini. Mereka dipandang sebagai “pengemban budaya”, pengelola tradisi dan nilai-nilai keluarga, serta benteng terakhir melawan penetrasi dan dominasi budaya Barat.
Dalam pandangan Islam, perempuan adalah pusat peradaban. Kaum Muslimah memegang peranan penting dalam mempertahankan keluarga dan sekaligus identitas Islam masyarakat Muslim. Masyarakat yang sehat bisa dicapai jika kaum Muslimah sadar di mana posisinya yang tepat dan kembali meraih posisi itu. Posisi utama perempuan adalah sebagai pendidik generasi masa depan. Ibu yang cerdas, beriman dan sadar akan tugas utamanya, akan melahirkan generasi-generasi pejuang yang akan memperbaiki kondisi umat Islam. Di Barat, wujud dan peran utama perempuan ini telah dihancurkan, akibatnya yang terjadi adalah penyakit sosial dan kejahatan merajalela, padahal kezaliman yang paling buruk adalah rusaknya moral dan integritas kaum perempuan, karena akan menjalar ke seluruh sendi sosial masyarakat.
Oleh karena itu Islam menurunkan perangkat kewajiban bagi kaum perempuan demi menjaga kehormatannya, kemudian Islam juga memerintahkan kaum perempuan untuk menjalankan berbagai peran yang luar biasa dalam menjaga masyarakat. Dalam lingkup yang lebih besar, akumulasi peran Muslimah ini akan menjelma menjadi peran penjaga peradaban, sehingga krisis populasi dan masyarakat yang sakit akan tercegah bahkan dari sel-sel yang terkecil. Islam juga telah memberikan sebuah sistem yang satu dan komprehensif yang akan memberi kesembuhan masyarakat yang sakit seberapapun parahnya. Sistem ini tiada lain adalah Khilafah Islam. Sebagaimana perkataan Utsman bin Affan ra., “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh al-Quran.”
Khalifah sebagai pemimpin umum umat Islamdengan visi politik, ekonomi dan sosialnya terhadap peradaban manusia akan menerapkan sebuah sistem yang mewujudkan kebijakan sosial ekonomi komprehensif yang akan mengimbangi modernitas dan kesejahteraan dengan penjagaan moral dan luhurnya peradaban, dan pada waktu yang sama juga menolak kebebasan liberal dan mempromosikan ketaqwaan di dalam masyarakat sehingga lahirlah mentalitas tanggungjawab kolektif untuk menghilangkan berbagai penyakit sosial. Semua ini diterapkan dalam payung sistem Khilafah yang juga mewajibkan sistem peradilan yang efisien untuk mengantisipasi kriminalitas di masyarakat, sehingga dengan demikian terwujudlah masyarakat yang sehat dan terpeliharalah keberlangsungan nasab dan ras umat manusia.
WalLahu a’lam bi ash-shawab
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir oleh
Fika Komara
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir
Sumber : http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/english.php/contents_en/entry_40891