Delapan menteri perempuan di kabinet Jokowi tidak akan menjamin kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia
Berita :
Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) memenuhi janjinya memberikan porsi lebih untuk menteri perempuan, Senin (27/10). Dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK, terdapat delapan menteri dari kalangan perempuan. Mereka yakni Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari, Menteri BUMN Rini M Soemarno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Sosial Khofifah Indra Parawansa, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.
Jumlah delapan menteri perempuan ini merupakan rekor baru dalam sejarah kabinet Indonesia. Sebelumnya, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya ada tiga menteri perempuan, yakni Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu.
Komentar :
Meningkatnya representasi perempuan di parlemen dan kementerian TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan peningkatan kesejahteraan kaum perempuan. Seruan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen dan jabatan pemerintahan sesungguhnya didasarkan atas asumsi dasar yang cacat dan menyesatkan yakni keyakinan bahwa lebih banyak perempuan di parlemen atau menteri akan meningkatkan status, pengaruh politik dan hak-hak ekonomi perempuan jelata dalam sebuah negara.
Karena realitas berbicara lain, di Indonesia kasus eksploitasi ekonomi perempuan sebagai buruh migran justru semakin marak saat 101 orang perempuan berada di DPR periode 2009-2014. Sepanjang 2013 saja setidaknya ada 398.270 kasus yang menimpa TKW di berbagai negara tujuan, padahal anggota parlemen perempuan di DPR RI periode tersebut justru lebih banyak (sebesar 17,86%) dibandingkan periade baru ini yang hanya 79 orang atau 14% dari anggota DPR terpilih. Persoalan kesejahteraan perempuan seperti perempuan terpaksa menjadi pencari nafkah pun kian meningkat dari tahun ke tahun saat tiga orang perempuan berada di cabinet SBY.
Dalam konteks internasional pun demikian, Rwanda sebagai contoh adalah sebuah negara di mana wanita lebih banyak daripada laki-laki dalam parlemen (56% dari anggota parlemen adalah perempuan). Namun, sekitar 45% dari penduduknya berada di bawah garis kemiskinan, angka yang mencakup jutaan wanita. Selain itu, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan terus menjadi marak di dalam negeri. Demikian pula, di Afrika Selatan, 42% dari para wakil di Majelis Nasional adalah perempuan, namun negara ini justrus semakin terkenal sebagai salah satu ibu kota pemerkosaan dunia, dan menurut Medical Research Council, Afrika Selatan memiliki angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan yang pernah dilaporkan dalam penelitian di mana saja di dunia. Mozambik, Tanzania, dan Uganda adalah satu di antara 20 negara di dunia dengan keterwakilan perempuan perempuan yang tinggi dalam parlemen, namun tingkat kemiskinan, penindasan, dan penyalahgunaan hak yang mempengaruhi perempuan dalam negara-negara ini berada pada tingkat yang menyedihkan.
Kuota lebih banyak bagi perempuan di parlemen atau di kementerian sebenarnya hanya menguntungkan kelas elit perempuan untuk memenuhi ambisi politik dan ekonomi pribadi mereka, dan tidak ada hubungannya dalam perbaikan kehidupan jutaan perempuan dalam masyarakat, termasuk di dunia Muslim. Terlebih, ketika yang diterapkan adalah sistem korup – buatan manusia, tidak kompeten dan menindas di negeri-negeri muslim, yakni kapitalis-demokrasi sekuler yang hanya mendukung menguntungkan segelintir elit dan melaparkan jutaan rakyat jelata.
Karena itu sekedar berharap pada delapan orang perempuan di kabinet, atau memperjuangkan kuota perempuan di parlemen tidak akan merubah apapun keadaan perempuan Indonesia, selama ideologi dan sistem yang diterapkan adalah sistem cacat buatan manusia. Perempuan Indonesia justru memerlukan perubahan hakiki dan visi politik baru, yang hanya bisa dijawab oleh Islam dan ideologinya yakni sistem Khilafah yang berlandaskan manhaj kenabian. Insya Allah
Fika Komara
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir
Far-Eastern Women’s Voices for the Khilafah